Categories: Filsafat

Apakah FPI, JIL, Syiah, Ahmadiyah, dsb Bisa Dibubarkan?

Ilustrasi: hafez.wordpress.com

Ada satu petuah dari guru saya waktu dulu di Sekolah Menengah Atas: “Negara demokrasi itu seperti bilangan. Angka sepuluh misalnya, untuk mencapai jumlah sepuluh kita bisa lakukan dengan berbagai cara: bisa lima ditambah lima, bisa empat ditambah enam, bisa tujuh ditambah tiga, dan banyak lagi caranya, termasuk cara lima belas dikurangi lima, sebelas dikurangi satu hasilnya juga sepuluh, dan seterusnya”. Analogi yang pas saya pikir. Masih teringat sampai sekarang. Maksud dari ungkapan itu adalah, di negara demokrasi, kita tidak bisa memaksakan kehendak misalnya pokoknya sepuluh itu harus lima ditambah lima. Ini adalah pemaksaan.

Perbedaan cara berpikir dari setiap orang adalah suatu hal yang pasti. Dengan kata lain, negara demokrasi harus memberikan tempat yang luas bagi seluruh perbedaan pemikiran atau pendapat. Apapun pemikiran dan pendapatnya. Itu bahkan amanat dari konstitusi negara kita. Kebebasan untuk berpendapat dan berserikat dijamin oleh konstitusi kita.

Untuk saat ini, meminjam perkataan pendiri negara Republik Islam Iran, sistem demokrasi adalah masih yang terbaik dibanding sistem teokrasi misalnya, kerajaan, dan lainnya. Makanya negara Islam Iran menerapkan sistem demokrasi yang berbeda dibanding negara-negara Islam lainnya. Meskipun memang banyak bolong-bolong yang ada pada sistem demokrasi ini, tetapi dibanding sistem yang lain masih lebih baik.

Itu pada level sistem negara. Harus diakui dulu oleh semua pihak bahwa negara kita adalah negara demokrasi. Jika ini sudah diakui baru kita lanjut ke pembahasan turunannya. Karena negara kita negara demokrasi maka landasan berpikir dan beraktivitas bagi masyarakat di bawah naungan negara ini harus berdasarkan pada sistem tersebut. Maka, sangat aneh ada sebagian orang yang sangat semangat untuk membubarkan FPI misalnya seperti yang ramai beberapa bulan lalu; atau seperti sekarang banyak yang bersemangat untuk membubarkan JIL misalnya, membubarkan golongan tertentu yang berbeda faham dengan aliran mainstream. Itu sama saja dengan analogi di atas, pokoknya 10 itu harus lima ditambah lima, selain itu adalah salah. Tidak bisa saudara-saudara! Negara saja tidak punya hak untuk membubarkan suatu organisasi, kecuali pada kondisi-kondisi tertentu yang diatur secara khusus, apalagi ini masyarakat golongan tertentu jelas tidak punya hak apapun.

Sistem demokrasi ini berlaku juga di level media. Media manapun tidak boleh melakukan pelarangan dalam berpendapat. Pendapat apapun harus ditampung. Masalah benar-salah bukan pada level pengelola yang menentukan tetapi pembacalah yang menentukan. Karena basis demokrasi adalah rakyat, kalau dalam media, basisnya berarti pembaca. Pro-kontra, tesis-antitesis, adalah sesuatu yang harus ada dalam sebuah proses demokrasi. Tidak mungkin seragam pemikirannya.

Dari pijakan berpikir tersebut, sangat aneh sekali jika ada beberapa pendapat bahwa media “anu” adalah sarang zionis, penyebar liberalisme, penebar fitnah, beraliran sesat dan tuduhan lainnya maka harus dibubarkan. Apakah pendapat hal ini salah? Tidak sama sekali, yang salah adalah cara pandangnya, bahwa semua orang harus sama dengan pemikirannya bahwa 10 itu harus lima ditambah lima, selain itu salah. Ini yang keliru. Sepuluh itu bahkan bisa 20 dikurangi 10. Artinya pemikiran yang taruhlah negatif sekalipun harus dihargai. Bukan main tuduh seenaknya.**[harjasaputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com