Polhukam

Kronologi Kisruh RUU Pilkada

Ilustrasi: harjasaputra.com

Aneh sekali ketika membaca beberapa tulisan yang mengatakan bahwa jika Pilkada oleh DPRD maka merupakan warisan buruk SBY bagi Indonesia. SBY menjadi “kambing hitam”. Dari mana munculnya pendapat itu? Menurut saya, orang yang berpendapat seperti itu adalah orang yang tidak mau membaca. Asal njeplak bin ngawur. Maaf-maaf. Kenapa?

Begini. RUU Pilkada betul sebagai usulan pemerintah bukan RUU usulan DPR. Kalau ingin memperoleh kesimpulan bagaimana posisi pemerintahan SBY dalam mengusulkan RUU Pilkada itu, harus melihat kronologis isu krusial usulan RUU tersebut.

Ketika RUU diusulkan, maka si pengusul harus menyusun Naskah Akademik (NA) dan Draft RUU. Itu berlaku baik pengusulnya itu Pemerintah maupun DPR. Jika RUU adalah usulan pemerintah maka DPR tugasnya adalah menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari tiap Pasal yang terdapat dari draft RUU. Begitu juga sebaliknya.

Dari Naskah Akademik yang pertama kali disusun oleh pemerintah selaku pengusul RUU Pilkada inilah kita bisa melihat sikap pemerintahan SBY (Naskah Akademik RUU Pilkada dapat diakses langsung oleh publik di Link Ini). Apakah di situ tertulis bahwa Pemerintahan SBY mengusulkan Pilkada Tidak Langsung di semua tingkatan? Tidak. Pengusul RUU hanya mengusulkan Pilkada melalui DPRD hanya untuk Gubernur, adapun untuk Bupati/Walikota harus secara langsung. Ini kronologis awalnya.

Kenapa Gubernur diusulkan dipilih oleh DPRD dan Bupati/Walikota diusulkan dipilih secara langsung? Di Naskah Akademik itu secara detail dijelaskan alasan-alasannya: baik teoritis maupun empiris. Ada judul khusus di NA itu yaitu: Aspek Regulasi Pemilihan Gubernur Tidak Langsung (oleh DPRD) dan memilh Bupati/Walikota secara Langsung.

Secara singkat alasannya adalah: Gubernur bisa dipilih oleh DPRD karena dalam UUD 1945 yang sudah diamandemen pun tidak ada aturan Kepala Daerah harus dipilih secara langsung. Hanya disyaratkan “dipilih secara demokratis”. Berbeda dengan pengaturan pemilihan Presiden yang secara nyata disebutkan “dipilih secara langsung”. Selain itu, posisi pemerintahan Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur adalah sebagai Unit Antara (perantara antara Pemerintahan Pusat dengan Daerah) sementara Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah Unit Dasar yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.

Dikarenakan Unit Antara maka pemilihan Gubernur bisa melalui DPRD Provinsi. Adapun untuk Bupati/Walikota secara langsung. Alasannya pemerintahan Kabupaten/Kota merupakan unit yang langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk kenyamanan pelayanan tersebut, masyarakat perlu memperoleh kesempatan untuk secara langsung memilih siapa yang akan memimpinnya. Pelayanan langsung berakibat pada interaksi yang berbasis kepercayaan (trust) (lihat Naskah Akademik RUU Pilkada halaman 41 dan 42).

Naskah Akademik ini lalu dituangkan dalam Draft RUU Pilkada Pasal 2. Disebutkan dalam draft RUU awal: “Gubernur dipilih oleh Anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasar asas langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” (lihat draft RUU awal di link ini).

Adapun untuk pemilihan Bupati/Walikota dari Naskah Akademik itu dituangkan dalam draft RUU sebagai berikut: “Pemilihan bupati/walikota dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” (Draft RUU Pasal 41). Di sini tidak ada kalimat dipilih oleh Anggota DPRD.

Ini adalah kronologis awalnya. Rumusan ini didukung juga oleh PDIP. Itu terlihat dari statemen Pramono Anung, politisi PDIP dan Wakil Ketua DPR. Ia mengatakan setuju jika Gubernur dipilih oleh DPRD, adapun untuk Bupati secara langsung (lihat statemen Politisi PDIP ini di link ini).

Konstelasi politik kemudian berubah. Perumusan RUU kemudian menjadi dibalik: Gubernur dipilih langsung dan Bupati/Walikota dipilih oleh DPRD. Sudah bergeser dari Naskah Akademiknya. Itu terjadi di awal tahun 2014 (lihat arsipnya di sini).

Kemudian berubah lagi menjadi: semuanya diusulkan dipilih oleh DPRD. Tidak ada yang dipilih langsung. Ini yang kemudian memicu gelombang protes, karena dinilai demokrasi kita mundur ke belakang. Tentang masalah ini bukan cakupan pembahasan pada tulisan ini. Yang ingin saya katakan adalah: dari kronologis itu kita bisa menyimpulkan tidak benar SBY berada di belakang kisruhnya usulan Pilkada Tidak Langsung. Dan, yang berubah pendapatnya bukan hanya Partai Koalisi Merah Putih tetapi juga PDIP. PDIP awalnya setuju Gubernur oleh DPRD tetapi sekarang berubah total. Namanya juga politik.**[harjasaputra]

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments