Filsafat

Menguak Misteri Pencatatan Malaikat

Ilustrasi

Pukul 13.00 di suatu sudut bangunan ibu kota, para karyawan asyik makan siang sambil bercengkrama dengan rekan sejawat. Melepas kepenatan ritme rutinitas kerja yang kadang membosankan.

Di jam, menit, dan detik yang sama, di kota lain, seorang ibu sedang mengais rejeki dengan menggendong bakul sayur. Menjajakan sambil berteriak dari rumah ke rumah. Beban berat tidak dirasa untuk menghidupi buah hati tercinta.

Di jam, menit, dan detik yang sama, di ujung persimpangan jalan di daerah hijau yang subur, seorang petani sedang jongkok sambil tangannya tak henti-henti membenamkan batang padi ke tanah yang ia cangkul sendiri. Hawa panas tak dirasakan untuk secercah harapan mampu menyekolahkan anaknya yang sudah tumbuh besar.

Di jam, menit, dan detik yang sama, seorang CEO di kantor ber-AC sedang melakukan persiapan rapat terbatas dengan para karyawan. Ia duduk gelisah, raut mukanya mengkerut sambil menenteng map yang isinya laporan penjualan. Target tidak tercapai. Ia akan memarahi para krunya yang dianggap gagal.

Di jam, menit, dan detik yang sama, seorang juru parkir di suatu super market melambaikan tangan saat melihat mobil masuk sambil memberikan kode agar mobil berparkir. Pluit putih yang sudah memudar warnanya terselip di mulut. Sesekali pluit itu digantikan oleh sebatang rokok. Asap mengepul keluar.

Di jam, menit, dan detik yang sama, pencuri di kereta api sedang mengincar tas seorang wanita muda yang tergesa-gesa berjalan karena mengejar waktu untuk menemui sang pacar. Dirogohnya isi tas yang berisikan uang dan handphone. Berhasil. Ia pun segera menjauh agar tidak ketahuan.

Di jam, menit, dan detik yang sama, di ujung negara lain, di gurun tandus peperangan sedang berlangsung. Kepulan asap mesiu keluar dari mulut senjata api dan rudal yang ditembakkan ke udara. 

**

Gambaran realitas di atas adalah peristiwa di dunia yang terjadi pada waktu yang sama. Tanpa kita sadari, atau berusaha menyadari, pada waktu yang bersamaan, ratusan, ribuan, jutaan bahkan miliar, dan triliunan peristiwa terjadi. 

Miliaran orang bergerak ke berbagai arah untuk melakukan aktivitas. Lantas, pertanyaan yang memantik kepenasaran saya adalah: bagaimana malaikat mencatat peristiwa-peristiwa itu dari detik ke detik, menit ke menit? 

Mungkinkah malaikat salah dalam mencatat, tertukar antara catatan perilaku A dengan B, karena saking banyaknya data tentang perilaku manusia pada setiap rentang kontinum waktu?

Seberapa besar kapasitas mesin pencatat yang dimiliki malaikat jika memang data-data manusia ini harus dikumpulkan untuk dilaporkan di hari perhitungan? Jika dalam bentuk disk atau storage, berapa ribu tera disk yang dimiliki malaikat?

Dengan melihat model aktivitas mesin pencari seperti google yang setiap saat merayapi web-web dan aplikasi untuk mengumpulkan data dan ditampilkan di mesin pencari, apakah malaikat juga dalam mencatat menerapkan metode itu? 

Ini bukan perkara sepele untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Jangan pernah juga beranggapan, pertanyaan ini mengada-ada. Ini justru pertanyaan serius, menyangkut doktrin iman Anda.  

Aktivitas malaikat dalam mencatat data (data mining) sesungguhnya akar dan pondasi dari seluruh ilmu pengetahuan mengenai pengumpulan data, yang sekarang dikenal dengan big data. Mungkin saja, bukan lagi big data yang dicatat malaikat, melainkan super big data, karena harus juga diikutkan variabel aktivitas di luar planet bumi yang jumlahnya tak terhingga.

Menurut pandangan saya–mungkin yang tepat bukan pandangan tapi pemikiran spekulatif saya–malaikat tidak melakukan aktivitas pencatatan, melainkan seluruh realitaslah yang melapor kepada malaikat secara otomatis. Penjelasannya adalah bahwa dalam semua keberadaan telah ditanamkan unsur yang tugasnya melapor. 

Atau juga, kemungkinan yang lain, seluruh keberadaan bukan melapor, melainkan ada kemampuan mencatat sendiri data tentang dirinya sendiri. Lalu malaikat mengumpulkan data-data itu.

Kemungkinan lainnya, semua itu salah. Tidak ada aktivitas mencatat oleh malaikat atau melapor kepada malaikat. Itu dikarenakan diksi yang disebut dalam berbagai ajaran agama mengenai pencatatan malaikat sifatnya metaforik. 

Mencatat adalah aktivitas gerak. Sifatnya dinamis. Dari awalnya nol lalu berjumlah sekian lalu dicatat lagi dan bertambah lagi catatan itu. Sementara malaikat bukan termasuk unsur yang memuat dalam dirinya elemen gerak. Alias immateri atau non-materi. Immateri tidak memerlukan gerak dalam aktivitasnya. 

Ada sesuatu yang janggal memang, ketika dipahami tidak ada kegiatan pencatatan oleh malaikat. Jika tidak ada catatan, lantas ayat-ayat dalam kitab suci yang menyajikan narasi dengan kalimat “kitab” atau catatan pada saat hari perhitungan bagaimana wujudnya?

Simak dua ayat berikut:

Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan (yang ada di tangan Malaikat). Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.”

(QS. Qomar: 52-53)

Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.’ Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang jua pun.” 

(QS. Al-Kahfi: 49)

Dalam dua ayat di atas, tercantum kata mencatat atau menghitung (ahsha) dan outputnya diungkapkan dengan kata “kitab (catatan)”. Dengan demikian, ada proses pencatatan, meskipun mungkin proses pencatatannya berbeda. Beyond dari yang kita pahami.

Proses pencatatan atau pengumpulan data mensyaratkan adanya unsur yang bertugas mencatat di setiap elemen yang akan dicatat. Apa unsur tersebut?

Terdapat petunjuk dari ayat lain yang dapat dijadikan bahan pemikiran untuk menjawab hal itu. Simak ayat berikut:

Wa nafakhtu fihi min ruhi” (Shad:71), “Aku tiupkan dalam diri manusia ruh-Ku”, demikian firman Allah Swt.

Kepenasaran pencatatan dan pengumpulan data dapat dipecahkan melalui ayat itu. Bahwa ternyata, ada unsur ruh Tuhan yang ditiupkan dalam diri setiap manusia. Unsur ruh Tuhan inilah yang menjadi perantara antara manusia yang bersifat materi dengan malaikat yang non-materi. 

Apa itu ruhi dalam ayat tersebut? Filosof Muslim seperti Ibn Sina, Farabi, hingga Suhrawardi dan Shadra telah sejak dahulu membahas masalah ini. 

Semua filosof itu mengkerucut pembahasannya dalam satu titik, bahwa wujud Tuhan adalah bersifat wajib (wajib al wujud). Maknanya, keberadaan-Nya tidak butuh sebab dari wujud lain. Sementara manusia sifatnya mumkin al-wujud (keberadaannya bersifat mungkin atau butuh sebab dari wujud lain untuk “mengada”).

Sina memperkenalkan konsep emanasi, yaitu bahwa dari wujud Tuhan memancarkan wujud lain hingga terjadi proses penciptaan alam semesta. Dalam bahasa Suhrawardi yang menggagas filsafat iluminasi, wujud itu diganti dengan istilah nur atau cahaya, tetapi maknanya sama. 

Dari Wujud Tuhan terciptalah wujud kedua, lalu memancar menciptakan wujud ketiga, terus begitu hingga tercipta wujud kesepuluh. Proses-proses hingga terwujudnya wujud kesepuluh ini menghasilkan alam semesta, dan terakhir dari wujud kesepuluh inilah yang kemudian tercipta manusia. 

Ruh Tuhan yang ditiupkan ke manusia dalam konteks ayat di atas adalah “wujud” atau “ada” atau “cahaya”. Setiap yang ada pasti di situ bersemayam Tuhan di dalamnya. Yang “tidak ada” tentu tidak ada Tuhan di dalamnya karena sebagai ketiadaan.

Manusia ada karena ditiupkan “wujud” atau “ada” sebagai sifat Tuhan yang tak pernah habis. Wujud ini mengalir ke seluruh keberadaan. Konsep emanasi Ibn Sina sesungguhnya ingin menjelaskan hal ini.

Ruh dan ada sifatnya sama, yaitu immateri, tidak dapat dilihat. Ruh juga tidak dapat didefinisikan, sebagaimana halnya Ada. Apa itu Ada? Ada ya ada. Titik. Ruh ya ruh. Tuhan ya Tuhan. Sudah jelas dan tidak memerlukan definisi penjelas dari unsur luar. Dapat dikatakan, ruh identik dengan ada.

Kaitannya dengan pencatatan atau pengumpulan data oleh malaikat, unsur “wujud” yang ada di setiap keberadaan itulah yang berfungsi sebagai “chip” perekam segala aktivitas. 

Data yang dikumpulkan oleh “chip wujud” sifatnya tak terhingga. Bukan lagi triliunan tera tetapi tak terhingga alias unlimited. Unlimited dalam arti sesungguhnya.

Hal itu karena wujud hanya milik Tuhan yang juga tak terhingga, tak dapat dihitung, sehingga segala keberadaan mampu terekam seketika. Tak perlu lagi media waktu dalam pengumpulan datanya, melainkan sudah inheren dan terus menerus.*

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share