Categories: Komunikasi

Menjadi Murid Pertama Dari Tulisan Sendiri

Ilustrasi: flickr.com

Tak terasa, sudah lebih dari 200 tulisan ter-publish baik di blog Kompasiana maupun di blog Voice of Humanism dan blog wordpress. Saya menulis umumnya rutin 1 hari 1 tulisan, bahkan bisa lebih. Awalnya menulis saja motifnya. Tak lebih dari itu. Tetapi namanya manusia tak dapat dipungkiri memiliki sifat yang berubah-ubah. Begitu juga dalam menulis. Tak mudah untuk menentukan tujuan dari menulis. Tujuan dari setiap penulis saya yakin selalu berganti-ganti. Apalagi menulis di Kompasiana yang memiliki jumlah member delapan ribu lebih. Awalnya tujuan saya hanya menulis saja apa yang ada di kepala, atau tentang suatu ide yang saya ketahui dan kuasai, bahkan tak jarang menulis suatu tema yang tidak menguasai, hanya meraba-raba dengan logika. Tujuan itu lantas berubah, ingin terkenal atau ingin dikenal sebagai seorang penulis handal yang dapat menulis berbobot. Tapi tujuan itu berubah lagi,  sesuai dengan berubahnya pola pikir dari berbagai input yang diperoleh, baik melalui tulisan-tulisan para Kompasianers yang lain maupun dari sumber bacaan-bacaan lainnya. Tak lagi mengejar keterkenalan, menulis saja tak peduli orang lain suka atau tidak. Maka, saya pun banyak menulis tema-tema berat seperti filsafat dan pemikiran lain. Tapi, seiring waktu, tujuan dari menulis berubah lagi. Tulisan didedikasikan bukan hanya wacana kosong, harus ada pengaruhnya pada orang lain, maka saya pun menulis tulisan persuasif, menggerakkan orang lain untuk ikut terlibat dengan apa yang saya tuliskan. Berusaha menginspirasi orang lain untuk berbuat.

Tujuan itu pun berubah lagi, tidak condong ke tulisan persuasif. Ini terilhami sewaktu terbang sepulang dari Lombok, beberapa minggu lalu, di pesawat Lion Air di saat membaca tulisan dari  Jemy V. Confido di majalah Lionmag. Kolom kesukaan saya jika terbang menggunakan Lion Air, kolom “Wisdom In The Air“. Tulisan-tulisan Jemy V. Confido memiliki ciri tulisannya ringan, enak dibaca, dan banyak menginspirasi. Waktu itu ia membahas masalah tujuan dari menulis. Inti dari yang ia tuliskan adalah: “Kita adalah murid pertama dari tulisan kita”. Apa yang kita tulis harus bisa dilakukan oleh kita, bukan menginspirasi orang lain tetapi tidak pernah dilakukan oleh penulisnya. Kontan menyadarkan saya akan tujuan menulis. Dibaca lagi berulang-ulang tulisan itu, dihayati maknanya, dan merenung dalam-dalam.

Akhirnya, apa yang saya tulis di Kompasiana saya hapus semuanya, kecuali tulisan-tulisan yang saya sendiri bisa atau sudah saya lakukan. Anda bisa lihat history tulisan saya di profile, hanya tersisa 16 tulisan saja. Selebihnya saya hapus semua. Karena saya anggap dari renungan pribadi, tulisan-tulisan tersebut omong kosong semua. Saya tidak pernah menjadi “murid pertama bagi tulisan saya sendiri”. Jadi buat apa dipertahankan. Hancurkan saja tulisan-tulisan itu. Sambil kembali menata tulisan-tulisan yang saya sendiri bisa untuk menjadi murid pertama dari tulisan saya sendiri. Orang lain mau menjadi murid juga silahkan, tidak juga tidak apa-apa. Yang pasti, sayalah yang harus menjadi murid pertama dari tulisan sendiri. Meskipun memang, tulisan-tulisan di Kompasiana yang sudah saya hapus masih ada di blog pribadi, tetapi itu hanya untuk arsip jika di kemudian hari dibutuhkan. Sambil perlahan-lahan mencoba untuk menjadi murid pertama dari seluruh tulisan itu. Jika sudah mampu akan saya publish lagi di Kompasiana dengan sentuhan yang berbeda. Based on truely experiences.

Menulis adalah menyampaikan pesan kepada orang lain, jika kita sendiri tidak pernah menjadi murid pertama dari tulisan kita, jangan pernah berharap orang lain menjadi murid setia dari tulisan tersebut. Saya sekarang berusaha untuk menjaga terjauh dari hipokritas dalam menulis. Jangan seperti seorang filosof–yaitu Heiddeger–yang menulis tentang moral dan nilai-nilai luhur tetapi tetap setia berselingkuh dengan Hannah Arendt sekretaris dan pengikut setia pemikirannya. Jangan juga seperti seorang penceramah kondang Indonesia yang terkenal, menyerukan untuk setia pada orang lain sementara dirinya diam-diam mengagumi dan menikahi wanita lain sembari mencampakkan istri setianya! Jadilah seperti Plato yang rela mati untuk membela keyakinan dan apa yang ditulisnya! Jadilah Copernicus yang rela dipancung atas apa yang ia tulis! Mereka adalah “guru sekaligus murid pertama dari apa yang ditulisnya”.**[harja saputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share