Categories: Polhukam

Peringati Hari Anti Korupsi Dengan Bom Tinja, Tindakan Moral Atau Amoral?

Foto: http://us.foto.detik.com

Beredar pesan melalui Blackberry Messenger Jumat, 9/12/2011, bertepatan dengan Hari Anti Korupsi, kelompok Laskar Anti Korupsi mengancam datangi rumah Anas Urbaningrum dan menyerukan aksi “Lempar Bom Tinja” ke rumah Anas.

Berikut adalah bunyi broadcast pesan tersebut: “Yth rekan-rekan pergerakan, hari ini Jumat, 9/12/2011 jam 09.00 WIB memohon untuk kumpul di Cawang Kencana samping Kodam Jaya UKI Cililitan Jakarta Timur selanjutnya jam 10.00 WIB bergerak menuju rumah Anas Urbaningrum di Duren Sawit untuk Aksi Lempar “BOM Tinja” ke rumah salah satu koruptor. HM. Hasbi Ibrohim/Sekjen DPP Laskar Anti Korupsi Pejuang 45. Tks”.

Pesan tersebut beredar luas di kalangan aktivis pendemo berbagai kelompok. Itu terbukti pesan tersebut diperoleh dari salah satu aktivis Pro Demokrasi. Dengannya aksi ini sudah direncanakan, dan pastinya ada tujuan tertentu.

Hingga pukul 11.30 WIB berdasarkan pemantauan di beberapa media online, massa sebanyak 100 orang telah datang dan menuju ke rumah Anas Urbaningrum. Bahkan ada rencana rumah tersebut akan disegel. Alasan mereka adalah “karena rakyat sudah marah”.

Hari anti korupsi berarti hari untuk memperingati penentangan terhadap korupsi sebagai kejahatan besar (extracrime). Tetapi, jika dilihat dari agenda kelompok-kelompok yang akan melakukan segel dan bom tinja ke rumah Anas, ini bukan lagi masuk dalam tataran anti korupsi, tetapi sudah sarat dengan muatan politis. Jika memang ingin memerangi koruptor seharusnya dialamatkan pada orang yang sudah jelas divonis terlibat kejahatan korupsi. Kenapa tidak ke rumah Gayus misalnya, atau ke rumah para politis penerima travel check, atau ke rumah para koruptor lain.

Mendatangi rumah Anas dan memberikan label koruptor baginya adalah kesimpulan prematur, salah alamat. Lembaga hukum yang harusnya terlebih dahulu membuktikan keterlibatannya, bukan main hakim sendiri. Karena jika demikian, akan banyak ribuan orang yang boleh jadi hanya dikambinghitamkan tetapi dihakimi secara sepihak oleh massa. Kepentingannya sangat kental kentara dalam kasus ini.

Memperingati hari anti korupsi dengan tindakan menyimpang justru akan menodai tujuan dari hari peringatan itu sendiri. Ketika hukum tidak diindahkan maka untuk apa negara ini didirikan? Argumentasi rakyat sudah marah bisa dibenarkan jika memang bukti-bukti mendukung. Menghakimi tanpa bukti adalah tindakan melawan hukum.

Bukan maksudnya melakukan pembelaan, tetapi itulah asas yang harus dipatuhi. Maka, bergeraklah untuk mencari bukti jika memang ada dugaan ke arah bahwa Anas melakukan tindakan korupsi, bukan dengan cara-cara premanisme. Mungkin ada yang beralasan nantinya, itu karena bukti sulit untuk diperoleh, maka cara pintas yang ditempuh. Jika demikian adanya, itu menunjukkan kesempitan cara berpikir. Karena berpijak pada asas bersalah, seseorang pasti bersalah, bukan asas tidak bersalah. Ini tidak sehat.

Selain itu, sejak kapan masyarakat Indonesia menjadi sangat arogan, BOM Tinja dibawa-bawa. Seolah bukan dari orang yang berperadaban. Apapun alasannya, tinja bukan untuk meluapkan pendapat, itu justru menunjukkan rendahnya kepribadian orang yang membawanya. Tinja adalah kotoran, busuk, sampah, ia harus ditimbun bukan sebagai media untuk beraksi. Apakah tidak ada cara lain yang lebih baik dan dapat memberikan hasil efektif?**[harja saputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com