ParlemenReportase

Beberapa Kesalahan Setya Novanto dalam Pidato Penyambutan Raja Salman

suasana di gedung paripurna DPR RI (harjasaputra)

Raja Salman, Kamis (2/3/2017), melakukan kunjungan kehormatan dan menyampaikan pidato di hadapan para wakil rakyat di gedung paripurna DPR RI. Gedung paripurna yang digunakan adalah “gedung bulat”, tempat di mana Raja Faisal dahulu melakukan hal yang sama di hadapan para wakil rakyat.

Gedung bulat ini ukurannya lebih besar daripada gedung rapat paripurna biasa. Dengan jumlah kursi kehormatan lebih dari 1000 kursi di dalamnya, tempat MPR bersidang. Di luar dugaan, awalnya diperkirakan gedung itu tidak akan penuh dikarenakan DPR-RI sedang masa reses, namun ternyata gedung bulat penuh, bahkan membludak hingga ke balkon. Hal ini menunjukkan antusiasme para wakil rakyat sangat tinggi.

Hadir pula para tamu kehormatan, seperti Ketua MPR, SBY, Prabowo, Tri Sutrisno, Ketua Umum Parpol-parpol, dan sejumlah dubes negara sahabat. Tidak hanya itu, tamu undangan yang hadir pun hadir dari berbagai kalangan. Tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan juga rakyat jelata seperti saya pun bisa hadir. Maaf-maaf ya..:v :v.

Bagi saya sendiri, isi pidato Raja Salman tidak ada yang terlalu istimewa. Disampaikan hanya dalam waktu 7 menit dan memuat hal-hal normatif. Tidak ada informasi baru di dalamnya. Hal ini mudah dipahami, karena pidato tersebut bukan seperti pidato guru besar di kampus-kampus yang biasanya sangat panjang. Pidato Raja Salman hanya menekankan mengenai kerjasama antara Indonesia dan Arab Saudi.

Hal menarik bagi saya justru dari pidato sambutan Ketua DPR-RI, Setya Novanto. Menarik karena banyak hal di dalamnya yang patut disimak. Secara keseluruhan substansi pidato Setya Novanto sangat bagus. Yaitu mengenai harapan Indonesia dalam meningkatkan kerjasama dengan Arab Saudi. Ada kalimat menarik yang patut dicatat, yaitu di saat Ketua DPR RI, mengutip perkataan Raja Faisal, “Barang siapa yang ingin mengingkari hubungan istimewa antara Indonesia dan Arab Saudi, sama dengan mengingkari matahari di siang hari”.

Hal itu untuk memperkuat harapan Indonesia untuk lebih meningkatkan kerjasama dengan Arab Saudi. Untuk lebih menekankan hal itu, Setya Novanto secara gamblang menyebutkan mengenai harapan ditambahnya kuota haji Indonesia, investasi, pemohonan dibebaskannya para TKI yang hendak dihukum mati, dan kerjasama di bidang lainnya.

Hal menarik lainnya adalah, karena saya sedikit banyak mengerti bahasa Arab (gak fasih-fasih amat sih), agak geli ketika Setya Novanto membacakan teks yang isinya berisi kalimat Arab. Saya yakin, beliau sudah berlatih membacakan kalimat itu berkali-kali, bahkan mungkin berhari-hari, tetapi mungkin karena grogi (dan itu diakui sendiri oleh beliau pada saat pidato) ada banyak kesalahan pengucapan di dalamnya.

Pertama, lidah Setya Novanto tidak biasa melafalkan kalimat Arab. Agak janggal ketika beliau melafalkan kalimat Arab. Saya tidak hendak mengatakan bahwa jangan-jangan beliau tidak bisa mengaji. Tidak ke arah situ. Saya hanya melihatnya terlalu memaksakan diri melafalkan kalimat Arab yang sesungguhnya bisa saja diganti dengan menyampaikan pidato keseluruhannya dalam bahasa Indonesia. Ditambah lagi, pidato kenegaraan memang harusnya dalam bahasa Indonesia.

Kedua, Setya Novanto salah dalam menyebutkan kata “Haramain“. Ia menyebutkannya dengan “Harimain“. Dalam bahasa Arab, bahkan dalam bahasa apapun, salah menyebut sedikit saja bisa salah juga maknanya. Haramain dan Harimain itu beda arti. Haramain maknanya “dua tempat haram”, yaitu merujuk pada dua tempat mulia di Mekkah dan Madinah. Adapun Harimain (dengan pelafalan huruf i) bermakna “yang beristri dua”. Harim itu perempuan atau istri. Kan jauh banget artinya dan cenderung janggal.

Ketiga, ada inkonsistensi penggunaan bahasa. Setya Novanto kadang menyebut Raja dengan kalimat dalam bahasa Indonesia “Penjaga Dua Kota Suci Umat Islam” dan kadang juga menyebutnya dalam bahasa Arab “Khadimul Haramain wa Syarifain” (yang dalam beberapa kali salah pengucapan). Seharusnya, akan sangat aman jika semuanya diucapkan dalam bahasa Indonesia.

Keempat, salah dalam menyebut Tri Sutrisno sebagai Mantan Wakil Ketua DPR, yang seharusnya Mantan Wakil Presiden. Hal ini beliau ralat setelah para hadirin ramai berteriak membetulkan kesalahan tersebut.

Kelima, Setya Novanto di ujung pidatonya meneriakkan yel-yel “Asani Indonesia, Asani Indonesia“. Saya bingung, apa maksud dari kalimat itu. Oh mungkin maksudnya ‘Asyyani Indonesia, artinya Hidup Indonesia. Woalah..ada dua kesalahan di situ, tidak menggunakan pelafalan ‘ain dan syin. Dan, kalimat “Hidup Indonesia” jika dilafalkan dalam bahasa Arab menjadi sangat aneh.

Di Arab yel-yel heroik jarang menggunakan kata “Hidup”, tetapi dengan kalimat-kalimat misalnya Allahu Akbar, atau kalimat lain yang selalu menyertakan kata Allah di dalamnya. Beda lagi jika di Iran, yel-yel selalu dengan menyebut shalawat pada Nabi dan Keluarganya. Padahal lafalkan saja dalam bahasa Indonesia, “Hidup Indonesia”, nanti akan otomatis ditranslate ke dalam bahasa Arab oleh translator dengan kalimat yang sesuai dengan konteksnya.

Harus banyak dimaklumi, karena manusia tempatnya salah. Namun, untuk sekelas pidato kehormatan kenegaraan, ini agak janggal. Bagi saya yang terbiasa menyiapkan teks pidato pimpinan di Komisi DPR, sesungguhnya Setya Novanto tidak salah, yang salah adalah pembuat teks sambutan pidato itu. Kenapa memaksakan diri mencampur-adukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Arab. Menjadi sangat janggal jadinya.**[harjasaputra]

 

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments