The Fighting Preacher gephardtdaily.com

Review Film The Fighting Preacher: Agama Cinta Menaklukkan Kebencian

Salah satu film drama bagus di penghujung tahun 2019 yang layak ditonton adalah film "The Fighting Preacher", karya sutradara  T. C. Christensen.

Film ini lebih condong ke kategori film religi karena menceritakan kisah nyata dari misionaris Kristen aliran Mormon selama dua puluh lima tahun sejak tahun 1915 dalam menyebarkan nilai-nilai agama dengan pendekatan cinta. Dikemas apik dengan diimbuhi adegan-adegan seru, campuran antara film drama, humor, dan action.

Mormon sebagai salah satu aliran dalam agama Kristen digambarkan dalam film ini sebagai ajaran sesat, pengikut dan pembawa ajarannya dimusuhi dan dimaki dengan sebutan "si Mormon Idiot". Bahkan dianggap sebagai najis yang harus dijauhi oleh masyarakat.

Perjuangan keras misionaris Mormon, Willard Bean yang diperankan oleh David McConnell dan istrinya Suster Rebecca yang diperankan oleh Kenna Dawn, mendapat tugas berat ketika ditempatkan di Palmyra, sebuah desa di Wayne Counte, New York.

Cacian, makian, perlakuan keras, dan berbagai hinaan dari masyarakat Palmyra terhadap keluarga Willard begitu gencar. Ia diminta memilih untuk pergi dari desa itu atau berpindah agama.

Keluarga Willard diludahi ketika ia pertama kali datang dan terdapat ancaman berupa surat kaleng yang ditempel di pintu rumahnya. Tertulis peringatan bahwa ada imbalan 5000 dollar untuk siapa saja yang bisa mengusir pengikut Mormon.

Kisah penyebar suatu ajaran baru di sebuah masyarakat seringkali tragis. Ia harus berhadapan dengan nilai-nilai masyarakat setempat yang dianggap sebagai suatu nilai final yang tak boleh digantikan. Siapa saja yang berbeda dengan nilai-nilai itu, harus disingkirkan.

Willard disiram dengan air ketika berniat menyapa tetangga. Tak hanya itu, ia diancam untuk ditembak ketika hendak mendekati bukit yang ingin dibelinya, dimusuhi oleh para pendeta dari gereja-gereja lain karena dicap pembawa ajaran menyimpang. 

Bidan-bidan pun tidak mau membantu istrinya melahirkan. Rebecca harus mendatangi dari pintu ke pintu mendatangi bidan dan semuanya menutup pintu sambil berkata kasar kepadanya.

Willard dan Rebecca Bean menghadapinya dengan sabar dan pantang menyerang. Perlakuan-perlakuan itu dibalas dengan sikap yang baik, bahkan berterima kasih atas perlakuan mereka.

Baca Juga: Review Film War Room: Ketika Doa adalah Senjata 

Watak Willard adalah sosok yang dididik keras dan petarung di ring tinju. Ia kadang tidak sabar atas perlakuan itu. Di beberapa kasus, ia membalas perlakuan kasar terhadapnya dengan berani. Willard meninju orang yang menyiram dirinya dan beberapa kali menghajar orang yang menghardiknya secara kasar.

Namun di banyak adegan, Willard digambarkan sebagai sosok yang penuh cinta dan membalas perlakuan kasar itu dengan ucapan ramah: "Senang menjadi tetangga baru Anda". 

Sebuah paradoks etika ditunjukkan dalam sikap Willard ini. Di satu sisi ia ditunjukkan sebagai sosok peramah dan, di sisi lain, digambarkan sebagai sosok pemarah. Atau mungkin, film ini hendak mengatakan bahwa kebaikan dan keberanian adalah satu paket yang harus dimiliki oleh seorang penyebar ajaran agama.

Film ini brilliant karena berhasil membawa penonton untuk berganti-ganti emosi. Sebentar kita dibawa geram karena perlakuan kasar masyarakat terhadap keluarga Willard, namun kemudian ditunjukkan hal-hal yang membuah kita tertawa.

