Categories: Komunikasi

Paradigma Dalam Menulis

Illustrasi: Google Picasa

Menulis adalah kegiatan menuangkan pemikiran dalam bentuk tulisan melalui kata-kata dalam untaian kalimat yang dapat dipahami oleh orang lain. Karena menyampaikan suatu ide, pemikiran, atau menceritakan kepada orang lain, maka menulis tidak bisa terlepas dari paradigma yang dianutnya. Paradigma adalah “cara pandang seseorang dalam melihat realitas”.

Ada beberapa aliran paradigma dalam berpikir yang menjadi pijakan seseorang dalam menulis:

Pertama, Paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis melihat realitas tergantung dari cara pandang setiap orang. Artinya realitas tidak bisa terlepas dari definisi subyektif individu. Setiap orang memiliki cara pandang berbeda dalam memahami realitas. Maka, seorang penulis yang memiliki paradigma ini, menulis sesuai dengan cara pandang dirinya, pemahaman dirinya, tidak terikat pada opini yang beredar di luar. Karena opini setiap orang sesungguhnya semuanya bersifat subyektif. Dalam bahasa filosofisnya, kebenaran dan pengetahuan obyektif bukanlah ditemukan, melainkan diciptakan oleh setiap individu. Karena apa yang terlihat nyata, sesungguhnya merupakan hasil konstruksi pencarian individu.

Penulis yang memiliki corak paradigma konstruktivis umumnya sangat “anti-kemapanan”. Apa yang disebut anti kemapanan? Anti kemapanan adalah semangat untuk menentang arus besar (against mainstream). Arus besar terpola ketika opini-opini dari individu bersatu sehingga terlihat sebagai sebuah kebenaran. Padahal belum tentu. Karena tidak ada kebenaran obyektif, yang ada adalah kebenaran akumulatif subyektif. Penulis tipe ini umumnya memiliki daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi. Ia akan melihat sisi lain yang terkadang luput dari perhatian orang lain. Ciri khas dari penulis ini adalah semangat protes terhadap berbagai realitas. Karena menurutnya realitas itu harus dikritisi dari berbagai perspektif, baik itu realitas budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya.

Namun, perlu diingat juga, bahwa semangat “anti kemapanan” pada titik tertentu akan menjadi bentuk baru dari “kemapanan” itu sendiri. Alih-alih menentang berbagai bentuk kemapanan, padahal secara tidak sadar membentuk kemapanan baru, yaitu kemapanan memprotes. Penulis konstruktivis yang konsisten harus berani meninggalkan pendapatnya jika di kemudian hari pendapatnya tersebut menjadi opini besar menyatu dengan opini-opini lain yang sejalan dengan pendapat dirinya. Jika tidak, maka ia tidak lagi berada di jalur “konstruktivis” tetapi  berada di arus besar, karena ikut mengamini dan menikmati pendapatnya yang disetujui oleh orang lain dalam skala besar.

Kedua, paradigma positivis. Paradigma positivistik memandang realitas sebagai sesuatu yang sudah teratur, terpola, dapat diamati, diukur, dan sebagainya. Penulis dengan paradima positivis memiliki corak dalam menulis realitas melalui pemahaman “apa adanya”. Karena penulis model ini meyakini semua realitas bisa menjadi suatu kebenaran yang layak dicermati. Jika paradima konstruktivitas cenderung subyektif, maka paradigma positivis lebih obyektif. Ia berusaha menjaga jarak dari apa yang ditulisnya dan membiarkan realitas berbicara sesuai apa adanya.

Ketika menyimpulkan atau memberikan opini pribadinya, penulis dengan paradigma kedua ini lebih bersifat mengutamakan pendapat dari hasil pengamatan-pengamatan, atau dalam bahasa filosofisnya bersifat induktif. Realitas-realitasnya berbicara apa maka ditarik kesimpulan besar dari apa yang nampak di luar. Penulis tipe ini umumnya banyak mengutip pendapat orang lain, terutama dari tokoh-tokoh yang diyakini memiliki kredibilitas tinggi, sehingga menjadi suatu kesatuan opini. Penulis model ini mementingkan riset, baik riset pustaka maupun riset lapangan ringan atas apa yang terjadi sebenarnya dari ide yang akan ditulis. Setelah itu baru ia berani untuk menulis. Penulis tipe ini memulai dengan membaca, adapun menulis adalah hasil cerapannya terhadap hasil bacaan-bacaan tersebut.

Tulisan fiksi seperti cerita pendek, novel dan sebagainya, maupun narasi-narasi deskriptif, opini, berita dan macam-macam tulisan lain, tidak bisa terlepas dari dua paragima berpikir di atas. Pada tulisan fiksi misalnya, jika paradigma berpikirnya adalah konstruktivis maka ide-ide ceritanya lebih kreatif. Tidak terikat pada model cerita atau alur dari cerita yang pernah ditulis oleh orang lain. Tetapi jika memiliki paradigma positivis, ia menulis cerita dari apa yang terjadi di luar. Fenomena realitas yang terjadi di luar lalu disajikan dalam tulisan meskipun nama tokoh, alur, fokus dan lokusnya ia kreasikan sendiri, tetapi ide besarnya adalah menyampaikan realitas.

Tulisan opini jelas sangat tidak bisa terlepas dari dua paradigma berpikir di atas. Seorang penulis opini yang memiliki paradigma konstruktivis cenderung mengutamakan pendapat individu, karena tidak mau terikat oleh pendapat-pendapat yang beredar, karena menurutnya semua opini-opini orang lain adalah juga hasil dari pencarian masing-masing individu. Tetapi jika ia memiliki paradigma positivis, seorang penulis opini akan mempertimbangkan salah satu, salah dua, atau banyak pendapat lalu disimpulkan menjadi satu kesatuan opini yang utuh disertai analisis kritis atau memperkuat pendapat-pendapat tersebut.

Penulis berita atau jurnalis pun tidak bisa terlepas dari paradigma. Jika paradigma pertama yang dianut, maka reportasenya bersifat memberitakan sisi lain yang terkadang luput dari pemberitaan media. Menyajikan fakta-fakta baru. Fakta-fakta baru dari sisi lain yang ia beritakan adalah hasil dari pemahaman subyektif bahwa sisi lain yang diliputnya itu memiliki hubungan dengan target utama. Sedangkan jurnalis yang menganut paradigma kedua lebih bersifat memberitakan menggali berbagai informasi dari pendapat-pendapat para tokoh atau pelaku suatu kejadian sehingga kaya narasumber. Jenis reportase investigatif adalah contoh nyata para jurnalis yang memiliki paradigma positivis.**[harja saputra]

Tulisan ini semula dimuat di Kompasiana: http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/08/11/mazhab-dalam-menulis/

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share