Categories: Polhukam

Anas Urbaningrum Tak Mungkin Lari

Foto: antaranews.com

“Tidak ada legitimasi yang pernah gagal”, demikian menurut Machiavelli, filosof dan pakar kekuasaan. Machiavelli sering diidentikkan dengan teori-teori bagaimana mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara. Salah satu jargonnya yang terkenal adalah “Tidak ada kawan atau lawan yang abadi, kepentinganlah yang abadi”. Pemikirannya juga sering diidentikkan dengan “kelicikan”.

Di sini bukan bermaksud mengkaji pemikiran Machiavelli, tapi ada satu pemikirannya yang relevan dengan kondisi perpolitikan saat ini, di mana “heboh demokrat” sedang melanda. Berita-berita media dipenuhi oleh headline tentang tokoh-tokoh demokrat. Namun mayoritas “berita miring” yang dimunculkan”.

Apa itu pemikirannya yang relevan? Bahwa “legitimasi tidak pernah gagal”. Legitimasi secara mudahnya dapat dipahami sebagai konsep politik yang utama, berkaitan dengan pengakuan secara legal, baik pengakuan dari masyarakat maupun pengakuan secara hukum. Legitimasi berkaitan juga dengan “wewenang”.

KPK adalah lembaga yang memiliki legitimasi dan wewenang dalam penegakan hukum yang terkait dengan kasus korupsi. Di luar itu jelas “tidak legitimate”. Termasuk media. Media tidak punya legitimasi apapun, apalagi hendak “menghakimi” suatu kasus dengan mem-framing berita sedemikian rupa.

Media memiliki legitimisi sebagai lembaga “penyiaran berita”. Memang, media juga memiliki peran sebagai “watch dog” terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Seperti diungkapkan oleh Jakob Oetama bahwa media harus memposisikan diri sebagai pengkritik kebijakan bukan pendukung kebijakan. Tetapi, perlu dipahami mengenai “kritik” itu sendiri. Kritik adalah “menyajikan masalah”. Apa itu masalah? Masalah adalah adanya ketidaksesuaian antara realitas dengan konsep idealnya.

Kalau misalnya, Anas belum ditetapkan oleh KPK sebagai lembaga pemegang legitimasi hukum bidang korupsi kemudian media ramai-ramai mem-blow up pemberitaan yang menyudutkan Anas seolah-olah dia sudah “bersalah”, di mana aspek kritiknya? Pemegang legitimasi yang berwenang memutuskan bersalah atau tidaknya itu sapa, KPK atau media? Ketimpangan yg terjadi antara realitas dan konsep ideal adalah: KPK yang bermasalah bukan Anasnya. Seperti disebutkan, masalah adalah adanya ketimpangan antara realitas dan yang ideal. Jika memang sudah ada bukti bahwa Anas terlibat dalam kasus Wisma Atlet dan tuduhan lain, segera ditetapkan. Bukan Anasnya yang disudutkan. Karena Anas itu objek hukum sementara KPK subjek hukum. Namanya “penegakan hukum” titik tekannya di “Subjek Hukum”. Objek bisa siapa saja. Tetapi yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Objeknya yang belum tentu bersalah ramai-ramai “dihakimi” terlebih dahulu oleh masyarakat dengan medium pemberitaan “media”. Ini tidak fair.

Dari sisi Anas sendiri, legitimasinya saat ini ia jelas masih menjadi Ketua Umum PD. Itu adalah legitimasi mutlak, tidak bisa diganggu gugat. Karena dipilih sesuai dengan norma hukum yang berlaku pada PD itu sendiri, yaitu berdasarkan hasil Munas PD. Siapapun tidak ada yang menyangkal. Maka, sangat heran jika ada orang atau pihak-pihak tertentu yang menyuruhnya untuk mundur. Atas dasar apa gerangan? Kecuali jika memang ia terbukti bersalah melakukan kejahatan yang bertentangan dengan norma partai, sudah dengan sendirinya legitimasinya menjadi rontok. Lagi-lagi, ini masalah “mendudukkan perkara yang sebenarnya”.

Ada satu pepatah yang, menurut pribadi, sangat relevan. Relevan dengan sikap Anas dan relevan untuk mengamati kondisi saat ini: “Lebih baik menyalakan lilin daripada mencaci kegelapan”. Lebih baik dorong KPK sebagai subjek penegakan hukum daripada mencaci objek hukum yang belum tentu bersalah. Lebih baik bekerja, menerangi orang lain, daripada larut dalam ketidakpastian. Dalam setiap kegelapan yang ada adalah prasangka, sikut kiri-kanan, kondisi menjadi gaduh, dan tidak menguntungkan.

Lilinnya segera nyalakan..! Anas tak mungkin lari..**[harja saputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share