Categories: Komunikasi

Jangan Hentikan YKS?

Ilustrasi: capture youtube.com

Sedang ramai diperbincangkan mengenai salah satu program televisi swasta, yaitu YKS (Yuk Keep Smile). Di Kompasiana saya membaca tulisan dari Kangmas Hejis (KH, bukan Kyai Haji lho..) melalui tulisan berjudul Jangan Hentikan YKS!.

Dalam tulisan itu memuat berbagai argumentasi yang mendukung program televisi tersebut. Terdapat 7 argumentasi di situ. Izinkan saya melalui tulisan ini untuk mengkritisi ketujuh bangunan argumentasi yang disajikan. Tulisan dibalas dengan tulisan, argumentasi dibalas dengan argumentasi. Masalah rekomendasi dicabut atau tidaknya itu wewenang KPI, bukan wewenang kita.

Pertama, KH menulis: “Sebuah tayangan TV tidak harus dihentikan hanya karena “tidak bermutu.” Tidak bermutu merupakan hasil pemikiran yang subjektif kalau itu dilekatkan pada sebuah program televisi. Mungkin ada pihak yang dapat membutiri indikator-indikator seperti apa tayangan yang bermutu itu. Tetapi, pihak produser juga memiliki kriteria sendiri tayangan seperti apa yang dianggapnya bermutu. Baru bila sebuah tayangan merusak atau melanggar norma negara, tayangan itu harus dihentikan.”

Saya sendiri justru menilai statemen dari KH yang sangat subjektif. Sebelumnya saya kemukakan dulu, bahwa dalam sebuah tayangan atau acara televisi ada dua penilaian yang disebut dengan teori agenda setting. Ada “agenda media” dan ada juga “agenda publik”. Agenda media adalah dari kepentingan pemilik atau redaksi sedangkan agenda publik berbasis pada kepentingan masyarakat. Dua agenda ini bisa sejalan dan bisa juga berseberangan.

Di mana letak subjektifnya? Basis pendapat KH hanya berbasis pada agenda media. Pokoknya yang penting menurut pemilik modal atau redaksi media bermutu silahkan, tak peduli dengan penilaian masyarakat. Ini benar-benar ngawur. Di dalam ranah media yang demokratis, basis utamanya tetap audiens. Ketika ada bentrokan kepentingan antara agenda publik dengan agenda media, maka agenda publiklah yang dikedepankan.

Indikator suatu program televisi “bermutu” ataukah “tidak bermutu” masyarakat tidak perlu tahu indikatornya. Yang menentukan indikator adalah pemegang regulasi. Masyarakat hanya bisa merasakan dan berpendapat. Ini semacam feedback bagi penyelenggara acara.

Kedua, KH menulis “YKS adalah program TV yang melibatkan banyak orang yang juga berarti sumber nafkahnya. Artis-artis utama dan kru-kru pendukung produksi tak terbilang banyaknya. Sebagian dari mereka adalah berasal dari strata sosial-ekonomi menengah bawah.”

Oh jadi kalau melibatkan banyak orang tidak boleh diprotes atau tidak boleh dihentikan?? Dari mana rumus itu?? Kalau argumentasi ini yang digunakan, maka tempat perjudian pun tidak boleh dilarang karena itu menyangkut nafkah mereka yang berkecimpung di dunia tersebut. Tapi apakah demikian logikanya? Tidak. Latar belakang pelaku tidak boleh mempengaruhi suatu kebijakan. Kalau demikian adanya, maka akan ada perbedaan perlakuan dan ini bertentangan dengan konsep keadilan. Salah ya salah, benar ya benar, siapapun itu pelakunya, apapun itu latar belakang pelakunya. Jadi argumentasi dari KH tidak berdasar.

Ketiga, KH juga menulis argumentasinya yang ketiga sebagai berikut: “YKS adalah acara yang menarik bagi jutaan orang penontonnya. Mungkin jumlah penggemarnya jauh lebih banyak daripada penentangnya. Tidak adil kiranya bila tayangan televisi yang penggemarnya berpuluh-puluh juta (terlihat dari jam tayang prime time) dihentikan oleh kelompok minoritas.”

Statemen KH sangat ambigu. Ia menggunakan kata “mungkin” yang artinya ia tidak yakin mengenai jumlah penggemar YKS yang jauh lebih banyak daripada penentang. Tapi kemudian berangkat dari keraguan itu lantas ia bisa mengatakan “TIDAK ADIL”? Sebuah statemen yang bernada keraguan tidak bisa dijadikan patokan apalagi dijadikan untuk membuat kesimpulan. Dengannya statemen KH ngasal.

Keempat, KH menulis di poin keempat: “format YKS adalah hiburan, bukan pendidikan. Sehingga, tidak layak orang menghakimi tayangan hiburan harus bermuatan pendidikan..”

Ya semua orang juga tahu kali kalau YKS itu program hiburan bukan pendidikan. Siapa yang mengatakan YKS program pendidikan? Masalahnya bukan di situ. Tapi ketika anak-anak masih melek matanya lalu disuguhkan goyangan erotis. Ini masalahnya. Jangan mengukur sesuatu dari kesukaan personal. Apalagi ini menyangkut anak-anak. Mungkin KH suka dengan goyangan-goyangan pada acara YKS tidak ada masalah. Saya juga suka kok. Tapi ingat, kita bukan bicara masalah kesukaan kita. Di belakang kita ada anak-anak.

Kelima, KH menulis: “..harus dipisahkan antara YKS secara keseluruhan yang isi tiap episodenya beragam dan goyang oplosan yang banyak dikecam itu”.

Statemen ini agak lucu. Lho kalau kita protes ke KPI misalnya terus ditanya: “Apa nama programnya?” Ya pasti dijawab: “YKS”-lah. Kita protes pada suatu adegan dalam sebuah acara memang tidak boleh meng-generalisasikan, tapi bukan sesuatu yang salah juga kalau kita memprotes acara YKS, karena memang di acara itu goyang-goyangan itu dimunculkan.

Masih di argumentasi kelima, KH juga menulis, “Salah seorang komentator di sebuah berita online mengatakan, goyang oplosan vulgar atau tidak tergantung pada apakah pikiran kita jorok atau bersih.”

Brooo…sekali lagi saya katakan bahwa ini bukan masalah jorok atau bersih pikiran kita. Ini masalah anak-anak. Anak-anak itu sifatnya menyerap lalu berpikir bukan berpikir dulu baru menyerap.

Keenam, KH pun menyajikan argumentasi keenamnya:  “..jika YKS harus dihentikan maka banyak tayangan lainnya juga harus dihentikan kalau ukurannya tidak mendidik dan tidak bermutu”.

Ini kita bicara tentang YKS broo, tidak bicara tentang program acara lain. Untuk program acara lain silahkan nulis lagi. Ini sama saja dengan kasus seorang maling lalu ditangkap karena ketahuan. Lalu si maling itu berkata, “Lah kalau saya yang maling ini salah, kalian harus tangkap juga dong maling-maling lain selain saya”.

Kalau saya yang dengar itu pasti akan bilang, “Bukan berarti yang lain belum ditangkap lantas ente yang maling dibebaskan bukan?”

Ketujuh, KH menulis pembelaannya melalui argumentasi ketujuh sebagai berikut: “Kreativitas perlu dihargai meskipun “hanya” berupa tarian kalau masyarakat ini mau menciptakan masyarakat kreatif. Jangan karena seseorang tidak suka karena seleranya berbeda lalu berhak menghakimi sebuah karya sebagai tidak bermutu.”

Kalau argumentasinya “kreativitas”, yang paling kreatif itu maling lho. Maling itu paling kreatif, bisa buka gembok dalam sekejap dan kreativitas-kreativitas lainnya. Tapi tetap ditangkap tuh. Artinya, kreativitas atau bukan kreativitas adalah masalah lain. Jangan campur-adukkan antara kreativitas dengan penilaian. Kalau hasil karya yang kreatif tapi dianggap merugikan lalu kita protes, bukan berarti kita tidak menghargai kreativitasnya, tapi karena dianggap merugikan.**[harjasaputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share