Menggali Sejarah dan Dasar Maulid Nabi Muhammad SAW

Semua waktu adalah sama. Tidak ada yang istimewa. Dari Ahad sampai Sabtu, malam, pagi, sore, semua sama. Tanggal 1 sampai tanggal terakhir juga sama. Tak ada yang istimewa dalam substansinya. Waktu dan tempat menjadi istimewa bukan karena waktu atau tanggalnya tapi karena ada peristiwa pada waktu tersebut.

Ketika tanggal 5 Juni misalnya seseorang menikah, bukan tanggal itu yang istimewa, tetapi momennya yang istimewa, sehingga kemudian tanggal itu juga ikut diistimewakan. Esensinya bukan di tanggal, melainkan karena berkaitan dengan momen yang istimewa bagi orang tersebut.

Bulan Rabi’ul Awwal pun demikian. Terdapat tanggal istimewa di bulan ini, salah satunya adalah tanggal 12 Rabi'ul Awwal. Bukan karena tanggalnya yang istimewa, melainkan karena berkaitan dengan momen paling istimewa, yaitu kelahiran (maulid) Nabi Muhammad Saw, sosok agung dan manusia paling sempurna di muka bumi.

Nabi yang membawa umat manusia dari abad jahiliyah, abad kegelapan, menuju abad terang-benderang, abad yang penuh cahaya kedamaian dan ilmu pengetahuan. Tiada nikmat yang lebih berhak untuk disyukuri dari nikmat wujudnya sang kekasih, Muhammad SAW.

Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad Saw

Secara harfiah, maulid bermakna hari lahir. Namun kemudian istilah maulid saat ini digunakan secara spesifik untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kelahiran Nabi Muhammad Saw merupakan awal dari sejarah (sirah) Islam karena sejak hari itulah fundamen ajaran Islam dibangun, sehingga sejarah hidup Rasulullah SAW itu sangat perlu dibaca dan dikaji karena penuh inspirasi dan bisa memantapkan iman. Allah SWT berfirman,

وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ

Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu.. (QS. Hud :120)”.

Nabi Muhammad SAW lahir di kota suci Makkah pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal bertepatan dengan tahun Gajah, yaitu karena pada tahun itu tentara Abrahah menyerang kota suci Makkah dengan pasukan gajah. Menurut perhitungan para ahli sejarah, beliau lahir pada tahun 571 M atau 53 tahun sebelum hijrah.

Nabi Saw dilahirkan dari suku Quraisy, yaitu suku yang paling terhormat dan terpandang di tengah masyarakat Arab pada waktu itu. Suku Quraisy jika ditarik secara vertikal merupakan suku Arab yang berasal dari keturunan Nabi Ismail. Dari suku Quraisy tersebut, beliau dari bani Hasyim, anak suku yang juga paling terhormat di tengah suku Quraisy. Rasulullah Saw lahir dalam keadaan yatim, karena ayahnya, Abdullah, telah meninggal ketika sang ibu, Aminah, tengah mengandungnya di usia dua bulan.

Allah SWT juga menjadikan hari kelahiran Nabi SAW sebagai momen istimewa. Pertama, perkataan Utsman bin Abil ‘Ash Atstsaqafiy dari ibunya yang pernah menjadi pembantu Aminah r.a, ibunda Nabi SAW. Ibu Utsman mengaku bahwa tatkala Ibunda Nabi SAW mulai melahirkan, ia melihat bintang-bintang turun dari langit dan mendekat. Ia sangat takut bintang-bintang itu akan jatuh menimpa dirinya, lalu ia melihat kilauan cahaya keluar dari Ibunda Nabi SAW hingga membuat kamar dan rumah terang benderang (Kitab Fathul Bari, juz 6/583).

Kedua, Ketika Rasul SAW lahir ke muka bumi beliau langsung bersujud (Kitab Sirah Ibn Hisyam).

Ketiga, riwayat yang shahih dari Ibn Hibban dan Hakim yang menyebutkan bahwa saat Ibunda Nabi melahirkan Nabi SAW, beliau melihat cahaya yang teramat terang hingga pandangannya bisa menembus Istana-Istana Romawi (Kitab Fathul Bari juz 6/583).

Keempat, di malam kelahiran Rasul SAW itu, singgasana Kaisar Kisra runtuh, dan 14 buah jendela besar di Istana Kisra ikut rontok.

Kelima, padamnya Api di negeri Persia yang semenjak 1000 tahun menyala tiada henti (Kitab Fathul Bari 6/583).

Beberapa peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Allah SWT hendak mengabarkan seluruh alam bahwa pada detik itu telah lahir makhluk terbaik yang pernah diciptakan oleh-Nya, dan Allah SWT mengagungkan momen itu.Nabi Muhammad Saw sebelum masa kenabian telah dikenal sebagai sosok yang jujur dan dapat dipercaya sehingga diberikan gelar Al-Amin.

Hal itu dibuktikan dari kisah peletakan kembali Hajar Aswad ke Kabah setelah Mekkah dilanda banjir. Tepatnya pada usia 35 tahun sebelum kenabian ada suatu peristiwa yaitu Makkah dilanda banjir besar hingga meluap ke baitul Haram yang dapat meruntuhkan Kakbah. Dengan peristiwa itu orang-orang Quraisy sepakat untuk memperbaiki Kakbah.

Ketika pembangunan sudah sampai di bagian Hajar Aswad mereka saling berselisih tentang siapa yang meletakkan hajar Aswad di tempat semula dan perselisihan ini sampai 5 hari tanpa ada keputusan dan bahkan hampir terjadi pertumpahan darah.

Akhirnya Abu Umayah menawarkan jalan keluar siapa yang pertama kali masuk lewat pintu Masjid itulah orang yang memimpin peletakan Hajar Aswad. Semua pada sepakat dengan cara ini. Allah SWT menghendaki ternyata yang pertama kali masuk pintu masjid adalah Rasulullah SAW.

Orang-orang Quraisy berkumpul untuk meletakkan Hajar Aswad. Rasulullah meminta sehelai selendang dan pemuka-pemuka kabilah supaya memegang ujung-ujung selendang lalu mengangkatnya bersama-sama. Setelah mendekati tempatnya Nabi mengambil Hajar Aswad dan meletakkannya ke tempat semula akhirnya legalah semua. Mereka pada berbisik dan menjuluki “Al-Amin” yang artinya dapat dipercaya.

Nabi Muhammad SAW mempunyai kelebihan dibanding dengan manusia biasa, beliau sebagai orang yang unggul, pandai, terpelihara dari hal-hal yang buruk, perkataannya lembut, akhlaknya utama, sifatnya mulia, jujur terjaga jiwanya, terpuji kebaikannya, paling baik amalnya, tepat janji, paling bisa dipercaya dan beliau juga membawa bebannya sendiri, memberi kepada orang miskin, menjamu tamu dan menolong siapapun yang hendak menegakkan kebenaran. 

Dasar Maulid Nabi Saw

Terdapat kontroversi mengenai hukum memperingati Maulid Nabi Saw. Ada yang mengatakan bid’ah dan ada pula yang mengatakan sebaliknya, yaitu diperbolehkan karena berbagai dasar pendapat. Dua pendapat ini masing-masing memiliki dasar dalil sendiri-sendiri. Hal ini jangan dipandang sebagai dua pandangan yang saling menyalahkan sehingga harus disikapi secara berlebihan, melainkan sebagai suatu perbedaan pendapat.

Perbedaan adalah rahmat, yaitu agar bagaimana umat Islam dapat bersikap dalam menghadapi perbedaan tersebut. Mengingat hal ini bukan bagian dari tauhid, melainkan hanya bagian kecil dari masalah furu’ yang bisa terjadi banyak perbedaan pendapat di dalamnya.

Kelompok yang mengatakan bid’ah berargumentasi dengan dalil bahwa memperingati kelahiran Nabi Saw tidak pernah diajarkan dan dipraktekkan oleh Nabi Saw, sehingga segala sesuatu yang tidak ada ajarannya dari Nabi Saw adalah terlarang.

Hal ini berpegang pada hadits Nabi Saw: “Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].

Adapun kelompok yang membolehkan bahkan menganjurkan peringatan maulid Nabi Saw berpegang pada dalil yang berbeda. Yaitu bahwa memperingati kelahiran Nabi Saw adalah sebagai tanda bukti kecintaan kita kepada Nabi Saw, di mana kecintaan kepada Nabi Saw merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan.

Hal tersebut diperkuat oleh hadis sahih bahwa Nabi SAW pernah bersabda, “Tak seorang pun di antara kamu beriman, sampai ia mencintaiku lebih dari ia mencintai anak-anaknya, orang tuanya, dan semua orang” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis al-Bukhârî lainnya, beliau bersabda, “Tak seorang pun di antara kamu beriman sampai ia mencintaiku lebih dari ia mencintai dirinya sendiri.” ‘Umar ibn al-Khaththâb ra berkata,“Wahai Nabi saw, Aku sungguh mencintaimu melebihi diriku sendiri.”

Hal tersebut diperkuat dengan dalil naqli dalam al-Quran bahwa kesempurnaan iman tergantung pada cinta kepada Rasulullah Saw., karena Allah swt dan para malaikat-Nya terus-menerus menyatakan penghormatannya, sebagaimana begitu jelas disebutkan dalam ayat berikut, “Allah swt dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi Saw” (QS. 33:56).

Argumentasi yang lain adalah dari sabda Rasulullah saw. sendiri yang telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara bersyukur kepada Allah atas kelahirannya itu. Dalam hadis shahih yang diriwayatkan dari Abu Qatadah r.a., bahwa Nabi saw. berpuasa pada hari Senin dan bersabda, “Itu adalah hari dimana aku dilahirkan." (HR. Muslim, dari hadis Abu Qatadah).

Kedua kutub perbedaan pandangan tersebut sesungguhnya lebih bersifat perbedaan paradigma dalam menetapkan hukum. Bagi yang mengatakan bid’ah lebih berpegang teguh pada prinsip “Segala sesuatu yang tidak ada perintah atau ajarannya adalah terlarang”. Sebaliknya, bagi ulama yang membolehkan lebih berpegang pada prinsip “Segala perbuatan yang tidak ada larangannya secara jelas dalam dalil naqli maka hal itu boleh”.

Dalam Ushul Fiqh disebutkan, “Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahrim) adalah jika ada dalil yang menegaskan”. Kaidah ini sesuai dengan firman Allah yang artinya, “Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu” (al-An’am: 119).

Kaidah lain adalah, “Segala sesuatu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah“. Ini selaras dengan hadits Nabi saw.

Rasulullah saw bersabda:

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

Selain itu, al-Quran pun banyak mengisahkan mengenai hari-hari kelahiran para Nabi, sehingga hal itu memberikan isyarat bahwa al-Quran memberikan posisi yang tinggi pada sejarah kelahiran orang-orang terhormat seperti para Nabi. Berikut ini adalah beberapa ayat al-Quran yang mengisahkan mengenai kelahiran para Nabi:

1. Kelahiran Nabi Isa as:

Dalam Al-Quran banyak tercantum mengenai maulid para Nabi. Allah SWT mengisahkan Nabi Isa A.S. secara runtun: mulai kelahirannya, lalu diutus sebagai rasul, hingga diangkat ke langit. Misalnya dalam QS Ali Imran ayat 45 sampai 50. Di situ Allah SWT memulai kronologi kisah Nabi Isa a.s. dengan firmanNya,

إِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ

“(ingatlah), ketika malaikat berkata: “Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),” (QS. Ali Imran: 45).

Di ayat yang lain, Allah berfirman melalui ucapan Isa al-Masih a.s., “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan." (Maryam: 33).

2. Kelahiran Nabi Yahya a.s:

Dalam surat Maryam ayat 3 sampai 33, Allah mengisahkan perjalanan hidup Nabi Zakaria dan Nabi Yahya dengan panjang lebar. Salah satunya adalah ketika Allah Swt mengabarkan kepada Nabi Zakaria mengenai kelahiran putranya Yahya:

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا

Hai Zakaria, Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengannya” (Maryam: 7).

Selanjutnya, dengan bahasa yang indah, Al-Quran mengisahkan sirah Nabi Zakaria a.s. dan putranya, Yahya a.s.. Sama seperti perjalanan hidup Nabiyullah Isa a.s., sirah Nabi Yahya bisa pula diistilahkan sebagai Maulid Nabi Yahya karena, hakikatnya, maulid adalah sirah. Begitu pun kisah Nabi Ibrohim, Nabi Ismail, Nabi Ishak, Nabi Ya’kub, Nabi Yusuf, Nabi Musa dan lainnya.

3. Kelahiran Siti Maryam

Tidak hanya para nabi. Al-Quran juga menceritakan sejarah hidup sebagian kaum shalihin. Salah satunya adalah Siti Maryam, sosok teladan bagi wanita sepanjang masa. Kisah wanita mulia itu dibuka dengan sebuah nazar yang diucapkan seorang ibu yang berhati tulus dalam surat Ali Imran ayat 35 sampai 37:

(ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (Ali Imran: 35).

Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata:

Ya Tuhanku, Sesunguhnya Aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya Aku Telah menamai dia Maryam dan Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.” (Ali Imran: 36).

Memperingati Maulid Nabi Saw dengan mengenang keagungan dan membacakan syair-syair mengenai Nabi pun diajarkan oleh Nabi Saw sendiri. Ibn Katsîr dalam Tafsir-nya menyebutkan fakta bahwa, menurut para sahabat, Nabi saw. memuji namanya sendiri dan membacakan syair tentang dirinya di tengah-tengah Perang Hunain untuk membangkitkan semangat para sahabatnya dan membuat takut musuh-musuhnya.

Pada hari itu beliau mengatakan: “Akulah Nabi saw! Ini bukan kebohongan. Aku anak ‘Abd al-Muthâlib.” (Kitab Tafsir Ibn Katsir).

Peringatan maulid Nabi SAW dengan demikian pernuh dengan hikmah dan manfaat. Di antaranya: mengenang kembali kepribadian Rasulullah SAW, perjuangan beliau yang penuh pelajaran untuk dipetik, dan misi yang diemban beliau dari Allah SWT kepada alam semesta.

Para sahabat radhiallahu anhum kerap menceritakan pribadi Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan. Hal ini menjelaskan bahwa para sahabat sering menceritakan apa yang terjadi dalam perang Badar, Uhud dan lainnya, kepada anak-anak mereka, termasuk peristiwa saat perang Khandaq dan Bai’atur Ridhwan.

Selain itu, dengan menghelat Maulid, umat Islam bisa berkumpul dan saling menjalin silaturahim. Yang tadinya tidak kenal bisa jadi saling kenal; yang tadinya jauh bisa menjadi dekat. Kita pun akan lebih mengenal Nabi dengan membaca Maulid, dan tentunya, berkat beliau SAW, kita juga akan lebih dekat kepada Allah SWT.