Riset

“Cuci Gudang” Hasil Survey Politik yang Membingungkan

Ilustrasi: flickr.com

Dalam waktu yang sangat berdekatan, September-Oktober 2011 banyak bermunculan hasil survey dari lembaga survey–yang katanya–independen. Sebut saja penelitian yang dilakukan oleh Indobarometer, lalu ada hasil penelitian Lingkaran Survey Indonesia (LSI), kemudian muncul lagi hasil survey dari Jaringan Suara Indonesia (JSI), muncul juga hasil survey dari Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), ditambah lagi hasil penelitian dari Reform Institute. Hasilnya beda-beda. Membingungkan. Dalam waktu yang sangat berdekatan, September-Oktober 2011 banyak bermunculan hasil survey dari lembaga survey–yang katanya–independen. Sebut saja penelitian yang dilakukan oleh Indobarometer, lalu ada hasil penelitian Lingkaran Survey Indonesia (LSI), kemudian muncul lagi hasil survey dari Jaringan Suara Indonesia (JSI), muncul juga hasil survey dari Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), ditambah lagi hasil penelitian dari Reform Institute. Hasilnya beda-beda. Membingungkan.

Kenapa itu terjadi? Jelas, perbedaan dalam survey kuantitatif sangat wajar, karena penelitiannya berdasarkan sampel. Sampel dalam populasi yang heterogen akan menghasilkan hasil penelitian yang berbeda ketika sampel dan waktunya berbeda. Beda lagi jika sampelnya homogen, seperti misalnya seorang ibu yang hendak mencicipi rasa sayur yang sedang dimasaknya ia cukup mencicipi satu tetes dari sayurnya sudah bisa menyimpulkan rasa sayur yang dimasaknya. Itu kalau sayur. Kalau manusia beda lagi, karena berbeda orang yang ditanya, maka akan berbeda jawabannya. Belum lagi karakteristik sampelnya ikut mempengaruhi.

Faktor-faktor dalam penelitian kuantitatif di atas merupakan perdebatan yang sudah lama, makanya ada dua mazhab penelitian: mazhab Chicago versus mazhab Frankfurt. Mazhab Chicago adalah yang memiliki paradigma positivistik empiris atau metode kuantitatif, sedangkan mazhab Frankfurt lebih condong ke metode kualitatif dengan basis kritisisme, menyajikan data bukan hanya atas patokan data angka tetapi menyelami realitas lebih dalam. Mazhab Frankfurt bahkan sudah lama menyuarakan: “Matinya metode kuantitatif”, karena menurut mereka angka-angka tidak bisa berdiri sendiri, cerminan dari realitas yang semu. Realitas yang tidak mewakili, atau mewakili tetapi hanya dari sebagian kecil dari populasi.

Mazhab Chicago memandang realitas sebagai sesuatu yang sudah teratur, terpola, dapat diamati, diukur, dan sebagainya. Sehingga angka-angka bisa mewakili. Tetapi pendapat ini dikritik oleh mazhab Frankfurt bahwa kebenaran dan pengetahuan obyektif bukanlah ditemukan, melainkan diciptakan oleh setiap individu. Karena apa yang terlihat nyata, sesungguhnya merupakan hasil konstruksi pencarian individu.

Banyak pihak yang meragukan hasil penelitian dari banyak lembaga survey tersebut, di samping hasilnya berbeda-beda juga diduga banyak kepentingan yang melatarbelakanginya. Lembaga survey yang katanya independen tetapi menjadi dependen, dependen pada kepentingan. Karena bisa jadi sudah tahu arah penelitiannya akan diarahkan ke mana. Output hasil penelitiannya sudah diketahui dari awal, sehingga pemilihan sampel diarahkan untuk memenuhi target output yang direncanakan. Karena realitas itu diciptakan bukan ditemukan.

Dalam penelitian ada yang disebut dengan systematic error. Systematic error dapat muncul jika: pertama hasil penelitian sudah tahu dari awal, jika sudah tahu dari awal hasil penelitiannya akan ke mana lantas apa gunanya diteliti, dengannya disebut sebagai kesalahan yang sistematis. Kedua, systematic error bisa muncul dari penyusunan instrumen. Lihat saja pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dari Reform Institute kepada responden. Responden diberikan pertanyaan: “Partai manakah yang paling mengecewakan?” Ini sudah masuk dalam kategori systematic error, karena pertanyaan sudah menyimpulkan hasilnya. Kecewa atau puas itu tidak bisa dijadikan pertanyaan. Karena itu kalimat kesimpulan. Pertanyaan tidak boleh menggiring responden ke arah menyimpulkan. Proses menyimpulkan hanya diambil oleh peneliti dari data-data yang ada bukan langsung disimpulkan oleh responden. Ketika pertanyaan sudah menggiring ke arah kesimpulan maka itulah systematic error.

So, masih mau percaya sama hasil penelitian yang mengandung systematic error? Taburkan saja ke laut, rakyat tidak butuh survey politik sekarang, karena pemilu masih jauh. Rakyat butuh kesejahteraan. Titik. Kekuasaan adalah untuk mensejahterakan bukan untuk melahirkan kekuasaan baru.**[harja saputra]

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments