Ekbis

Rasisme dalam Ekonomi

Rasisme ternyata tidak saja hinggap di ranah pemikiran, tetapi juga di ekonomi. Entah apa sebabnya para pengamat, politisi, dan banyak pihak pada saat perdagangan bebas dengan China diterapkan ramai-ramai mengkritik. Di DPR saja sampai dibentuk Panitia Kerja (Panja) ACFTA. Koran-koran nasional banyak yang menjadikannya headline, seminar-seminar pun tak kalah ramai, rendah riuh masyarakat menentang ACFTA. Tapi ketika perdagangan bebas dengan Australia dan New Zealand dalam skema AANZFTA diterapkan sepi komentar, begitu juga dengan perdagangan bebas dengan India lebih sepi komentar.

Faisal Basri (pengamat ekonomi yang juga kompasianer) pernah mengatakan dalam sebuah talkshow di Warung Daun Cikini beberapa bulan lalu, yang mengemukakan keheranan serupa, saya masih ingat istilah yang digunakan. Ia mengatakan: “Ada sentimen unik terhadap China, terutama produk-produk dari China”. Kenapa produk China ramai-ramai ditentang sementara perdagangan bebas bukan hanya dengan China saja, ketika produk Nokia dari Eropa atau Blackberry dari Kanada membanjiri pasar masyarakat diam saja. Tapi ketika produk Nexian membanjiri pasar reaksi lalu muncul. Padahal, menurut Faisal Basri, produk China itu memiliki ciri produknya memiliki fungsi sama dan harganya murah, justru itu yang dibutuhkan oleh masyarakat kita.

Memang, ada ambiguitas di sini. Di mana-mana banyak pihak menyuarakan bahwa masih banyak masyarakat miskin di negara kita, masyarakat kita masih belum sejahtera, harus berpihak pada masyarakat miskin, dan ungkapan-ungkapan lain. Tapi produk-produk mahal dari Eropa laku keras di sini. Mobil-mobil import utuh (CBU) laris manis. Showroom-showroom mobil tak pernah sepi pembeli. Apalagi dealer motor, menjual motor sudah seperti menjual kacang. Ruko-ruko, apartemen, perumahan elit yang super mahal tak pernah khawatir tak terjual, bahkan harus indent terlebih dahulu.

Lihat saja kolom-kolom iklan di surat-surat kabar nasional maupun daerah, dipenuhi iklan-iklan produk perbankan, kartu kredit, restoran-restoran mahal (warteg mana ada di kolom iklan), bisnis pendidikan kelas atas, produk-produk elektronik, gadget, dan produk-produk lain yang jelas bukan untuk konsumsi masyarakat bawah. Lantas di mana kemiskinan itu dapat kita jumpai? “Anda salah tempat bung mencari kemiskinan di sendi-sendi kehidupan itu”, kata seorang teman. Rhenald Kasali pernah mengemukakan mengenai bangkitnya masyarakat kelas menengah di Indonesia dengan menyebutkan kenyataan-kenyataan tadi, bahwa sesungguhnya yang tumbuh adalah masyarakat menengah, dari yang semula tidak mampu kini sudah perlahan-lahan masuk ke kelas menengah.

Ooh saya lupa, produk-produk yang saya sebutkan di atas adalah produk Jepang, Eropa, Amerika, dan lainnya, bukan produk China sehingga aman-aman saja; atau produk lokal, yang memang harus kita cintai bersama. Meskipun slogan “Aku Cinta Produk Indonesia” masih sebatas formalitas. Bisa dibuktikan dengan mudah, suatu hari teman saya yang sehari-hari bangga dengan produk Indonesia karena selalu pakai batik tiap hari, ketika dijejerkan produk laptop Zyrex (Made In Indonesia tertulis jelas) dengan laptop Dell, HP, Fujitsu, mana yang ia pilih? Ternyata bukan Zyrex. Ada yang aneh dengan perilaku konsumtif kita. Kata dia, “Ooh kalau masalah makanan, baju, memang harus pakai produk lokal. Tapi kalau elektronik dan lainnya tidak bisa, karena kita patokannya kualitas”. Kenyataan ini mungkin juga terjadi pada Anda. Silahkan saja berkilah dengan gaya masing-masing. Toh negara ini negara demokrasi, bebas berpendapat, yang tidak logis aja boleh apalagi pembenaran yang logis.

Kaitannya dengan produk China apa? Produk China itu harus ada di negara kita karena harganya murah, diperuntukkan bagi masyarakat bawah kalau memang yakin bahwa masyarakat bawah itu ada, kalau yang protes berarti tidak yakin masyarakat bawah itu ada. Alih-alih berpihak pada masyarakat bawah tetapi produk untuk masyarakat bawah dihajar habis-habisan, seakan-akan semuanya harus beli produk mahal made in Japan, made in Amerika, dsb.

“Masalahnya bukan itu bung, tapi produk China mengancam produk kita, produk lokal pasti kalah saing dengan produk China”, kata seseorang. Pertanyaannya “Apakah produk kita tidak kalah saing dengan produk Eropa, Jepang, dsb? Kenapa fokus ke China?” Saya bukan Chinese tidak sedang membela tapi itu realitasnya. Dalam rapat di Komisi VI DPR bahkan salah satu anggota mengatakan setiap produk dari China harus diawasi. Baru-baru ini malah terang-terangan ada statement rasis dari seorang anggota DPR Komisi Hukum, bahwa menteri perdagangan pasti berpihak pada nenek moyangnya. Masih menjadi pertanyaan besar ada apa dengan China?** [harja saputra]

 

Tulisan ini semula dimuat dan menjadi Headline di Kompasiana: http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/06/17/rasisme-dalam-ekonomi/

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments