Komunikasi

Polusi Berita

Illustrasi: flickr.com

Polusi bukan hanya menjadi masalah lingkungan, tetapi juga sudah melebar ke dunia jurnalisme dan informasi. Jakob Nielsen pada tahun 2003 pernah menulis sejumlah artikel mengenai “polusi informasi” (information pollution).

Polusi informasi adalah efek kontaminasi dari arus informasi yang tidak relevan, informasi yang berlebihan, dan rendah-nilai. Penyebaran informasi yang tidak berguna dan tidak diinginkan dapat memiliki efek yang merugikan pada aktivitas manusia.

Hal ini dianggap salah satu efek buruk dari revolusi informasi (ringkasan gagasan Jakob Nielsen dapat dilihat di link ini).

Istilah Polusi Informasi Nielsen merupakan pengembangan dari ide yang dipopulerkan Alvin Toffler pada tahun 1970 dengan istilah Information Overload. Toffler bahkan menyebut overload informasi sebagai satu gejala Future Shock, kegelisahan baru manusia masa depan. Hal ini mengacu pada kesulitan seseorang dalam memiliki pemahaman dan membuat keputusan yang dapat disebabkan oleh adanya terlalu banyak informasi.

Dalam disiplin ilmu komunikasi polusi informasi disebut juga dengan istilah Noise, yaitu  ketika banyak informasi yang diterima oleh khalayak sehingga respon dari pesan yang diterima tidak sesuai dengan yang diinginkan.

Ketika banyak iklan tentang produk gadget misalnya, maka noise dari informasi yang diterima oleh khalayak sangat besar, karena begitu banyak pesan yang harus diserap sehingga membingungkan.

Berita sebagai produk dari jurnalistik dan informasi adalah elemen yang tak lepas dari polusi. Jika Nielsen lebih umum menggunakan istilah “Polusi Informasi”, maka di dalam pemberitaan kita munculkan istilah baru “Polusi Berita”.

Efek positif dari berita tentunya memberikan informasi kepada masyarakat, karena manusia tidak mungkin dapat bertindak tanpa adanya informasi. Tetapi, berita juga memiliki efek negatif.

Ketika terlalu banyak berita yang menyampaikan kejahatan-kejahatan, maka pesan dari informasi ini menjadi polusi dan mengendap di dalam pikiran. Maka, ketika dirinya mengalami situasi serupa dengan yang diberitakan, tanpa disadari akan bertindak kejahatan sesuai dengan informasi yang telah diserap dari berita.

Fenomena bunuh diri yang diberitakan lebih sering cenderung akan memicu angka-angka bunuh diri yang lebih tinggi, karena berita ini bersifat polutif, berita negatif. Radiasinya akan mengendap dalam pikiran, dan ketika manusia sedang dalam keadaan putus-asa otaknya akan langsung memutar informasi yang ia peroleh dari berita mengenai bunuh diri. Maka bunuh dirilah dia.

Fenomena banyak ABG yang menjual diri untuk membeli barang-barang elektronik merupakan efek lain dari polusi berita. Apalagi berita yang mengusung gaya hidup glamour dari acara infotainmen semakin merebak luas (yang katanya infotainment adalah berita).

Banyak contoh-contoh lain yang bersifat sosial dan budaya yang diakibatkan dari polusi berita. Kondisi ini diperparah lagi dengan paradigma Jurnalisme yang condong ke arah banyak memberitakan hal-hal jelek dan angkat kaki dari berita-berita baik.

Paradigma pemberitaan yang dipakai adalah good news is bad news, bad news is good news, sehingga berita-berita jelek tersebut sesungguhnya adalah polusi karena memuat berbagai hal-hal jelek. Hal-hal jelek tentunya membahayakan.

Lantas, bagaimana cara mengatasinya? Untuk media kebebasan memberitakan adalah segala-galanya. Alih-alih menginformasikan tetapi justru membawa polusi. Namun, tidak boleh juga dilarang karena pemberitaan terkait juga dengan nilai bisnis.

Nuansa pemberitaanlah yang harus bergeser dari pemberitaan bad news an sich ke arah pemberitaan yang meskipun memberitakan hal jelek tetapi berimbang. Di media Barat, pemberitaan hal-hal jelek pun banyak, tetapi harus diingat media-media lain yang mengusung pemberitaan baik pun lebih banyak.

National Geographic, misalnya adalah media sehat yang digemari oleh masyarakat Barat dan telah menyebar ke berbagai negara. Acara-acara yang berisi nuansa keilmuan dan informasi yang selektif (seperti acara Oprah Winfrey) sangat digemari. Ini akan menjadi udara segar yang dapat mengimbangi polusi-polusi berita.

Bagaimana kalau di kita? Ada beberapa tipe pemilik media di Indonesia, yang dari situ arah pemberitaannya berbeda-beda sesuai dengan pemiliknya. Karena teori framing masih sangat relevan untuk menggambarkan antara pemilik modal dengan output pemberitaan.

Di sini akan diambil contoh mengenai televisi. Pertama, stasiun televisi yang dimiliki oleh pengusaha dan politikus dari partai tertentu, rasanya arah pemberitaannya sudah dapat ditebak.

Kedua, stasiun televisi yang dimiliki oleh murni pengusaha. Mainstream pemberitaannya cenderung berbeda, aspek bisnisnya sangat terlihat. Rating menjadi indikator dalam mengusung suatu acara.

Dari pemberitaannya masih berimbang, tetapi timpang di skenario pengemasan acara. Sinetron yang berbau mistis dan kekejaman karena ratingya tinggi menjadi andalan utama. Pada gilirannya sinetron-sinetron ini pun menyumbang andil atas polusi-polusi informasi.

Solusi terbaiknya tidak bisa mengandalkan media untuk mengatasi polusi berita, karena medialah produsen polusinya. Fokus utama dalam mengatasi adalah pada khalayak. Sensor harus kuat dalam diri konsumen berita.

Ketika konsumen memiliki sensor kuat terhadap polusi-polusi berita, otomatis rating menurun, dan media akan banting setir dengan sendirinya. Di negara demokrasi, sensor paling ampuh adalah sensor pribadi bukan sensor yang dilembagakan.**[harja saputra]

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments