Ekbis

Dahlan Iskan Mendikte Pertamina?

SPBU Pertamina (harjasaputra.com)

Saya sedikit tertegun membaca prolog topik pilihan “Pertamina Didikte?” dari Admin Kompasiana sebagai berikut: “Dahlan Iskan mengkritik kebijakan Pertamina tentang pembelian minyak, Selasa (8/5/2012). Menurut Dahlan, BUMN ini seharusnya bisa memperoleh minyak langsung dari sumbernya atau sekaligus mengakuisisi kilang, bukan lewat pedagang. Sebuah pertanyaan klise muncul, adakah cengkeraman kepentingan kelompok yang mendikte kebijakan Pertamina?

Ini ada missing link dari prolog itu: siapa yang dimaksud mendikte? Subyek beritanya DI tetapi pertanyaan akhirnya kok menjadi “mendikte” ya? Lho kan sudah jelas posisi DI adalah Menteri BUMN, ketika menginstruksikan atau mengeluarkan kebijakan pada BUMN apakah disebut mendikte? Dalam Undang-undang BUMN posisi Menteri BUMN sangat jelas, yaitu pihak yang diberikan kuasa / wakil dari pemerintah sebagai pemegang saham BUMN. Pemegang saham dalam sebuah perusahaan dapat menggariskan kebijakan bagi perusahaan, apalagi ini sebagai menteri yang bertugas mengambil kebijakan. Jadi istilah “dikte-mendikte” itu menurut saya kurang pas.

Justru menurut saya instruksi dari DI tersebut adalah langkah yang sangat strategis. Kenapa? Karena selama ini memang begitulah praktek yang dilakukan Pertamina. Membeli dari pedagang/pasar, bukan langsung dari kilang. Pertamina bahkan mempunyai anak perusahaan yang khusus menangani perdagangan minyak. Impor minyak dimonopoli oleh anak perusahaan Pertamina ini, yaitu Petral. Petral berkantor di Singapura dengan alasan karena di sana mendapat potongan pajak yang lebih rendah dibanding jika berkantor di Jakarta.

Efek Pernyataan DI

Instruksi DI untuk tidak membeli minyak dari pedagang memiliki konsekuensi turunan yaitu: pembubaran Petral. DI tahu betul masalah mengenai Petral ini. Pemikirannya dari dulu sampai sekarang masih konsisten. Silahkan tengok tulisan-tulisannya pada tahun 2005, bahkan pada tahun 2009, dan sampai saat ini tentang masalah energi. Pasti akan tetap sama.

DI pernah mengkritisi Exxon pada tahun 2005 (silahkan simak tulisannya di sini) dan juga pernah mengkritisi kata-kata Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurutnya, kata dikuasai adalah bahasa politis, tidak bermakna akuntantif, yang lebih cocok adalah dimiliki bukan dikuasai. Di sinilah kepentingan itu muncul (lihat tulisannya tentang ini di sini).

Sekarang mari kita bertanya pertanyaan mendasar: berapa persenkah produksi Pertamina dibandingkan dengan kebutuhan nasional? Pertanyaan ini penting untuk mengetahui bahwa masalah perminyakan atau energi di Indonesia tidak sesimpel itu. Bukan hanya melibatkan Pertamina saja. Dan nanti akan tahu target utama dari pernyataan DI di atas.

Secara nasional kebutuhan akan minyak adalah sebesar 1,2 juta barel per hari, sedangkan target produksi minyak nasional Indonesia pada 2012 adalah sebesar 930 ribu barel per hari. Ditambah lagi realisasi produksi minyak sering kali tidak sesuai dengan target. Pada 2011, realisasi produksi minyak hanya menyentuh angka 902 ribu barel. Trennya menurun terus tiap tahun.

Produksi minyak dari BUMN Pertamina hanya 20-25% dari kebutuhan nasional. Sisanya atau sekitar 75-80% persen adalah dari KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) seperti Exxon, Chevron, dan lain-lain. Dari produksi KKKS tersebut, yang menjadi milik pemerintah adalah 60 persen. Sisanya diekspor oleh KKKS yang mayoritas perusahaan asing, lalu dibeli lagi sebagian oleh Indonesia: diekspor lalu diimpor lagi. Maka, pantaslah kalau Indonesia disebut sebagai negara pengimpor neto minyak. Di sini terlihat bahwa Pertamina lebih menempatkan diri sebagai broker atau istilahnya “tukang jahit”, hanya menjahit minyak-minyak dari KKKS dan mendapatkan margin.

Mata rantai perdagangan minyak ini: minimnya produksi, diimpor dan diekspor lagi, pembelian dari pedagang bukan dari kilang, belum lagi masalah cost recovery, akan menambah beban biaya produksi Pertamina dan berujung pada besaran subsidi yang harus dikeluarkan negara, hingga ujungnya penentuan harga, sehingga tidak efisien. Yang rugi jelas rakyat-rakyat juga. Dahlan Iskan saya yakin tahu betul peta ini, maka ia ingin memutus rantai ini agar Pertamina dapat lebih efisien dan kekayaan alam Indonesia dapat dinikmati sendiri. Petral dengan sendirinya harus dibubarkan.

Dari berbagai pendapat pakar perminyakan, minyak mentah Indonesia termasuk dalam jenis light crude (dengan API 31 ke atas) dan mengandung sulfur yang rendah. Jenis minyak mentah yang bagus secara kualitas. Tetapi, karena bagus, maka oleh KKKS diekspor. Untuk di Indonesia sendiri umumnya yang digunakan adalah minyak mentah Duri kualitas rendah (API 21) milik Chevron, dicampur dengan jenis Saudi Light (API 32) yang diimpor.

Tak hanya itu, Indonesia adalah juga pengimpor minyak olahan. Premium pun masih diimpor. Dari data Pertamina, kebutuhan nasional premium adalah 24,9 juta KL, sedangkan produksi dari kilang pengolahan sebesar 10,69 KL (43 persen), sisanya dari impor sebesar 14,21 KL (57 persen).

Di sinilah konteks instruksi dari DI itu harus dipahami bukan dari aspek dikte-mendikte. DI memang sangat gerah dengan Pertamina sejak dulu, bahkan sejak ia menjadi Dirut PLN. Kalau Anda tahu bagaimana DI pada saat menjadi Dirut PLN dan kemudian bertemu dalam rapat dengan Dirut Pertamina di DPR, akan terlihat nyata nuansa kegerahan dia terhadap Pertamina. Ia bahkan sempat bersitegang dengan Dirut Pertamina masalah ketersediaan pasokan gas dan bahan bakar untuk PLN. Menurutnya, “mayoritas biaya di PLN itu larinya tidak kemana-mana, tapi ke Pertamina”, sambil menunjuk ke Dirut Pertamina.**[harjasaputra]

—————

**Data angka diambil dari dokumen rapat dengan Pertamina di DPR.

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments