Categories: Sosbud

Ketika Nasionalisme Dikorbankan

Foto: Alma Zahra Saputra (harja saputra)

Namanya Alma Zahra, anakku yang pertama. Di tahun 2006 ia masih berusia 5 tahun. Alma meskipun anak perempuan tapi teman-teman mainnya mayoritas laki-laki. Agak tomboy jadinya. Meskipun demikian dari segi pakaian masih suka pakaian perempuan seperti rok dan asesoris wanita. Satu hal yang sangat mempengaruhi dari banyaknya teman main dengan anak laki-laki yaitu kecepatannya dalam berlari. Itu karena ia sering main kejar-kejaran dengan teman-temannya.

Masih ingat betul momen di suatu pagi. Ya, di pagi 17 Agustus Alma pagi-pagi sekali sudah menuju lapangan. Memakai baju biru dan rok pink. Dengan gayanya yang cuek, rambut pendek gaya Mulan Jamilah (depan panjang sedikit di bawah telinga, belakang pendek sejajar dengan telinga, waktu itu lagi ngetrend) Alma menemui teman-temannya. Ia diajak untuk ikut lomba agustusan. Semangat betul ia ingin ikut lomba agustusan itu, sampai dari malamnya susah tidur, mulutnya yang bawel terus berkata: “Mah kok lama banget sekarang paginya..Alma ingin cepat ikut lomba. Mau dapat hadiah agustusan”.

Jam 10 pagi lomba dimulai. Setelah menunggu giliran, akhirnya ia dipanggil oleh panitia dalam lomba balap kelereng. Dengan ceria ia mengambil sendok yang disodorkan panitia, dimasukkan ke dalam mulut. Kelereng ditaruh di atas sendok. Aba-aba terlihat menandakan peserta harus cepat berjalan. Alma berjalan menuju garis finish sambil matanya melihat terus ke sendok agar kelereng tidak jatuh. Karena jalannya cepat, hampir sedikit lagi mencapai garis finish kelereng sudah jatuh. Karena kelereng jatuh dari sendok, ia tidak menang dalam lomba ini.

Lomba selanjutnya adalah lomba lari memindahkan bendera merah putih terbuat dari kertas yang ditaruh di garis depan dipindahkan ke tempat awal lari. Ini dia keahlian Alma: berlari. Lawannya 3 orang yang semuanya anak laki-laki. Ada lima bendera yang harus dipindahkan. “Satu, dua, tiga, lari….!”, seru panitia. Meskipun memakai rok tapi Alma berlari kencang, meraih satu per satu bendera dan memindahkan ke tempatnya. Dengan sangat semangat ia terus berlari. Lima bendera berhasil dipindahkan. Dan berhasil menempati posisi pertama. Semua teman laki-lakinya dikalahkan olehnya. Luar biasa kagumnya saya sebagai orang tua menyaksikan itu.

Alma terlihat terengah-engah dan berujar: “capeek”. Tapi ia diminta untuk meneruskan lagi lomba lari bendera itu ke babak final. Berhadapan dengan pemenang dari grup lain. Lawannya di babak final ini 2 laki-laki dan 1 perempuan. Meskipun masih dengan nafas terengah-engah ia masih semangat untuk meneruskan lomba. Ia berlari sekuat mungkin. Sorak-sorai penonton menyemangati Alma. Akhirnya ia harus puas menjadi juara kedua. Mungkin karena masih kecapekan karena berturut-turut berlari sementara lawan-lawannya sempat istirahat sebelum pertandingan final.

Agustus 5 tahun lalu itu masih saya simpan videonya. Sesekali ditonton dan dilihat bersama-sama dengan Alma. Ia, yang kini berusia 10 tahun, selalu tertawa melihat dirinya berlari. Momen agustusan di tahun berikutnya, karena kami pindah rumah lombanya berbeda di tempat di mana dulu kami mengontrak. Di wilayah perkampungan yang bercampur dengan penduduk Betawi, lomba agustusan lebih ramai daripada di perumahan.

Bukan hanya itu, di tahun kemarin yang kebetulan sama dengan tahun sekarang, Agustusan berbarengan dengan puasa Ramadhan. Panitia di perumahan kami, memindahkan acara lomba agustusan menjadi setelah lebaran. Sudah tidak seru lagi. Alma pun malas untuk ikut. Kata dia, “Masak lomba Agustusan di bulan September mah..males ah..”

Agustusan bagi anak-anak merupakan wahana untuk bersuka ria memperingati kemerdekaan. Lomba memindahkan bendera adalah upaya memberikan pengertian bahwa kemerdekaan tidak dicapai begitu saja. Harus ada perjuangan keras untuk meraihnya. Selain itu, sebagai sarana untuk membangun kerukunan dan kebersamaan warga. Gotong-royong dilakukan oleh warga menghiasi gapura gang jalan. Dihias sedemikian rupa agar terlihat indah, tidak mau kalah dengan gang-gang lain di sekitarnya yang juga menghias seindah mungkin. Bahkan selalu ada kegiatan kerja bakti oleh para kepala rumah tangga untuk membersihkan lingkungan di saat menjelang agustusan. Keceriaan anak-anak dan budaya gotong-royong adalah dua hal yang selalu menghiasi peringatan kemerdekaan. Budaya Indonesia yang khas.

Kini, sudah 2 tahun keceriaan dan budaya gotong-royong itu tidak terlihat. Meskipun ada, tidak semeriah dan tidak seakrab dulu. Apalagi di perumahan, yang kesehariannya semua sibuk bekerja. Momen peringatan agustusan yang sejatinya bisa mengakrabkan warga meskipun setahun sekali tak tampak lagi. Masing-masing larut dengan ibadah ritual puasa. Tak apalah pikirku, toh itu untuk ibadah. Tapi, pertanyaannya: Apakah nasionalisme harus kalah dari religiusitas? Apakah keduanya saling mengalahkan, sehingga yang terjadi yang religiusnya diutamakan sedangkan nasionalisme tergusur?

Rupanya semboyan (bahkan katanya ini doktrin agama): “Kecintaan terhadap tanah air adalah sebagian dari iman” sudah lekang oleh zaman dan sudah pudar oleh budaya yang lain. Ah, mungkin ini perasaan saya saja.**[harja saputra]

Dimuat juga di Kompasiana: http://sosbud.kompasiana.com/2011/08/16/ketika-nasionalisme-dikorbankan/

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share