ReportaseUnik

Captain Fantastic: Film tentang Cinta, Keluarga, dan Kritik terhadap Agama

Captain Fantastic (IMDB.com)

Film drama berjudul “Captain Fantastic” merupakan film keluarga yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan.

Tak tanggung-tanggung, film ini memperoleh 7 penghargaan dan 5 nominasi, di antaranya sebagai pemenang di Cannes Film Festival, Deauville Film Festival, Melbourne International Film Festival, Palm Springs International Film Festival, dan di festival film lainnya.

Bercerita tentang satu keluarga, yaitu seorang ayah bernama Ben dan enam orang anak (Bodevan, Kielyr, Vespyr, Rellian, Zaja and Nai)  yang sengaja hidup dengan mengisolasi diri dari dunia luar. Memilih hidup di hutan dan dididik dengan sistem Home Schooling.

Ben mendidik anak-anaknya bagaimana cara bertahan hidup dengan cara alami dalam pengertian sebenarnya: berburu hewan, menanam sendiri tanaman, berolah raga bersama di pagi hari, dan belajar di malam hari.

Ben dan sang istri, Leslie, secara sadar melakukan hal itu karena bagi mereka dunia luar tidak ramah bagi perkembangan anak. Leslie tidak ditampakkan dalam film ini, hanya diceritakan sakit dan kemudian meninggal dunia dengan cara bunuh diri karena penyakit kejiwaan yang dideritanya.

Film ini banyak menyuguhkan narasi-narasi sosialisme dengan sangat baik. Tokoh sentral yang diangkat adalah pemikiran Noam Chomsky, tokoh Sosialisme Libertarian.

Tergambar secara nyata ada adegan khusus di mana keluarga Ben beserta anak-anaknya memperingati hari kelahiran Chomsky dengan cara “Pembebasan Makanan”, yaitu dengan mencuri makanan dari super market sebagai lambang kapitalisme, meskipun di akhir cerita Ben menyadari bahwa tradisi mencurinya itu salah.

Alur cerita film yang disutradarai oleh Matt Ross ini mengalir dan sangat apik. Diperankan oleh bintang utama Vigo Mortensen yang berakting sangat bagus.

Film keluarga tentang bagaimana seorang suami mengekspresikan cinta terhadap kekasihnya meskipun ia sudah tiada dan tentang bagaimana mendidik anak serta tentang bagaimana hidup dengan nilai-nilai dan prinsip.

Ada pertentangan nilai-nilai sosialisme yang dianut oleh Ben dan kapitalisme yang dianut oleh mertua dan keluarganya. Ben sangat gigih mempertahankan nilai-nilai yang dianutnya dalam mendidik anak meskipun kemudian ia harus menyadari bahwa cara mendidiknya tidak tepat.

Petualangan menegangkan terjadi ketika Ben dan anak-anaknya memutuskan untuk melakukan sebuah misi: membebaskan ibunya dari pemakaman dan membawanya ke rumah agar bisa dikremasi dan dibuang abunya ke toilet. Misi yang aneh bukan?

Hal itu karena sebelum meninggal Leslie menulis surat wasiat bahwa jika ia tiada jasadnya diminta dikremasi, tidak dikubur di perut bumi, dan abunya dihanyutkan ke dalam toilet. Hal itu karena Leslie mempelajari agama Buddha. Namun, agama bagi Leslie bukan agama yang kita pahami, melainkan agama yang bersifat tidak terorganisasi.

“Leslie mempelajari Buddhisme, yang baginya adalah filosofi dan bukan agama yang terorganisasi. Juga, Leslie tidak suka agama yang terorganisir. Baginya itu adalah dongeng paling berbahaya yang pernah diajarkan.

Dirancang untuk memperoleh keimanan buta dan memberi ketakutan pada orang tak berdosa dan yang tak mengetahui. Satu hal yang paling buruk bagi Leslie selain kematian adalah terkurung di kotak besar dan terkubur di bawah lapangan Golf”, jelas Ben.

Ungkapan tajam tentang nilai sosialisme di atas dibacakan dengan sangat semangat oleh Ben di dalam gereja di hadapan banyak orang saat upacara pemakaman jasad Leslie.

Akibatnya Ben harus diusir dari gereja oleh mertuanya yang sangat tidak suka padanya. Di sini sangat terlihat nyata bagaimana sosialisme ditampakkan ide-ide dasarnya, di antaranya dengan mengkritik tajam agama yang dinilai sebagai wabah bagi dunia.

Ada banyak nilai-nilai dan doktrin sosialisme diungkapkan dalam film ini. Sangat bagus bagi orang yang mau berpikir kritis dan yang ingin mempelajari mengenai pergulatan filsafat di dunia Barat.

Mungkin bagi sebagian orang, film ini sangat tajam dalam mengkritik agama, terutama adegan membuang abu jasad yang telah dikremasi ke toilet. Tetapi, overall, film ini sangat mencerahkan.

Film ini pun sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Pendidikan dalam arti sebenarnya. Meskipun keenam anak Ben dididik dengan home schooling, tetapi bisa mengalahkan hasil pendidikan formal. Anak pertama, Bodevan, diterima di semua univeritas terkemuka termasuk di Harvard University.

Zaja, anak yang baru berusia 8 tahun bahkan bisa dengan sangat lancar membacakan Bill of Right (konstitusi Amerika). Tidak hanya membacakan tetapi juga menjabarkan secara lugas dengan contoh-contoh nyata di kehidupan nyata.

Dampak dari home schooling dan hidup dengan keterasingan dari dunia luar adalah gagap ketika harus bertemu dengan peradaban lain. Adegan tentang hal ini sangat lucu, banyak yang membuat kita tertawa lebar, di saat disajikan adegan ketika anak-anak Ben berinteraksi dengan dunia luar yang sangat kapitalistik dan modern.

Bodevan ditertawakan oleh teman kencannya ketika pertama kali bertemu langsung melamar wanita itu untuk dinikahi. Adik-adik Bodevan ditertawakan di saat percakapan di meja makan karena tidak tahu apa itu Nike, Adidas, Xbox dan merek-merek terkemuka dari peradaban modern.

Tanpa harus berpikir panjang, saya berani katakan bahwa film ini sangat bagus dan layak ditonton bagi mereka yang haus akan sebuah film tentang cinta, pendidikan, keluarga, nilai-nilai universal dari kehidupan, filosofis, dan bukan sebuah film yang mengajarkan kecengengan dan gemerlap dunia modern yang kapitalistik.

Pokoknya tidak akan rugi karena IMDB sendiri menyematkan nilai 8 untuk film ini. Selamat menonton. **[harjasaputra.com]

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments