Sosbud

Budaya Pamer dan Kita

Ilustrasi: harjasaputra.com

Berbaju lengan pendek dipadu celana jeans yang pas melekat dengan besaran kaki. Bedak dan gincu merah di wajah membuatnya terlihat menor. Tak lupa aksesoris perhiasan di tangan yang berbunyi kala berjalan. Jika ditanya dengan bahasa asli daerahnya selalu dijawab dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesianya pun terbatas: bahasa Betawi populer. Di tangannya selalu tak lepas handphone yang menyerupai bentuk smartphone berlambang cheri hitam. Tak tahu benar-benar cheri hitam atau hanya menyerupai. Nama pun diganti, aslinya Icih, tapi kini dipanggil Cindy.

Jika ia ditanya: kerja di mana dan sebagai apa? Dijawab: Operator di PT anu. Operator digunakan untuk menyulih kata “buruh pabrik”. Sulihan kata menjadi penting karena kata menunjukkan identitas. Dipilihlah kata yang terdengar keren. Tak peduli kerjanya berat yang penting status sosial meningkat.

Ada lagi Jhon, nama aslinya sih Juned, kerjanya buruh bangunan. Kalau ditanya sebagai apa kerjanya, dijawab: supervisor. Maksudnya mandor. Hampir sama cirinya dengan Cindy dalam hal berpakaian. Hanya bedanya tidak perlu gincu atau bedak. Pokoknya biar terlihat trendi, pakaian yang jadi trend masa kini menjadi pilihan. Tak lupa mobil pribadi parkir di depan rumahnya. Untuk menunjukkan bahwa dirinya sudah sukses dalam perantauan. Meskipun kerjanya di wilayah Kalimantan, plat mobil letter B. Entah dapat pinjam di rental atau dari teman, pokoknya yang penting tongkrongan sangar.

Itulah beberapa fenomena ekstrem para pekerja urban di saat pulang ke kampung halaman. Apakah itu salah? Tidak ada yang salah. Sah-sah saja. Setiap orang bebas bertindak, bebas berbuat, toh ini negara demokrasi. Yang penting tidak merugikan orang lain. Sama ketika setiap orang juga bebas menilai dan berpendapat.

Eksistensi diri adalah bahasan paling rumit dalam disiplin ilmu filsafat. Dirumuskan dengan berbagai teori, dari teori eksistensialisme yang diusung oleh Jean Paul Sartre, teori Self dan Self Concept, dan banyak lagi. Itu semua menunjukkan bahwa eksistensi diri itu ‘hal yang sangat penting’. Namun terdegradasi dan terjadi simplifikasi oleh para pekerja urban dengan satu fenomena: ‘eksistensi diri adalah masalah penampilan’. Masalah isi kepala itu belakangan, masalah bakti terhadap masalah sosial itu urusan lain.

Kebutuhan untuk dihargai orang lain adalah kebutuhan dasar manusia menurut teori Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow. Ibarat makan adalah kebutuhan primer fisik manusia, maka dihargai adalah kebutuhan primer jiwa manusia. Dengan demikian, menunjukkan diri agar dihargai orang lain adalah manusiawi. Penghargaan atas prestasi adalah puncak dari kebutuhan ini. Di luar itu masih banyak bentuk dan macam dari kebutuhan ingin dihargai ini. Mungkin, fenomena pekerja urban di atas, masih dalam bingkai kebutuhan ini: ingin dihargai dengan menunjukkan identitas diri yang serupa dengan orang kota.

Kebutuhan untuk dihargai, khususnya kasus di atas, dipicu oleh berbagai faktor. Masyarakat kita khususnya yang di desa cenderung berdecak kagum pada orang sukses dengan deskripsi sukses materi daripada sukses dari segi keilmuan atau moral. Memang, itulah ciri manusia, lebih tertarik pada hal-hal nyata daripada yang tidak terlihat. Karena hal nyata dapat dilihat, diraba dan dirasakan. Sementara yang tidak terlihat seperti etika, moral, ilmu, susah untuk diindera. Masyarakat hanya mengeluh ketika banyak harta yang dicuri oleh maling, padahal itu adalah dampak dari “harta yang tak terlihat” tadi.

Penurunan moral yang terasa dari kota hingga desa adalah juga fenomena. Fenomena ini berimbas ke kriminalitas yang meningkat. Supaya apa? Supaya bisa eksis tadi. Parahnya kalau sudah begini saling tuding pun terjadi. Pemerintah dianggap tidak mampu dan lain sebagainya. Padahal jika kita mau jujur dan menelaah lebih dalam, satu fenomena moral tidak berdiri sendiri, ia dipicu oleh banyak faktor.

Anehnya lagi, ceramah-ceramah di mesjid hanya terbatas pada masalah ibadah yang bersifat personal. Di saat musim hujan, sang ustadz malah bahas tayammum. Masalah buang sampah sembarangan yang dapat menyengsarakan masyarakat karena dapat menyebabkan banjir, toh itu bukan urusan agama, luput dari bahasan. Doa yang dipanjatkan selalu minta “diberikan kebaikan di dunia dan akhirat”, itu semua menjadi penutup dari setiap doa. Namun apa itu kebaikan dunia kadang susah menentukan indikatornya sehingga tak terumuskan dalam titah dan wejangan yang diberikan.

Ini bukan kritik terhadap para pekerja urban, pemerintah, maupun para ustadz, tapi ini menyangkut fenomena nyata. Bukan juga mencari-cari kesalahan, tapi ketika kesalahan itu nyata di depan mata masa iya kita harus menutup mata. Susah untuk mencari solusi, karena pengamat memang tak bertugas mencari solusi. Pengamat hanya mengamati fenomena masalah, menyajikannya, dan biarkan yang berwenang atau yah baiknya kita semua mencari solusinya bersama.**[harjasaputra & dhee]

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments