PPN atas Obat-obatan

Ketentuan Batasan  Obat

a. Obat bebas

Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter.Jenis obat ini dapat dibeli bebas di apotek, toko obat, dan juga warung.Obat bebas digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang ringan,misalnya: multi vitamin, anti flu, anti mabuk, dan lain sebagainya. Obattersebut harus memiliki izin edar dengan pencantuman nomor registrasidari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Departemen Kesehatan.Obat bebas tidak dibebankan PPN.

b. Obat yang dibebaskan

Ada beberapa obat yang dibebaskan dari pengenaan PPN, seperti padajenis obat esensial, seperti retroviral Human Immunodeficiency Virus(HIV), malaria, DPT polio, obat flu burung, dan lainnya yang sangatdibutuhkan masyarakat. Definisi obat esensial adalah obat yangkeberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat, dan tingkatketergantungan pasien terhadap obat tersebut sangat tinggi.

Konsep obatesensial diperkenalkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1975 merupakan konsep global yang menyediakan pelayanan kesehatan paling baik, terbukti secara ilmiah (evidence based) dan efektif dalam biaya (cost effective).

Di Indonesia obat yang dibebaskan berada dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN). Bisa saja seluruh jenis obat yang masuk dalam DOEN dibebaskan PPN-nya tetapi tidak menutup kemungkinan hanya beberapa jenis saja yang dibebaskan, hal ini tergantung pada kebijakan Pemerintah.

c. Obat resep

Obat resep merupakan obat keras yang pembeliannya harus dengan menggunakan resep dokter. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat yang mengandung hormon (obat kencing manis, obat penenang, dan lain-lain).

Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila diminum sembarangan bisa berbahaya karena dapat meracuni tubuh, di samping itu dapat juga memperparah penyakit, dan menyebabkan kematian.

Ketentuan Mengenai Pengenaan PPN Obat pada Rumah Sakit

Rumah Sakit merupakan suatu unit usaha jasa yang memberikan jasa pelayanan sosial di bidang medis klinis. Pengelolaan usaha rumah sakit memiliki keunikan tersendiri, yakni karena selain sebagai unit bisnis, rumah sakit juga memiliki tujuan sosial.

Rumah sakit sebagai suatu layanan jasa menyediakan berbagai macam bentuk pelayanan, antara lain : jasa konsultasi dengan dokter-dokter ahli, jasa rawat inap, jasa rawat jalan dengan pemberian obat-obatan, jasa pemeriksaan laboratorium, jasa radiologi, jasa fisioterapi dan juga kantin yang disediakan oleh rumah sakit guna memenuhi kebutuhan keluarga pasien.

Keberadaan rumah sakit sebagai lembaga yang melayani kebutuhan kesehatan masyarakat juga disamakan dengan entitas lainnya. Seperti halnya organisasi ataupun perusahaan lainnya, rumah sakit juga memiliki kewajiban untuk membayar pajak.

Oleh sebab itulah Rumah Sakit juga harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan juga harus mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk memenuhi semua kewajiban perpajakan.

Sebagai badan hukum, kewajiban rumah sakit untuk memiliki NPWP dan mendaftarkan diri sebagai PKP adalah sesuai dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) no.28 tahun 2007 pada pasal 2 ayat (1) dan (2).

Beberapa jenis pajak yang dikenakan kepada rumah sakit antara lain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Daerah. PPh dan PPN merupakan pajak pusat yang langsung disetorkan ke kas negara. Pemungutan atas PPh berkaitan dengan kewajiban membayar, memotong dan menyetor PPh baik yang dipungut dari karyawan maupun yang terutang atas penghasilan lainnya.

Sama halnya seperti PPh, dalam PPN rumah sakit juga memiliki kewajiban memungut, menyetor dan melaporkan pajak yang telah dipungut. Sehingga atas kewajiban ini, rumah sakit menjadi perantara pemerintah dalam melakukan pemungutan withholding tax.

Pemungutan PPN oleh rumah sakit sehubungan dengan kegiatan usahanya dilakukan atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). PPN yang terutang atas kegiatan rumah sakit antara lain adalah pada kegiatan penyerahan obat kepada pasien rawat jalan.

Menurut SE-21/PJ.52/1998 telah dijelaskan bahwa Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan obat-obatan kepada pasien dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu pemberian obat kepada pasien melalui instalansi farmasi (kamar obat) dan pemberian obat melalui apotik.

Dalam SE-21/PJ.52/1998 dan diperjelas lagi dalam SE-06/PJ.52/2000 bahwa yang terutang atas PPN hanyalah penyerahan obat-obatan melalui apotik yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Rumah Sakit. Oleh karena itu, pengukuhan PKP-nya adalah menjadi satu kesatuan dengan Rumah Sakit. Dan Rumah Sakit akan menjadi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang akan memungut PPN sebesar 2% atas penyerahan obat-obatan.

Seiring dengan perkembangan rumah sakit, SE-06/PJ.52/2000 dinyatakan tidak berlaku lagi karena penyerahan obat-obatan yang dilakukan oleh instalansi farmasi terutang PPN sebesar 10% yang telah sesuai dengan KMK-253/KMK.03/ 2002 dan KMK-402/KMK.03/2002 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Barang Dagangan oleh Pedagang Eceran selain yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto. Sehingga atas penyerahan obat-obatan kepada pasien rawat jalan akan terutang PPN sebesar 10%.

Instalansi farmasi (kamar obat) merupakan suatu tempat untuk mengadakan dan menyimpan obat-obatan, gas medik, alat-alat kesehatan serta bahan-bahan kimia yang bukan berdiri sendiri melainkan merupakan satuan organik yang tidak terpisahkan dari keseluruhan organisasi Rumah Sakit.

Sedangkan apotik adalah suatu tempat yang dapat menyerahkan obat-obatan, baik kepada pasien yang sedang menjalani rawat inap maupun kepada pasien yang menjalani rawat jalan atau bukan pasien Rumah Sakit yang bersangkutan, dimana untuk pendiriannya diperlukan izin dan persyaratan tertentu.

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tujuan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak diatas adalah pengenaan PPN atas penyerahan obat-obatan yang dilakukan oleh apotik yang berada di rumah sakit, sedangkan penyerahan obat-obatan yang dilakukan oleh Instalansi Farmasi (kamar obat) tidak terutang PPN.

Oleh sebab itu, apabila di dalam Rumah Sakit tersebut secara nyata tidak terdapat apotik tetapi hanya terdapat Instalansi Farmasi (kamar obat), maka tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Apotik sebagai Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran (dikenakan PPN) adalah berdasarkan pasal 1 huruf e Peraturan Pemerintah no.50 tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang no.8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penghasilan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang no.17 tahun 2000.

Apotik yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, yaitu obat-obatan dan tidak termasuk pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, dan atas penyerahan obat-obatan yang dilakukan oleh apotik yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak akan terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam pasal 4A Undang-Undang no.18 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang no.8 tahun 1983, yakni mengenai Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Peraturan Pemerintah no.144 tahun 2000, yakni obat-obatan yang tidak termasuk barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah no.144 tahun 2000 mengatur jenis jasa yang tidak dikenakan PPN antara lain :

a.jasa dokter umum, dokter spesialis dan dokter gigi

b.jasa dokter hewan

c.jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, fisioterapi dan sejenisnya

d.jasa kebidanan, dukun bayi dan sejenisnya

e.jasa para medis dan perawat

f.jasa rumah sakit, rumah sakit bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, sanatorium dan sejenisnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut di butir 2 dan 3 diatas, maka dengan demikian :

a.Atas jasa-jasa perawatan kesehatan yang diberikan oleh pihak rumah sakit kepada pasien tidak terutang PPN.

b.Atas penyerahan obat-obatan yang dilakukan oleh apotik rumah sakit terutang PPN sebesar 10%.

Apabila apotik di rumah sakit merupakan satu kesatuan dengan rumah sakit, maka yang ditunjuk sebagai PKP adalah rumah sakit yang bersangkutan dan penyerahan yang terutang PPN adalah penyerahan obat-obatan yang dilakukan oleh apotik tersebut.

Berdasarkan S-2438/PJ.52/1988 dijelaskan bahwa atas penyerahan obat-obatan di rumah sakit, PPN yang terutang hanya atas penyerahan obat-obatan yang dilakukan oleh instalansi farmasi (kamar obat) yang bukan apotik tidak terutang PPN.

PPN yang dikenakan atau yang dibayarkan pada waktu pembelian sebesar 10% oleh apotik adalah merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Obat-obatan merupakan salah satu Barang Kena Pajak yang mendapatkan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang agak spesifik / khusus.

Apabila obat-obatan dijual dalam rangka rawat jalan, maka setiap penyerahannya (misalnya:penjualan obat-obatan) dikenakan PPN dan rumah sakit yang bersangkutan wajib menerbitkan Faktur Pajak.

Apabila obat-obatan termasuk dalam biaya dalam rangka rawat inap, maka atas penyerahan (pemakaian) obat-obatan tersebut tidak terutang PPN. Obat-obatan dalam rangka rawat inap/opname merupakan satu kesatuan dengan jasa dibidang kesehatan. Sebagaimana diketahui, jasa di bidang kesehatan merupakan salah satu jenis jasa yang tidak dikenakan PPN sesuai dengan pasal 4A ayat (3) huruf a UU PPN dan pasal 5 huruf a dan pasal 6 huruf f Peraturan Pemerintah no.144 tahun 2000.

Dengan demikian,  berdasarkan Surat Dirjen Pajak No. S-424/PJ.52/2000 pengenaan PPN ataspenjualan obat di rumah sakit dibedakan menjadi dua, yaitu bagi pasienrawat inapdan pasien rawat jalan. Penjualan obat yang diperuntukkan bagi  pasien rawat inap tidak dikenakan PPN sedangkan penjualan obat kepada pasien rawat jalan yang dilakukan apotek adalah terutang PPN.

Apabila apotek di dalam rumah sakit atau merupakan satu kesatuan dengan rumah sakit itu sendiri maka yang ditunjuk sebagai PKP adalah rumah sakit yang bersangkutan dan penyerahan yang terutang PPN adalah penjualan obat yang dilakukan apotek tersebut.

Perhitungan PPN Terhutang  Bagi Rumah Sakit yang Belum PKP

Banyak rumah sakit yang belum mendapatkan pengukuhan menjadi PKP. Hal ini dapat disebabkan karena atas jasa penyerahan jasa rumah sakit yang berdasarkan UU PPN Baru No 42 Tahun 2009 Pasal 3A ayat 3 merupakan jasa yang tidak terhutang PPN. Tetapi karena di dalam rumah sakit terdapat penyerahan barang/jasa lain yang terhutang PPN, sehingga atas penyerahan barang/jasa tersebut yang mengharuskan rumah sakit menjadi PKP.

Tata cara pengukuhan menjadi PKP dapat dilihat di dalam KEP-161/PJ/2001 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan NPWP serta pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan PKP, juncto PER-44/PJ/2008 tentang Tata Cara pendaftaran NPWP dan/atau Pengukuhan PKP, Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak dan/atau PKP.

Penyerahan barang/jasa dalam  Rumah Sakit terdiri dari penyerahan jasa rumah sakit, penyerahan obat, pemakaian sendiri dan pendapatan lain-lain. Atas penyerahan ini yang termasuk penyerahan tidak terhutang PPN adalah penyerahan jasa rumah sakit, meliputi: jasa rawat inap, rawat jalan, rawat khusus, dan penunjang medis, penyerahan obat kepada pasien rawat inap, jasa sewa ambulans, kerjasama klinik. Sedangkan penyerahan yang terhutang PPN adalah penyerahan obat kepada pasien rawat jalan melalui apotek, pendapatan sewa alat dan listrik, serta pemakaian sendiri oleh karyawan.

Rumah Sakit wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan pengukuhan PKP karena penyerahan obat kepada pasien rawat jalan melalui apotek yang sesuai dengan SE-06/PJ.52/2000 tentang PPN atas Penggantian Biaya Obat di Rumah Sakit. Besarnya PPN yang harus dipungut oleh Rumah Sakit Tebet atas penyerahan obat ini adalah sebesar 10%, karena apotek di rumah sakit dipersamakan dengan pedagang eceran dalam KMK-253/KMK.03/2002 juncto KMK-402/KMK.03/2002 tentng PPN atas Penyerahan Barang Dagangan oleh Pedagang Eceran selain yang Menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto.

Berikut beberapa poin penting terkait PPN pada rumah sakit:

  1. Pendapatan sewa ambulans adalah pendapatan yang tidak terhutang PPN. Karena penggunaan ambulans yang dilakukan oleh rumah sakit merupakan bagian dari jasa rumah sakit yang tidak terhutang PPN sesuai dengan UU PPN Baru tahun 2009 Pasal 4A ayat 3 Juncto Peraturan Pemerintah nomor 144 tahun 2000.
  2. Jika setiap bulannya Rumah Sakit mendapatkan pendapatan sewa dan listrik dari penyewa fasilitas rumah sakit. Pendapatan sewa ini merupakan salah satu pendapatan yang terhutang PPN. Akan tetapi pemungutan Pajak Keluaran atas pendapatan sewa alat dan listrik ini hanya dapat dilakukan oleh Rumah Sakit Tebet jika omzet dari pendapatan rupa-rupanya telah melebihi Rp.600.000.000 yang sesuai dengan KMK-552/KMK.04/2000 juncto KMK-571/KMK.03/2003 tentang Batasan Pengusaha Kecil PPN.
  3. Di dalam Rumah Sakit juga ada pemakaian sendiri untuk tujun konsumtif yang dilakukan oleh karyawannya. Menurut KEP-87/PJ/2002 mengenai Pengenaan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pemakaian Sendiri dan/atau Pemberian Cuma-Cuma barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak pada pasal 2 dijelaskan bahwa pemakaian sendiri untuk tujuan produktif bukanlah merupakan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) sehingga tidak terhutang PPN. Berdasarkan pernyataan Menurut KEP-87/PJ/2002 pasal 2 di atas dapat disimpulkan bahwa pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif merupakan penyerahan BKP atau JKP sehingga atas pemakaian sendiri ini terhutang PPN.
  4. Perhitungan kembali Pajak Masukan dengan perhitungan di dalam KMK-575/KMK.04/2000 tentang Pedoman Perhitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP yang Melakukan Penyerahan yang Terhutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terhutng Pajak. Dalam keputusan Menteri Keuangan ini dapat diketahui bahwa perhitungan kembali PM ini dibedakan antara perhitungan kembali PM untik Barang Modal dan yang bukan Barang Modal. Barang Modal yang dimaksudkan dalam peraturan ini adalah barang-barang yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Contoh dari Barang Modal di rumah sakit adalah alat-alat rontgen, alat USG, meja operasi, alat-alat kedokteran gigi, dan lain-lain.Pada KMK-575/KMK.04/2000 terdapat beberapa rumus yang dapat digunakan di dalam perhitungan kembali Pajak Masukan. Rumus perhitungan kembali Pajak Masukan ini dibedakan berdasarkan pada barang tersebut digunakan untuk menghasilkan penyerahan yang terhutang pajak atau untuk menghasilkan penyerahan yang tidak terhutang pajak.
  5. Untuk biaya listrik dan air yang digunakan di Rumah Sakit adalah merupakan barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2007 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan Pengenaan PPN pada pasal 1 ayat (1) huruf g dan h. Pada padal 1 huruf g dijelaskan bahwa penyerahan air bersih yang dialirkan melalui PAM milik pemerintah/swasta, dan Pasal 1 huruf h dijelaskan bahwa listrik kecuali yang digunakan oleh perumahan yang lebih dari 6.600 watt.
  6. Perhitungan PPN setiap bulannya adalah dengan mengurangkan Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan, sehingga dapat diketahui Kurang Bayar atau Lebih Bayar PPN setiap bulannya Atas perhitungan PPN tersebut disajikan di dalam SPT Masa PPN. Untuk RS yang baru akan dikukuhan menjadi PKP, Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar pengkreditan Pajak Masukan pada UU PPN Baru tahun 2009 Pasal 9 ayat 8, sehingga besarnya PPN terhutang adalah sebesar Pajak Keluaran ditambah dengan sanksi-sanksi atas keterlambatan pembayaran PPN terhutang, keterlambatan pembuatan Faktur Pajak dan keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN.
  7. Denda atas keterlambatan pembayaran PPN setiap bulannya,dikenakan perhitungan denda sebesar 2%.
  8. Selain adanya sanksi atas keterlambatan pembayaran PPN Terhutang, adapula sanksi atas keterlambatan pembuatan faktur pajak, yang juga dikenakan sebesar 2%.

Pustaka

Republik Indonesia, Undang-undang nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 16 Tahun 2007

Undang-undang nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 42 Tahun 2009

Keputusan Menteri Keuangan nomor KMK-552/KMK.04/2000 juncto KMK-571/KMK.03/2003 tentang Batasan Pengusaha Kecil PPN

SK Menteri Kesehatan RI no.983/Menkes/SK/XI/1992 tentang fungsi Rumah Sakit

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-06/PJ.52/2000 tentang Kebijaksanaan PPN dan PPn BM

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-21/PJ.52/1998  tentang PPN bagi obat-obatan di RS