Opini

Percaya atau Tidak Percaya Ranah Filosofis Bukan Ranah Hukum

Ilustrasi: dr Lois Owien (rekayorek.id)

Seorang dokter–terlepas dari kadarnya sebagai dokter yang betul-betul menguasai atau tidak atau bagian dari sebuah organisasi profesional atau bukan–sebagai individu bagian dari warga negara diamankan polisi karena katanya tidak percaya Covid-19.

Ini agak aneh. Sejak kapan kepercayaan terhadap sesuatu bisa diadili? Kalau saya tidak percaya khasiat Mak Erot misalnya, apakah saya bisa diadili?

Level kepercayaan adalah level ontologis. Sifatnya mempertanyakan keberadaan akan sesuatu hal. Sementara hukum sifatnya bergerak di level aksiologis, mengadili dari aspek akibat dari suatu tindakan.

Dalam suasana darurat dan mencekam seperti pada kondisi pandemi sekarang, setuju bahwa semua energi harus diarahkan untuk mengatasi pandemi, tetapi bukan berarti harus kehilangan daya nalar dan daya kritis. Ruang publik yang berisi diskursus-diskursus harus tetap terjaga.

Ruang publik adalah ruang di mana setiap orang bisa dengan bebas memberikan kontribusi pemikirannya. Apapun itu pemikirannya. Benar dan salah diuji bersama di ruang publik. Diskursus di ruang publik adalah hal biasa dan harus ada.

Ketika ruang publik didekati dengan pendekatan kekuasaan, maka kita kembali kepada zaman kegelapan. Zaman ketika Socrates ditangkap dan dijatuhi hukuman mati karena menolak mengakui Dewa-dewa Yunani. Galileo dibunuh karena percaya matahari sebagai pusat tata surya. Suhrawardi dieksekusi mati karena dianggap menistakan agama.

Opini dalam diskursus publik tidak berurusan dengan standar benar atau salah, melainkan sifatnya memberikan perspektif yang boleh jadi bertentangan dengan standar kebenaran yang berlaku luas. Dalam hukum logika, ketika dua pernyataan bertentangan maka pasti salah satu yang benar atau kedua-duanya salah. Tidak mungkin dua-duanya benar. Namun, di dunia nyata bisa jadi dua-duanya benar tergantung dari perspektif yang digunakan.

Dalam penelitian juga begitu. Suatu penelitian outputnya bisa menguatkan teori yang sudah ada atau mementahkan teori dan membuat teori baru. Ini berlaku umum. Jadi perspektif yang berbeda itu lumrah. Biasa saja.

Dengan adanya diskursus publik, maka orang yang menyimak memperoleh informasi pembanding dari dua hal yang dipertentangkan. Masalah logis dan tidak logis ataukah benar atau salah itu subjektif sifatnya. Kebenaran sendiri sejatinya tidak dapat diwakili oleh siapapun. Ia berdiri sendiri. Jadi jangan pernah mengklaim mewakili kebenaran.

Orang sekarang cenderung main melaporkan ke polisi orang yang berseberangan pendapat. Padahal susah untuk membuktikan secara hukum dari suatu perspektif, kecuali ada efek yang ditimbulkan yang beririsan dengan hukum positif yang mengatur tentang suatu tindakan.

Perspektif itu jangan dipolisikan. Justru harus terus dikembangkan, terserah saja mau memberikan perspektif yang bagaimana. Bebas-bebas saja. Selagi bisa mempertanggung jawabkan secara logis perspektifnya. Ukuran logis atau tidaknya pun bermacam-macam. Suatu pernyataan dianggap logis bisa dari banyak aspek. Itu tugas nalar yang menilai bukan tugas hukum.

Esensi pendidikan di kampus-kampus justru menekankan para peserta didik untuk mendapatkan perspektif yang baru ketika melihat suatu fenomena. Makanya kok aneh, ketika ada perspektif baru kok ramai-ramai dibawa ke ranah hukum.

Jangan alergi dengan suatu perspektif baru yang berbeda. Anggap sebagai pengayaan informasi. Masalah percaya atau tidak percaya itu urusan lain. Dan, tidak boleh juga kita percaya begitu saja. Kita masing-masing punya nalar untuk menilai. Biarkan nalar yang bekerja. Hati boleh panas, tetapi nalar harus tetap waras.**(harjasaputra.com)

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Lihat Komentar

Share