Categories: IPTEK

Pajak Barang Mewah Untuk Smartphone?

Ilustrasi: harjasaputra.com

Pagi ini (03/09/2013) ada telepon masuk ke HP saya, kodenya 022. Wah dari Bandung, segera diangkat. Di seberang sana terdengar suara wanita memperkenalkan diri dari salah satu radio swasta yang bersiaran di 107,5 FM, grup dari koran ternama di wilayah Jawa Barat. Meminta saya untuk wawancara terkait “Pengenaan Pajak Barang Mewah (PPnBM) untuk Smartphone” yang coba digulirkan oleh pemerintah melalui statemen dari pejabat Kementerian Keuangan.

Saya diwawancarai dalam kapasitasnya sebagai koordinator dari Komunitas Konsumen Ponsel Indonesia. Dulu juga pernah diwawancarai pada saat kasus pencurian pulsa menjadi topik hangat nasional. Saat itu di saat melakukan gerakan “Matikan HP” sebagai protes atas kasus tersebut.

Meskipun wawancara via telepon harus tetap mempersiapkan diri. Diminta tunggu 10 menit untuk wawancara on air. Segera teringat salah satu tulisan dari Bu Iramawati Oemar yang pernah saya baca dan menjadi HL di Kompasiana, yang menyoroti tentang kasus yang menjadi topik wawancara. Argumentasi di artikel Bu Ira itu cukup logis, beberapa poinnya saya sampaikan juga di wawancara itu.

Di antaranya, mengenai wacana bahwa pengenaan PPnBM itu karena impor, lah emang selama ini smartphone sudah ada yang diproduksi di Indonesia? Hampir semuanya impor. Juga, kalau disebut untuk meningkatkan rangsangan agar produsen smartphone memproduksi di sini, tetap tidak masuk di logika. Jika demikian, bangkitkan dulu produksi di dalam negeri baru untuk proteksinya dengan PPnBM, bukan diterapkan PPnBM dulu baru memproduksi di dalam negeri.

Alasan lain adalah karena untuk memproteksi barang yang legal dari serbuan barang ilegal. Ini juga kurang tepat, karena nanti ada selisih harga yang makin jauh antara produk smartphone legal yang dikenakan pajak PPnBM dengan yang tidak. Pajak PPnBM itu sedikitnya 10 persen dan maksimal 200 persen. Kalau diterapkan 100 persen? Berarti harga jual smartphone nanti akan dua kali lipat dari harga sekarang. Yang dulunya harga 4 jutaan rupiah akan menjadi 8 juta rupiah. Tentu orang akan memburu smartphone illegal. Ini justru bertentangan dengan tujuan awal.

Dua alasan itu yang di antaranya saya kemukakan pada wawancara menyuarakan esensi isi dari artikel Ibu Ira Oemar.

Alasan lain, ketika ditanya oleh penyiar FM: “Apakah memang sekarang smartphone itu digunakan untuk gaya-gayaan, bukan untuk tujuan ekonomis?” Saya menjawabnya: tidak begitu. Justru smartphone banyak digunakan juga untuk kegiatan ekonomi. Orang berjualan sekarang lewat smartphone bukan sesuatu yang aneh. Kita sering menjumpainya. Mereka memasang display produk di PP (Profile Picture) dan siapa yang tertarik akan kontak si pemasang PP, atau lewat broadcast dan cara lain. Jadi, alasan hanya untuk gaya-gayaan sebagai indikator dari barang mewah kurang tepat juga.

Tidak hanya itu, saat ini pasar smartphone di Indonesia didominasi oleh si cherry hitam. Tetapi, pasar terus bergeser. Pelan tapi pasti akan didominasi oleh smartphone dengan basis teknologi Android. Apalagi nanti layanan BBM akan dilepas juga oleh si empunya dan bisa dipasang ke basis operasi Android, maka akan menambah pergeseran penggunaan smartphone. Si cherry hitam memang harganya lebih mahal, tapi smartphone basis Android dengan harga satu jutaan saja banyak beredar.

Di smartphone juga ada kasta-kasta harga dan tipe. Mungkin untuk jenis smartphone yang bertatahkan emas, swarovsky, atau tipe-tipe tertentu yang harganya selangit bisa dimasukkan sebagai jenis barang mewah. Namun di luar itu, tidak fair jika semua smartphone digolongkan sebagai barang mewah. Pemerintah harus mendefinisikan ulang lagi pengertian “Smartphone” yang akan dikenakan PPnBM.

Jika memang pemerintah tetap memberlakukan pajak PPnBM bagi produk smartphone, tanpa memandang alasan-alasan dan dampak terhadap penggunanya  seperti tersebut di atas, maka satu hal yang layak dipertimbangkan: “Say No to Smartphone”!**[harjasaputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Lihat Komentar

  • Saya pribadi ga masalah kalau kena pajak sih asal jelas kemana uang pajaknya digunakan ga raib begitu aja.

Share