OpiniSosbud

Agama dan Kebebasan Berpakaian

Iran, negeri para mullah, sedang mengalami ujian. Demo besar-besaran berkecamuk di banyak kota menyusul tewasnya Mahsa Amini akibat ditahan polisi akibat masalah jilbab. Dilaporkan setidaknya 50 orang tewas dalam protes massa tersebut.

Konsep wilayatul faqih, sebagai sistem politik Islam yang menggabungkan antara agama dan negara, hasil ijtihad Ayatullah Khomeini, adalah konsep unik. Ketika di dunia Arab, tidak ada lagi negara yang menerapkan sistem pemerintahan Islam, Iran berhasil menata dan memunculkan satu bentuk pemerintahan Islam yang genuine. Namun, bukan berarti konsep ini sempurna tanpa cacat, masih harus diuji oleh waktu dan tempat.

Penerapan wilayatul faqih bisa jadi penerapannya di kemudian hari mengalami pergeseran. Sistem sosial di suatu tempat selalu mengalami evolusi, termasuk masalah standar moral dalam berpakaian.

Di Indonesia, pergulatan pemikiran tentang hal itu sudah tuntas. Kita patut bersyukur, para pendiri bangsa memiliki pemikiran yang jauh ke depan. Konsep hubungan agama-negara telah dirumuskan dengan mengambil konsep yang sama sekali berbeda dengan dunia Islam lainnya.

Indonesia, meskipun dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, tidak terjebak pada konsep otokrasi, melainkan mengambil bentuk lain, yaitu agama dihayati nilainya dan dituangkan dalam berbagai nilai yang tertuang dalam Pancasila.

Kelihatannya, bagi kita yang hidup di Indonesia dan sejak dari Sekolah Dasar sudah diajarkan tentang Pancasila, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila maknanya tidak istimewa. Padahal, ini terobosan luar biasa.

Praktek dari Pancasila, kita bisa rukun damai dengan sesama pemeluk agama berbeda. Meskipun letupan-letupan kecil selalu terjadi akibat interaksi perbedaan tersebut, namun berhasil diredam. Tidak seperti di negara-negara Arab. Perbedaan pandangan dan keyakinan mengakibatkan perang saudara yang sulit untuk didamaikan.

Arab Saudi yang menerapkan sistem monarkhi (kerajaan), menerapkan sistem nilai dalam berpakaian yang awalnya kaku, kini pelan namun pasti bergeser ke arah dimunculkannya kebebasan dalam berpakaian. Berjilbab atau tidak, tak masalah, kecuali di kota-kota suci seperti Mekkah dan Madinah.

Berbeda dengan Turki, sejak kekhalifahan Ottoman (Turki Utsmani) runtuh, digantikan dengan sistem sekuler, sudah lama menerapkan kebebasan dalam berpakaian.

Di Indonesia berbeda penerapannya. Sejak tahun 90-an, gelombang demonstrasi dan protes di mana-mana menuntut dibebaskannya berjilbab di sekolah dan tempat kerja. Gerakan itu berhasil. Kini jilbab sudah membudaya. Di Iran dan negara Arab lain, kebalikannya. Awalnya berjilbab kini ramai-ramai ingin tidak berjilbab.

Meskipun berbeda penerapan, sesungguhnya keduanya sama, yaitu berangkat dari tuntutan “kebebasan berpakaian”. Di Indonesia, kebebasan berpakaian dituangkan dalam tuntutan bebas berjilbab, sedangkan di dunia Arab tuntutannya bebas tidak berjilbab.

Sepertinya kita harus mendefinisikan ulang mengenai sekularisme. Sekularisme yang dalam pandangan banyak tokoh berarti memisahkan urusan negara dan agama, atau memisahkan antara urusan agama dengan urusan dunia, kini harus dipahami dalam arti lain. Orang sekuler hakiki adalah orang yang dalam pakaiannya agamis, tetapi sikap dan moralnya tidak agamis. Itulah sekuler yang harus dijauhi.

Pakaian bukan menjadi patokan dari beragama atau tidaknya seseorang. Berjilbab itu baik, iya setuju. Namun, bukan berarti tidak berjilbab itu buruk. Nilai baik dan buruk gradasinya tidak dua di alam nyata, melainkan ribuan bahkan jutaan.

Anehnya, kini muncul banyak fenomena di Indonesia bahwa hijrah itu ditandai dengan mengubah cara berpakain, dari yang tadinya tidak berjilbab menjadi berjilbab bahkan bercadar. Untuk laki-laki, hijrah itu ditandai dengan celananya jadi naik menjadi ke atas mata kaki.

Bukan berarti cadar atau celana cingkrang itu buruk. Tidak. Itu tetap baik, tetapi jika beranggapan sebagai bagian dari hijrah yang keliru. Tidak ada hubungan antara hijrah dengan berpakaian. Sementara kemudian menarik diri dari pergaulan sosial. Menyalahkan orang. Meyakini pendapatnya saja yang benar. Inilah justru sekuler sejati yang harus dijauhi.

Indonesia menjadi contoh dalam menerapkan hubungan negara-agama-sosial. Kita sering melihat dan menjadi sesuatu yang tidak aneh, orang berjilbab berteman dan jalan bareng dengan yang tidak berjilbab. Itulah indahnya Indonesia.*

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments