Categories: Filsafat

Rejeki dan Berbagi

Ilustrasi: Kampret/Widianto H. Didiet

Tika (26 tahun) mengaku kalap saat menghabiskan seperempat THR’nya untuk belanja baju lebaran. Walau sudah dianggarkan tetap saja ia gelap mata kala melihat papan merah bertuliskan SALE 50% makin tidak terkendali saat SALE 50% + 20%.

“Haduuuh habis murah banget sih, kapan lagi gue dapet barang bagus gitu tapi murah. Ya, over bugdet sih dikit, tapi nggak apa-apalah investasi.” Akunya malu-malu.

Lain lagi dengan Nanik (32 tahun) ia sudah mencicil belanja baju lebaran sejak 2 bln sebelum puasa. Selain kondisi mall tidak begitu ramai, biasanya harga juga cenderung stabil. Nanik memanfaatkan momen liburan sekolah kemarin. Harga-harga relatif terjangkau, karena tidak banyak orang berpikir untuk berbelanja pakaian.

“Lumayan lho dicicil, ya tiap bulan satu potong aja buat anak-anak kan cukup. Nanti lebaran kan udh kekumpul. Tinggal beli mukena.”

Begitulah tradisi masyarakat perkotaan setiap tahun. Beramai-ramai ke mall, berlomba menggunakan uang untuk barang bertuliskan SALE. Setiap tahun tampil dengan pakaian baru.

Kehidupan itu selalu ada pasang-surut: kadang kita saat ini sedang dianugerahi banyak rejeki tapi kadang juga dilanda musibah kekurangan. Hidup selalu adil. Karena kesengsaraan dan kekurangan itu ada untuk menunjukkan bahwa kelebihan harta itu sesuatu hal yang layak disyukuri. Tanpa ada yang negatif belum tentu kita sadar hal yang positif.

Satu hal yang perlu juga disadari adalah bahwa mungkin kita saat ini sedang diberikan nikmat berupa anugerah THR, tapi boleh jadi pada saat yang sama, banyak orang di luar sana sedang kekurangan. Ini penting disadari untuk mengingatkan kita bahwa berbagi dengan orang yang membutuhkan adalah hal penting untuk melakukan introspeksi diri secara langsung melalui interaksi sosial yang nyata.

Melalui itu kita bisa meraba langsung diri kita: bagaimana kalau kita berada di posisi mereka yang sedang kekurangan, mampukah kita bertahan hidup, mampukah kita tetap positif, bagaimana usaha yang mereka lakukan, dan banyak lagi.

Tengok misalnya Andi (15 tahun) yang setiap hari harus berjuang mempertahankan hidup dengan menjadi pemulung di stasiun kereta api Depok Baru.

Botol dan plastik bekas air mineral ia kumpulkan hanya untuk memperoleh uang demi membeli sesuatu yang bisa dimakan. Tidak terlalu banyak harapan. Sudah bisa bertahan hidup saja sudah untung. Pendidikan layak? Terlalu berharga baginya. Ia hanya bisa mengerti bahwa hidup adalah berjuang, hidup adalah harus turun ke jalan, jika tidak maka ia tidak makan.

Lirik juga kehidupan anak-anak di daerah terpencil. Gerombolan anak-anak di sebuah desa di pinggiran wilayah Lombok Utara misalnya. Mereka harus bersekolah dengan menyeberang sungai yang mengalir air deras, bertelanjang kaki, menjinjing sepatu butut,dan tanpa ada jembatan untuk menyeberang. Apakah mereka mengeluh? Jika ditanya jawabannya pasti iya, tapi tidak ada lagi pilihan.

Pertanyaan verbal kadang tidak menjawab perasaan terdalam manusia. Mereka hanya tahu bagaimana bisa berangkat sekolah agar tidak telat, meskipun harus berangkat dari rumah ketika hari belum ada sinar matahari terbit, meskipun harus saling mendahului dengan arus sungai yang jika hujan tak bisa dilalui. Wajah mereka memang tidak menunjukkan penderitaan, tertawa riang, tapi kita tahu apa yang mereka rasakan.

Lihat juga kehidupan para penarik gerobak sampah. Setiap hari kita dengan enaknya membuang sampah. Iya bayar memang. Tapi pernahkah kita mencoba merenungkan kehidupan para penarik gerobak sampah atau para pemulung yang mengais rejeki dari memulung sampah-sampah yang kita buang? Bau busuk itu sudah biasa. Capek menarik gerobak berat itu juga sudah biasa. Perjuangan hidup yang terus dilalui setiap hari.

Di saat kita bekerja hanya dengan kertas, mereka bekerja dengan tertatih-tatih menarik gerobak. Sesekali dimaki oleh pengendara motor atau mobil karena menghalangi jalan mereka. Itulah kerasnya hidup.

Kita sering mengeluhkan fasilitas umum atau selalu mengejar barang-barang terbaru biar update? Itu manusiawi. Itu hak masing-masing orang. Tapi sesekali tengoklah kehidupan masyarakat di daerah lain. Untuk sholat berjamaah saja harus masuk ke mushola dengan menundukkan kepala, bukan karena hormat tapi karena mushola sudah mau runtuh.

Kayu-kayu menghalangi pintu masuk sehingga harus menunduk. Itu realitas yang ada di salah satu desa di Kabupaten Dompu NTB (Desa Dorobara namanya).

Mencoba untuk melihat kehidupan yang beruntung di satu sisi dengan kehidupan yang miris di sisi lain akan membuat kita berimbang dalam berbuat. Berimbang dalam bersikap. Bahwa bagaimanapun, kehidupan yang kita miliki saat ini selalu ada saja celah untuk kita syukuri. Masih banyak orang lain yang jauh kurang beruntung dari kita. Tapi kesadaran kognitif saja tidak cukup. Inilah saatnya berbagi dengan sesama.

Dalam harta yang Anda peroleh ada bagian dari hak fakir miskin. Dari THR yang Anda peroleh jangan lupa disisihkan untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain.**[harja saputra & dhee]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share