Categories: Filsafat

FPI Vs. JIL: Basi Ah..!

Sumber: hidayatullah.co.id & eramuslim.com

Bentrok pemikiran sengit antara pemikiran “kiri” dan “kanan” itu hal biasa. Dari dulu sampai saat ini sudah banyak terjadi. “Kiri” yang dimaksud adalah pemikiran yang cenderung konservatif dan “kanan” yang cenderung terlalu “modern”. Bukan maksud mengatakan pemikiran “kanan” lebih baik dari yang “kiri”. Sebagaimana perkataan Hassan Hanafi dalam buku “Al-Yasar al-Islam” (Islam Kiri) bahwa kiri yang dimaksud bukan dimaksudkan berlawanan dengan kanan.

FPI kita tempatkan di kiri dan JIL kita tempatkan di kanan atau bisa juga sebaliknya. Bahkan kedua-duanya sama-sama kiri sebenarnya, sama-sama konservatifnya. Tidak ada yang beda. JIL yang mengaku modern pun sesungguhnya konservatif karena tidak mau menerima pendapat dari golongan lain, sebagaimana juga FPI yang pokoknya bertujuan meluruskan aqidah yang benar. Aqidah yang benar itu sendiri yang seperti apa sifatnya absurd. Karena tidak ada yang tahu pasti aqidah yang benar kecuali Allah SWT, Nabi Saw, keluarganya, dan para sahabat setianya. Selain itu sifatnya menebak-nebak melalui penafsiran. Setiap penafsiran mengandung kemungkinan benarnya 50% dan salahnya 50%. Meskipun rujukannya sama: kitab suci al-Quran yang sifatnya absolut tetapi ketika ia mampir ke dalam kepala manusia maka otomatis menjadi relatif.

Kasus buku Manji tentang penafsirannya mengenai kaum Luth yang memicu kontroversial berlawanan arah dengan keyakinan yang mapan yang diyakini oleh kaum tradisional. Ini bukan suatu yang baru. Dari zaman dulu sejak Nabi meninggal dunia itu sudah ada. Bahkan, ketika Nabi meninggal dan belum sempat dikuburkan hingga harus menunggu 3 hari untuk dikuburkan, perbedaan pendapat langsung mencuat mengenai siapa pengganti kepemimpinan. Karena semuanya berdasar pada penafsiran. Perbedaan penafsiran itu biasa.

FPI dan JIL sama-sama memperebutkan penafsiran terhadap kitab suci. Jika demikian, kenapa keduanya seakan tidak pernah mau akur? Tentu saja, karena namanya juga memperebutkan suatu hal yang nisbi:  penafsiran adalah nisbi. Jika ada dua hal yang bertentangan maka hukum logika mengatakan, salah satunya benar dan yang lain salah atau kedua-duanya salah. Masalahnya keduanya merasa benar, padahal bisa saja dua-duanya salah. Bisa jadi yang benar adalah yang diluar itu. Seharusnya yang harus ditonjolkan adalah: perdamaian, persaudaraan, diskusi dengan cara-cara yang baik, sebagai nilai universal yang diajarkan oleh agama. Daripada memperebutkan suatu hal yang belum tentu benar.

Berbusa-busa alasan dikemukakan dari kedua belah pihak jika memang sudah antipati tidak akan berguna. Yang muncul adalah jurus “pokoknya salah”. Sudahlah, FPI dan JIL hentikan semua perbedaan itu! Umat butuh sesuatu yang riil, sudah bukan zamannya lagi bermain di wacana. Mau gay/lesbian masuk surga kek, masuk neraka kek, kok ente-ente pada yang ribut. Emangnya surga dan neraka milik kalian apa. Biarkan Tuhan yang memutuskan nanti. Setiap yang benar tentu ada ganjarannya dan setiap yang salah tentu ada akibatnya. Itu yang pasti.**[harjasaputra]
 

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share