Filsafat

Egoisme dan Altruisme

Ilustrasi: pixabay

“Kamu egois, kenapa tidak mau menerima pandangan dan perbedaan orang lain?”

Ungkapan tersebut mungkin sering dialami oleh setiap orang dalam kehidupan sosial, entah dalam suatu hubungan dekat (close relationship) antara suami-istri, teman akrab atau dalam kehidupan sosial yang lebih luas antara teman di kantor, atau dalam pertengkaran antara dua orang yang baru kenal sekalipun.

Egoisme adalah sikap yang semuanya diukur dari kepentingan pribadi (self-interest). Suatu tindakan untuk mempertahankan pandangan atau bahkan kepemilikan atas dasar baik-buruk yang berasal dari konsep diri bahwa pandangan atau kepemilikannya harus dipertahankan, orang lain harus mengikuti.

Egoisme berasal dari kata ego, yaitu konsep psikologis yang berkaitan dengan persepsi individu tentang dirinya sendiri yang berpengaruh pada tindakannya (Sobur, Psikologi Umum, 2016). Seseorang yang selalu mengutamakan kepentingan diri sendiri disebut orang egois.

Saat seorang anak ditegur oleh temannya karena ngebut di jalan, dijawab: “Motor ini motor gua, yang beli gua, terserah gua, kenapa lu jadi repot?” Rasa-rasanya berhadapan dengan orang semacam ini, ujungnya pasti menyebalkan. Susah dikasih tahu. Susah diberi pengertian. Tidak mau tahu kondisi orang lain, yang diketahui hanya dirinya sendiri.

Atau saat seorang teman (A) bermaksud baik mengingatkan temannya (B) dengan ungkapan: “Jangan telat lho. Kalau telat nanti kutinggal”. Teman yang diingatkan malah mengatakan ungkapan itu sebagai nada ancaman, lantas ia marah. Ia sedang merasa dirinya diancam.

Di kesempatan lain, saat teman yang diingatkan itu (B) mengatakan, “Jangan diposting sebelum aku approve“, lalu temannya (A) mengatakan, “Lho kok jadi ngancam”, si B malah bersikukuh dan malah marah, bahwa ungkapan itu bukan ancaman.

Yang manakah yang egois? Dua situasi saat si B ditegur, malah ia bilang diancam. Tetapi saat ia sendiri mengungkapkan yang struktur kalimatnya hampir sama, malah ia mengatakan itu bukan ancaman. Ini gambaran orang yang sangat egois, karena semua diukur dari cara pandang diri-sendiri dan cenderung tidak konsisten.

Orang yang egois yang diketahui hanya perasaan dirinya sendiri. Lama-lama orang malas bergaul dengan orang seperti ini. Lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Bahkan, bukan tidak mungkin, bisa timbul prasangka (prejudice) orang lain pada orang semacam ini.

Orang egois cirinya adalah mau menang sendiri, tidak mau mengalah, mengutamakan kepentingan sendiri, sulit menerima saran sepanjang tidak menguntungkan dirinya, tidak kooperatif, rasa toleransi kecil, perhitungan, kurang pengertian, keras kepala, ingin menang dalam setiap perdebatan, dan anti minta maaf (Suhanda, Kompas, 2017 dan berbagai sumber).

Lawan dari egoisme adalah altruisme. Altruisme muncul sebagai suatu sikap di mana pertimbangan diri sendiri digantikan dengan mementingkan orang lain. Fokus altruisme bukan ego, tapi kepentingan orang lain, atau sosial.

Saat seseorang yang sedang buru-buru ke kantor lalu mendapati di jalan orang yang jatuh dari motor atau tabrakan, orang dengan ciri altruisme akan turun dan menolong orang yang sedang memerlukan pertolongan tanpa diminta. Itu karena yang dikedepankan adalah bukan kepentingan diri sendiri, tetapi orang lain.

Apakah orang yang egois akan susah menolong orang lain? Tidak juga. Orang yang egois tetap ada kecendrungan diri untuk menolong orang lain. Tetapi, ia menolong orang lain karena didorong untuk memuaskan diri sendiri. Entah untuk pamer atau memberi karena barang yang akan diberikan sudah tidak diperlukan lagi, yang intinya berawal dari kepentingan sendiri.

Itulah yang menyebabkan banyaknya kajian mengenai Egoisme vs Altruisme, baik dalam kajian Psikologi dan Etika (Filsafat), karena sikap egoisme dan altruisme di dunia nyata kadang tumpang-tindih.

Orang akan salah menilai ketika melihat seseorang yang sedang melakukan donor darah, misalnya, atau orang yang sedang membagikan bingkisan lebaran. Ia akan disebut dermawan. Ia dinilai peka sosial, altruistik. Padahal, belum tentu.

Perbuatan peduli sosial tentu baik dan perlu dikembangkan. Tetapi, jika dilakukan atas dasar egoisme, kepedulian ini hanya sebagai tindakan pemanis. Bukan inheren dalam diri seseorang. Sehingga ketika dalam situasi tertentu, justru akan sangat kontras perbuatannya.

Di satu kesempatan ia sangat peduli sosial, tetapi di kesempatan lain, ia sangat korup dan menindas.

Dalam kajian etika, seorang yang melakukan perbaikan atas dasar untuk memuaskan diri sendiri apalagi untuk pamer di media sosial, perbuatan baik itu kurang memiliki makna.

Adapun dalam kajian psikologi, orang yang egois cenderung akan tidak merasa puas dengan semua keadaan. Karena hidup selalu tidak sama dengan keinginan, maka orang egois akan selalu frutrasi dalam melihat hal yang berbeda dengan konsep dirinya.

Mengetahui tipe kepribadian diri sendiri apakah egois ataukah altruis sangat penting. Karena boleh jadi orang bersikap buruk terhadap kita, bukan karena murni orang lain jahat, tetapi juga mungkin karena diri kita sangat egois, ingin menang sendiri, bahkan tidak pernah mau minta maaf ketika salah. Pokoknya harus orang lain yang minta maaf. Gawat kalau sudah begini.*

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments