Peran Pemuda dalam Pemilihan Umum

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, Anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota DPRD, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[1]

Melaksanakan kedaulatan itu bagi rakyat adalah dengan cara menentukan atau turut menentukan sesuatu kebijakan kenegaraan tertentu yang dapat dilakukan sewaktu-waktu menurut tata cara tertentu.

Cara ini dapat dilakukan melalui dua cara yaitu: [2]

  1. Penyaluran kedaulatan rakyat melalui perwakilan (representative democracy) atau sistem yang bersifat tidak langsung (indirect democracy).
  2. Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy).

Dalam hal perwujudan kedaulatan rakyat secara tidak langsung dapat ditemukan dalam pembentukan Undang-Undang yang ditetapkan dengan persetujuan antara Pemerintah dan para wakil rakyat di DPR . Artinya dalam hal ini, rakyat berdaulat ikut menentukan melalui perantaraan wakil-wakilnya di DPR.

Adapun penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung dilakukan untuk memilih wakil-wakil rakyat dan juga untuk memilih para pejabat publik tertentu yang akan memegang tampuk kepemimpinan dalam rangka melaksanakan tugas-tugas pemerintahan eksekutif, baik pada tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten atau kota, diadakan pemilihan umum (general election) secara berkala, yaitu setiap lima tahun sekali.

Mekanisme pemilihan umum itu merupakan wujud penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung. Karena pemilihan umum diselenggarakan untuk tujuan:[3]

  1. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai,
  2. Untuk memungkinkan terjadinya penggantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan,
  3. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat,
  4. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga Negara.

Saat ini masyarakat Indonesia akan dihadapkan pada ajang Pemilihan Umum pada tahun 2019 sebagai wujud pelaksanaan sistem demokrasi dan kedaulatan rakyat. Ajang pesta demokrasi setiap lima tahun ini, harus mendapat perhatian khusus dari semua kalangan karena akan menentukan arah Negara ini untuk lima tahun ke depan. Seluruh komponen masyarakat, termasuk pemuda, harus mengawal dan berkontribusi dalam pelaksanaan Pemilihan Umum.

Pertanyaan mendasarnya: kenapa pemuda harus terlibat dalam Pemilu? Apa alasan yang mendasari hal tersebut?

Berbagai argumentasi dari kajian kelemahan sistem demokrasi berikut ini menjadi pijakan agar pemuda dapat berperan lebih aktif dalam mengawal proses demokrasi.

 Mengungkap Sisi Kelemahan Sistem Demokrasi

 Indonesia adalah negara yang menganut paham demokrasi. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, pembuatan hukum dan dalam pemilihan umum.

Sistem demokrasi bukan sistem yang sempurna, banyak kelemahan yang terkandung dalam sistem ini. Meskipun demikian, disebutkan bahwa “Sistem demokrasi adalah sistem buruk dibandingkan dengan sistem lain yang jauh lebih buruk”. Apa saja kelemahan dalam sistem demokrasi? Ini menjadi penting untuk menelaah lebih jauh dan di mana kita semua dapat berperan dalam sistem ini.

Ada banyak penjelasan untuk pertanyaan ini. Para filsuf sejak lama mencurigai demokrasi. Plato salah satunya. Menurutnya, demokrasi bukanlah sistem yang ideal, tapi sebuah sistem politik yang memberi jalan bagi tiran untuk berkuasa. Argumen Plato sederhana.

Masyarakat secara alamiah terpolarisasi, antara yang kaya dan miskin, yang terdidik dan terbelakang, yang kuat dan lemah. Dengan demokrasi, orang-orang kaya, pintar, dan kuat, akan menggunakan mereka yang miskin, bodoh dan lemah untuk memobilisasi kekuatan.[4]

Plato tidak sendiri. Beberapa filsuf besar dan kaum tercerahkan di Eropa meragukan demokrasi. Voltaire, Friedrich Nietzsche dan Carl Schmidt di antaranya. Voltaire menganggap demokrasi sebagai sistem yang hanya memanjakan ego liar manusia. Baginya, sistem yang ideal adalah monarki konstitusional dan seorang diktator tercerahkan (enlightened despot) lebih baik ketimbang pemimpin yang dipilih secara demokratis.

Jason Brennan, seorang pengajar Ilmu Politik di Universitas Georgetown, AS, secara tegas mempersalahkan demokrasi atas meningkatnya rasisme, kebencian, serta naiknya figur-figur inkompeten menjadi pemimpin. Dalam bukunya, Against Democracy, Brennan memberikan beberapa alasan mengapa demokrasi sebetulnya adalah sistem yang buruk.

Salah satu cacat bawaan demokrasi adalah asumsi (keliru) bahwa hak memilih dianggap sebagai jaminan bagi warga negara untuk kesetaraan. Seolah-olah menegasikan hak pilih seorang atau sekelompok warga disamakan dengan tindakan mendiskriminasikan mereka. Sehingga, upaya apa saja yang bermaksud memperbaiki kualitas demokrasi lewat aturan pemilihan (suffrage) akan dianggap sebagai ide subversif.

Menurut Brennan, pembatasan pemilihan bagi orang-orang atau kelompok tertentu adalah sebuah keharusan untuk memperbaiki kualitas hasil pilihan. Jika kita ingin menghasilkan pemimpin yang baik, maka kita harus pastikan yang memilih adalah orang-orang yang tepat. Pemilih yang buruk akan memilih pemimpin yang buruk. Masyarakat yang korup cenderung memilih koruptor.

Seperti Plato, Brennan menganggap masyarakat politik (dia menyebutnya “warga demokratis,” democratic citizens) tidak akan pernah setara. Selalu ada beragam kelompok dalam masyarakat. Dia melihatnya ada tiga. Pertama, orang-orang yang apatis, apolitis, serta ignorant dalam banyak urusan menyangkut politik. Kalaupun mereka tahu tentang politik, pengetahuan mereka sangat minim.

Kedua, orang-orang yang antusias terhadap politik. Mereka punya informasi tentang politisi maupun partai yang mereka dukung. Mereka ikut kampanye dan menyebarkan atribut partai. Kelompok ini cenderung fanatik pada pilihan politiknya dan bersikap antipati pada kelompok lain.

Ketiga, kelompok warga yang rasional, cerdas, dan mengambil keputusan berdasarkan landasan ilmiah. Mereka memilih calon pemimpin atau partai politik berdasarkan pertimbangan rasional, melihat kebijakan mana yang masuk akal dan mana yang tidak. Mereka dengan cepat mengubah pandangannya tentang suatu partai jika mereka melihat ada kebijakannya yang irasional.

Pendapat Brennan di atas pada intinya adalah bahwa menyerahkan sepenuhnya pada rakyat untuk memilih pemimpin yang cocok menurut rakyat dengan mengandalkan suara terbanyak masih terdapat kelemahan. Demokrasi banyak diterapkan di banyak negara karena fokusnya adalah sistem kekuasaan berada pada rakyat.

Namun, bukan berarti sistem demokrasi adalah yang terbaik. Jika rakyat terpolarisasi dan mayoritas tidak mendapat informasi yang layak mengenai syarat-syarat pemimpin yang adil, tingkat pendidikan rendah, terpinggirkan, pragmatis, maka akan melahirkan pemimpin dengan kapasitas yang sama, yaitu pemimpin yang tidak kredibel.

Jika di suatu wilayah, rakyatnya termasuk dalam kategori bodoh dan sedikit sekali yang terdidik, maka hasil dari demokrasi tentunya pilihan rakyat banyak yang tergolong bodoh akan mengalahkan pilihan orang terdidik namun dengan suara sedikit. Tentunya, orang yang terdidik harus kalah dan dipimpin oleh pemimpin hasil pilihan dari rakyat yang tidak terdidik.

Hal ini menjadi kritik utama terhadap sistem demokrasi. Meminjam istilah Brennan, fragmentasi dalam warga demokratis ini sebagai cacat lain dari demokrasi. Dengan sistem one man one vote, tidak mungkin kualitas demokrasi akan terjaga terus.

Untuk mengatasi kebuntuan, Brennan mengajukan alternatif yang cukup radikal. Dia menyebutnya “epistokrasi,” yakni sistem politik berdasarkan pilihan warga yang melek politik. Maksud “melek politik” adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang isu-isu publik yang menentukan nasib masyarakat.

 Peran Pemuda dalam Pemilu

Kita tahu bahwa akar persoalan ada pada kualitas pemilih. Banyak orang yang buta politik dan tak tahu apa yang mereka pilih ketika berada di kotak suara. Dalam demokrasi, ketidaktahuan bisa menjadi kutukan.

Sejauh ini, ada dua cara untuk mengatasinya:

Pertama, cara radikal seperti yang diajukan Brennan itu yaitu dengan menyerahkan demokrasi pada orang-orang terdidik, tidak semua harus diserahkan pada rakyat secara langsung.

Kedua, cara konvensional seperti selama ini dilakukan, yakni pendidikan pemilih. Pemilih mungkin tidak rasional, tetapi pemilih bisa dipengaruhi. Pendidikan pemilih dimaksudkan agar para pemilih bisa lebih cerdas dalam memilih calon-calon wakil atau pemimpin mereka.

Demokrasi memang bukan perkara gampang. Demokrasi adalah sesuatu yang harus terus-menerus diperjuangkan. Tidak ada sistem yang sempurna. Yang ada adalah sistem yang senantiasa dicek dan diperbaiki. Pendidikan pemilih harus lebih digiatkan. Hanya dengan cara ini kita bisa membuat kualitas demokrasi lebih baik lagi.

Peran pemuda dalam Pemilu adalah dengan menempuh alternatif solusi di atas, baik alternatif pertama yaitu terlibat langsung ke dalam Partai Politik sebagai aktor yang dapat mewakili masyarakat untuk kemudian memilih pemimpin yang ideal untuk kemajuan masyarakat.

Rakyat tidak dibebani tugas berat secara langsung dalam menentukan pilihan karena adanya kelemahan banyaknya fragmentasi di masyarakat itu sendiri. Untuk menuju ke arah itu, pemuda harus membekali diri dengan pengetahuan yang cukup, kecerdasan yang maksimal, dan penguasaan terhadap nilai-nilai kearifan, sehingga mampu menjadi wakil rakyat yang dapat diandalkan.

Tanpa adanya hal tersebut, maka tidak akan ada perbaikan yang berarti. Wakil rakyat yang tidak terdidik, akan lebih parah dampaknya karena akan menghasilkan pemimpin yang buruk yang dipilih oleh wakil rakyat yang bodoh. Tidak ada bedanya dengan jika diserahkan langsung pada rakyat.

Peran pemuda juga dapat dilakukan pada alternatif solusi kedua, yaitu dengan melakukan kegiatan yang massif mengenai pendidikan terhadap pemilih, yaitu memberikan pengetahuan mengenai hal-hal ideal dalam pemilihan umum kepada masyarakat.

Masyarakat harus diberikan pendidikan melalui berbagai kegiatan pendidikan pemilih mengenai berbagai hal, termasuk urgensi pemilihan umum, kriteria pemimpin yang ideal, kesadaran terhadap bahaya money politic, konstelasi politik internasional, kondisi bangsa aktual, dan berbagai informasi lain agar masyarakat menjadi melek politik sehingga memiliki informasi yang cukup dalam menentukan wakil dan pemimpin mereka.

Pemuda dengan sendirinya dapat berperan aktif dan menjadi sangat penting dalam menentukan kesuksesan pemilihan umum. Di samping alasan filosofis dari adanya kelemahan pada sistem demokrasi di atas, di pihak lain yaitu secara statistik, hal ini disebabkan dalam setiap pemilu, 30 persen dari total jumlah pemilih adalah pemilih muda dengan usia 17 hingga 30 tahun. Demografi ini tentunya sangat signifikan dan partisipasi mereka akan sangat berpengaruh dalam menentukan hasil pemilu.

Kontribusi pemuda dalam menyongsong pesta demokrasi sangatlah diperlukan. Namun sayangnya, banyak pemuda saat ini yang acuh terhadap politik. Banyak anak muda yang terdogma bahwa politik cenderung berstigma buruk, terlebih banyaknya berita dari media yang menyebutkan banyaknya kasus penyelewengan wewenang oleh oknum-oknum politik. Padahal pemuda diharapkan turut andil untuk memperbaiki sistem pemerintahan di Indonesia bukan justru sebaliknya cuek dan tak mau tahu.

Partisipasi pemuda dalam Pemilihan Umum, baik Pilkada Serentak 2018 maupun pada Pemilu 2019, adalah bentuk kepedulian anak muda dalam proses politik. Sehingga anak-anak muda diharapkan mempergunakan hak politiknya untuk memilih dan menentukan masa depan bangsa.

Banyak pemuda yang menyuarakan mengenai Golput dengan mengatakan bahwa tidak memilih (golput) merupakan sebuah pilihan. Ini adalah persepsi yang keliru. Banyak juga yang berpikir memilih golput karena menganggap semua calon sama saja ini juga keliru. Saat ini ada banyak daerah di Indonesia yang mengalami kemajuan signifikan karena kepala daerahnya baik, hal ini karena ia dipilih oleh warganya.

Jika banyak orang Golput, maka suara sah akan dipenuhi oleh suara mayoritas masyarakat yang sudah terpolarisasi, suara yang sudah terfragmentasi, tidak ada perimbangan kekuatan antara calon pemimpin yang baik dan calon pemimpin yang tidak baik. Hasilnya, maka jika mayoritas rakyat berpikir fragmatis hanya karena adanya money politic, maka akan menghasilkan pemimpin yang buruk. Calon pemimpin yang baik akan kalah oleh calon pemimpin yang memiliki logistic yang lebih besar.

----

[1] Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

[2] Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Buana Indah Populer, 2008, hlm.739.

[3] Ibid.

[4]  Luthfi Assyaukanie, Masihkah Kita Percaya Pada Demokrasi?, Kompas, edisi 22 Maret 2018.