Hardikan masyarakat terhadap keluarga Willard dijadikan sesuatu yang fun. Ketika Willard berkata kepada orang yang hendak menembak dirinya, ia berkata: "Senang menjadi tetangga baru Anda". Dijawab oleh penembak itu, "Never". Sebelum Willard pergi, ia penasaran bertanya: "Siapa nama Anda?", lalu dijawab lagi dengan ungkapan "Never".

Rebecca dan Willard lalu pergi sambil tertawa, "Apakah Never itu nama awal (first name) atau nama akhir (last name)". Sebuah dialog yang mengandung makna dalam. Unik dan lucu. Meskipun kemudian yang diajak bicara berkata, "Mormon idiot". Mereka hanya berlalu dengan senyuman.

Adegan lucu lainnya adalah ketika Willard bercerita mengenai pengalamannya menjadi misionaris di tempat lain. Saat itu ia diminta untuk menunjukkan tanda (sign) mengenai kebenaran agamanya. Semacam miracle. 

Direspon oleh Willard dengan ungkapan, "OK. Aku akan menunjukkan mukjizat padamu. Matamu akan menjadi buta. Lantas ia memukul kedua mata orang yang bertanya. Lalu lari". Adegan yang dramatis dan lucu. Sikap keberagamaan yang bercampur dengan kehidupan sosial yang unik.

Apa yang kita tanam, akan membuahkan hasil. Sikap baik akan berbuah baik. Atas sikap baik keluarga Willard itu, keajaiban muncul satu per satu. Ada yang bersedia untuk membantu istrinya melahirkan. Lahirlah anaknya yang pertama, bayi perempuan, dan diberi nama Palmyra sesuai dengan nama daerah yang ditinggali.

Enam tahun berjalan, sikap masyarakat masih tidak berubah. Mereka masih membenci keluarga Willard. Anaknya Willard, Palmyra, masih diperlakukan kasar. Ia dibully di sekolah oleh guru dan seluruh teman sekelas. Dianggap sebagai najis. Gurunya pun membasuh tangan ketika menyentuh Palmyra.

Meja belajar Palmyra di kelas berbeda dengan meja murid-murid lain. Mejanya ditaruh di pojok belakang dengan menghadap ke jendela, sementara meja murid-murid lain menghadap ke depan kelas. Kaki mejanya dipaku ke lantai agar Palymyra tidak mampu menggesernya.

Keajaiban lain muncul. Ada orang yang menawarkan bantuan untuk membelah kayu bakar, tetapi langsung menghilang ketika Rebecca kembali setelah mengambil kue untuk diberikan kepadanya. 

Ada banyak dialog di film ini yang sarat dengan nilai-nilai luhur. Salah satunya ungkapan Rebecca bahwa, "Apa yang kamu berikan kepada mereka, adalah juga yang kamu berikan kepada Tuhan". Sikap kita terhadap orang lain, menunjukkan sikap kita terhadap Tuhan. Ketika perlakuan buruk dibalas dengan perbuatan buruk, maka berarti kita mempersembahkan keburukan untuk Tuhan.

Rebecca juga selalu mengingatkan kepada sang suami, "Sebenarnya penduduk desa itu adalah orang baik, hanya saja perlu waktu untuk mengetahui bahwa kita juga orang baik. Tetaplah bersabar".

Baca Juga: Captain Fantastic: Film tentang Cinta, Keluarga, dan Kritik terhadap Agama

Adegan di tengah film ini menceritakan asal-usul pemilihan judul The Fighting Preacher. Rebecca menyarankan untuk mencoba mencari teman lewat keahlian Willard. Bertinju. Mengundang penduduk desa untuk bertarung di ring tinju. Satu lompatan cerita di film ini yang tidak terduga.

Disebarlah pamplet untuk pertarungan tinju. Palmyra ikut menyebarkan pamplet. Ungkapan di pamplet tertulis "Mormon akan beradu tinju". Satu publikasi yang bermakna ganda, yaitu tantangan dan juga sindiran.

Willard memperkenalkan diri saat hendak bertarung dengan sebutan "Si Mormon Idiot" tapi dipanggil juga dengan panggilan "The Fighting Preacher". Dari sinilah judul film ini berasal.

Para penantang tinju ada lebih dari 10 orang. Semuanya kalah oleh Willard. Namun usaha ini tetap tidak membuahkan hasil. Penduduk desa Palmyra masih menunjukkan permusuhan.

Palmyra, anak lucu dan cantik, lalu mengingatkan, "Ayah mungkin hanya perlu bersikap baik terhadap para penduduk. Itu yang selalu diajarkan ibu". Rebecca menambahkan, "Mungkin cara terbaik untuk berjuang adalah dengan cinta".

Willard pun mengubah taktik pendekatan dakwahnya. Ia melakukan dengan berbuat baik. Kepada si Never yang selalu menembaki dirinya ketika di bukit, ia bawakan kue pai hasil masakan Rebecca. Selain itu, ia rajin membagikan buah-buahan yang ia petik dari perkebunannya.

Ketika ditanya oleh si Never yang selalu menembaki Willard, "Apakah aku harus menyukaimu karena sudah memberikan pai"? Dijawab singkat, "Tidak, kamu cukup memakannya".

Rebecca pun demikian. Ia membawa makanan ke tetangga, menengok orang sakit, dan membantu masyarakat miskin. Mereka terus melakukan itu dari hari ke hari. Palmyra melakukan hal sama. Memberikan boneka di bawah bangku temannya yang selalu jahat dan mencibir dirinya di kelas.

Willard pun rajin membantu membetulkan pagar tetangganya yang rusak. Tetangganya menyesal atas tindakan masyarakat yang telah bersikap kasar terhadap keluarga Willard dan berkata "Atas apa yang kami lakukan padamu, begitulah cara kami dibesarkan. Kami berbuat sesuai dengan apa yang kami anggap benar".

Hasil atas kebaikan akan berbuah manis. Meskipun tidak dalam waktu dekat, tetapi yakinlah balasan itu nyata adanya.

Setelah enam tahun, paku yang menancap di Meja Palmyra dicabut oleh gurunya dan digeser menghadap guru sama seperti bangku-bangku yang lain. Teman yang diberikan boneka oleh Palmyra menjadi sahabat dekat dan datang ke rumah Palmyra untuk mengajaknya bermain.

Ujung film ini berakhir happy ending. Klasik memang, tetapi begitulah adanya. Karena film ini berdasarkan kisah nyata, lebih kepada film dokumenter dengan kemasan yang dramatis.

Setelah 25 tahun keluarga Willard menebar cinta dan pelayanan kepada penduduk desa Palmyra, ia mendapat surat dibebastugaskan dan diminta kembali ke Utah, tempat asalnya.

Masyarakat melepasnya dengan kesedihan mendalam. Mereka sudah menerima keluarga Willard sebagai bagian dari komunitas Palmyra, bahkan Willard menjadi presiden dari organisasi komunitas. Mereka enggan berpisah dengan keluarga yang dikenal paling baik di daerah itu.

Pada sambutan perpisahan keluarga Willard, perwakilan dari penduduk Palmyra mengungkapkan bahwa Willard memiliki keistimewaan dapat mengubah musuh menjadi teman. Sikapnya yang tak kenal takut telah mengubah persepsi penduduk.

Keluarga yang sering dicemooh dengan ungkapan "Si Mormon Idiot" itu telah memenangkan hati penduduk Palmyra. Mereka melepasnya dengan lambaian tangan perpisahan yang penuh haru dan cinta.

Inti dari film ini mengajarkan bahwa cinta akan mengalahkan kebencian yang berdiri kukuh. Agama mengajarkan cinta bukan kebencian. Dan, meskipun film ini adalah film religi Kristiani, tetapi nilai universalnya yang mengajarkan menebar perdamaian dengan selalu berbuat baik dan cinta adalah hal yang patut dicontoh.

"Ambillah hikmah dari manapun itu berasal, meskipun berasal dari seorang Kristen bahkan Yahudi sekalipun".*