Filsafat

Kebangkitan Nasional vs Kebangkrutan Nasional

Tanggal 20 Mei 2011 diperingati sebagai “Hari Kebangkitan Nasional” yang ke-103 yang merujuk pada perjuangan Boedi Oetomo tahun 1908. Bertepatan dengan hari nasional tersebut headline beberapa Koran Nasional memuat mengenai pernyataan tokoh lintas agama yang memberikan peringatan “Kalau kita tidak bangkit dari keterpurukan, bukan kebangkitan, melainkan kebangkrutan nasional yang akan mengancam kehidupan bangsa Indonesia” (Kompas, 20 Mei 2011).

Radio RRI Pro-3 juga melakukan diskusi di segmen “Indonesia Menyapa” pukul 08.00-09.00 dengan Buya Syafi’i Maarif, tokoh pemuda dan elemen pemerintah untuk memperingati hari tersebut. Buya Syafi’i Maarif merupakan wakil dari tokoh lintas agama yang ikut dalam pembacaan pernyataan di atas.

Ada statement menarik dari Buya, bahwa kita perlu me-reengeneering Indonesia (merekayasa ulang Indonesia). Karena belum ada kesadaran kolektif yang otentik dari elemen-elemen bangsa ini untuk secara bersama-sama bangkit.

Fokus di situ: kesadaran kolektif. Kenapa ini menarik? Kita ambil beberapa contoh. Jepang, macan Asia berhasil mengalahkan dominasi Amerika di sektor ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Jepang berhasil karena ada kesadaran kolektif, lebih tepatnya memiliki “rasa sakit hati” nasional sejak Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh sekutu tahun 1945. Hanya butuh waktu 35 tahun untuk Jepang bangkit. Pada tahun 1980 Jepang telah bangkit dan menguasai sektor-sektor penting ekonomi dunia. Kebangkitan Jepang dikenal dengan “Restorasi Meiji”, yang diambil dari nama Kaisar Jepang saat itu yaitu “Kaisar Meiji”, yang melakukan usaha besar untuk menjadikan Masyarakat Jepang bukan menjadi Negara yang terisolasi dari keterpurukan pasca Bom Atom tersebut. Langkah yang ditempuh Jepang adalah pendekatan kultural yang disebut dengan semangat “Bushido”, yaitu sikap rela mati untuk kemajuan Negara Jepang dan untuk pemimpin tertinggi mereka. Pendekatan kultural lainnya adalah kultur budaya kerja keras. Penduduk Jepang sangat aib jika bangun kesiangan. Sektor ekonomi digerakkan oleh kelas menengah yang terkenal pantang menyerah. Jepang juga fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang riset.

Amerika dan Eropa sebagai negara maju dan menjadi pusat peradaban dunia di bidang ilmu pengetahuan saat ini juga dapat dijadikan contoh. Predikat tersebut tidak diperoleh begitu saja, akan tetapi mengalami sejarah panjang. Pergulatan historis dalam menumbuhkan nilai-nilai kultural pada masyarakatnya, terutama penekanan untuk menguasai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dibela mati-matian meskipun harus berhadapan dengan dominasi gereja. Cofernicus berani dihukum mati oleh pihak gereja hanya untuk mempertahankan temuannya di bidang sains.

Iran, negara Islam dengan mengadopsi sistem demokrasi Barat, adalah contoh lainnya. Iran yang sekarang tumbuh pesat di bidang ilmu pengetahuan, juga tumbuh dari budaya kultural. Ia mewarisi budaya Persia yang sudah sejak lama mencintai ilmu pengetahuan. Filsafat—sebagai bapaknya Ilmu Pengetahuan—nyaris mati di dunia Islam lain, tetapi tidak di Iran. Kunci lainnya adalah adanya “musuh bersama nasional” yaitu Amerika. Iran cerdik dalam menumbuhkan siapa musuh yang harus mereka lawan. Amerika dijadikan musuh bersama dan ditekankan kepada setiap generasi. Sehingga meskipun Iran diembargo tetapi tidak berdampak apapun pada sektor ekonomi. Iran malah tumbuh pesat di bidang ilmu pengetahuan, mereka termasuk salah satu negara yang menguasai teknologi nano, teknologi nuklir, mampu membuat mobil sendiri, dan banyak lagi. Embargo dari Amerika dijadikan sebagai modal awal untuk bangkit, karena mereka menemukan momentum kesadaran kolektif untuk bangkit.

Indonesia, sebagai negara dengan sumber daya alam melimpah harus menata ulang pranata-pranata sosial jika ingin bangkit dan tidak menuju “kebangkrutan nasional”. Harus ada “musuh bersama” sehingga dapat dijadikan momentum kesadaran kolektif seluruh elemen bangsa. Apa yang harus dijadikan musuh bersama oleh bangsa kita? Tidak mungkin Amerika, karena negara ini bersifat terbuka. Tidak mungkin negara lain dijadikan musuh. Musuh bersama sejati negara kita adalah “Kebodohan”. Para pendiri bangsa ini sudah sangat tepat dalam merumuskan sistem negara. Demokrasi adalah pilihan tepat. Tetapi tidak didukung oleh sumber daya manusia yang tepat. Semangat untuk mencerdaskan bangsa juga sudah tercantum dalam undang-undang. Kebodohan tidak hanya diukur oleh tingkat pendidikan. Negara telah tepat mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan 20% dari total anggaran APBN. Total APBN kita berada di angka 1200 Trilyun. Jika dua puluh persennya digunakan secara tepat maka harapan untuk bangkit adalah besar. Tetapi apa kenyataannya, daya serap dari program-program Kementerian Pendidikan sebagai lembaga eksekutor APBN tersebut sangat rendah. Anggaran tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Kementerian Pendidikan kebingungan dalam mengelola anggaran yang begitu besar (bukan artinya mereka bodoh, tetapi juga bukan artinya mereka cerdas karena jika cerdas tentu anggaran sebesar itu dapat dijadikan modal bagi kebangkitan bangsa).

Kultur bangsa kita perlu ditingkatkan ke arah penguasaan ilmu pengetahuan. Jangan pernah bermimpi untuk bisa bangkit jika tidak menguasai ilmu pengetahuan. Lihat saja misalnya berbagai ketidaktepatan pengambil kebijakan. Presiden sesungguhnya telah tepat dalam merumuskan garis-garis kebijakan. Anggaran pendidikan dibesarkan, pajak diminta ditinjau ulang, infrastuktur diinstruksikan untuk ditingkatkan. Hanya saja tidak didukung oleh eksekutor yang cerdas.

Subsidi salah tempat. Subsidi diberikan untuk konsumsi. BBM konsumsi disubsidi besar-besaran, tetapi tidak untuk BBM Industri. Seharusnya subsidi diperuntukkan untuk bidang produksi yang akan meningkatkan nilai tambah ekonomis. Pajak impor barang konsumsi menjadi nol, tetapi tidak untuk barang produksi. Beberapa barang produksi malah dikenakan pajak berlipat. Lantas kita mau bicara kebangkitan nasional? Subsidilah seluruh buku agar rakyat mampu membaca dengan murah. Subsidilah barang untuk produksi bukan untuk barang konsumsi.

Ketika para eksekutor kebijakan telah memahami makna dari kebangkitan dari kebodohan-kebodohan kita, maka ada harapan bangsa ini tidak mengalami kebangkrutan di masa depan.** [harja saputra]

Tulisan ini dimuat juga di kompasiana: http://politik.kompasiana.com/2011/05/20/kebangkitan-nasional-vs-kebangkrutan-nasional/

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments