Categories: Polhukam

Prediksi: Jokowi-Ahok Akan Menang, Tapi..

Ilustrasi: pontianak.tribunnews.com

Terjadi diskusi di grup BBM (blackberry messenger), di situ saya bilang: prediksiku Foke-Nara yang akan menang. Dijawab oleh seorang teman: prediksi saya Jokowi-Ahok yang menang. Tapi kemudian ia sebutkan, masalahnya prediksi saya sering meleset. Ah cerdas, itu sama saja hendak bilang prediksinya Foke-Nara yang akan menang namun dengan cara halus.

Apa alasan mengatakan bahwa prediksi Jokowi-Ahok menang akan meleset?

Mari kita jalan-jalan dulu sebentar. Pertarungan 2 kandidat Gubernur DKI pada gilirannya juga adalah pertarungan 2 teori politik mainstream, yaitu antara teori Samuel P. Huntington dengan teori Panebianco. Teori pertama mengatakan bahwa poros utama politik adalah parpol sedangkan teori kedua lebih menekankan pada figur. Nah, jika kemudian Jokowi keluar sebagai pemenang maka teori Huntington dipecundangi, begitu pun sebaliknya.

Saat ini ada ungkapan bahwa pertarungan antara Foke vs Jokowi adalah sebagai pertarungan antara Parpol vs Rakyat. Hal ini terus didengungkan terutama oleh Jokowi sendiri. Padahal ungkapan ini tidak tepat, karena yang memilih Foke yang didukung banyak parpol pun adalah rakyat. Selain itu, dirinya pun maju didukung juga oleh parpol. Jika ia konsisten dengan pernyataan itu, maka seharusnya ia maju sebagai calon independen bukan dari parpol, tetapi kenyataannya tidak demikian. Maklumlah, kata-kata “rakyat” sering dijadikan legitimasi dan justifikasi di saat kampanye. Itu lumrah.

Sedikitnya ada dua hal yang mendukung alasan kenapa prediksi Jokowi-Ahok pemenang akan meleset:

Pertama, indikatornya adalah dukungan parpol seperti teori Huntington. Jangan remehkan dukungan parpol. Huntington sebagai pakar ilmu politik tak mungkin mengatakan bahwa parpol sebagai basis politik jika tak punya landasan kuat. Foke didukung oleh mayoritas parpol yang ada perwakilannya di DPRD DKI, bahkan parpol-parpol besar berjuang total untuk Foke.

Bagaimana dengan dukungan parpol bagi Jokowi? Nyaris PDIP dan Gerindra yang dukung. Ditambah lagi dukungan PDIP terhadap Jokowi pada putaran kedua tidak lagi sama seperti dukungannya pada putaran pertama. Dukungan PDIP pada putaran kedua perlahan nampak memudar setelah jelas adanya dukungan penuh Prabowo terhadap Jokowi. PDIP menganggap Prabowo “menelikung” dari belakang. Apalagi setelah adanya pernyataan dari Hasyim Djoyohadikusumo (adik Prabowo) bahwa jika Jokowi menang maka akan makin memuluskan jalan bagi Prabowo untuk menjadi RI-1. PDIP jelas tak mau dengan skenario ini. Karena secara kalkulasi kekuatan PDIP jauh lebih besar dibanding Gerindra. Dan, tak mungkin PDIP mengalah nanti dengan mencalonkan diri jadi RI-2.

Kedua, sistem nilai, yaitu aspek attitudinal dan dimensi internal dari masyarakat yang disentuh oleh masing-masing pasangan. Dalam hal ini cenderung ideologis, misalnya nilai agama, suku, dan sebagainya.

Boleh saja orang menganggap dan mendengungkan bahwa jangan bawa-bawa agama dalam politik karena itu SARA. Kenyataannya, di Amerika Serikat yang mbahnya demokrasi faktor agama adalah faktor penting. Belum pernah terjadi di AS presiden dari selain Kristen. Bahkan, dulu sandungan terbesar Obama dalam pencalonan dirinya menjadi presiden AS adalah karena isu agama, di mana dirinya dikaitkan dengan agama Islam dari nama dan silsilah keluarganya. Begitu pun saat ini, Mitt Roomney dalam berkampanye justru melawan Obama dengan sentimen anti-Islam

Di AS dan di Indonesia berbeda modusnya dalam masalah agama calon pemimpin. Di Indonesia kita tahu pasti agama dari calgub, sedangkan di AS rakyat tidak tahu pasti agama dari calpres: Obama itu agamanya apa, dan Roomney itu agamanya apa. Maka, muncullah riset dari Pew Research Center”s Forum on Religion & Public Life. Riset ini menyebutkan bahwa 17 % rakyat AS menyatakan Barack Obama beragama Islam; 49% menyebut bahwa Barack Obama beragama Kristen. Ini apa artinya? Nilai, dalam hal ini agama, adalah indikator normal dalam memilih pemimpin.

Kedua hal di atas adalah indikator utama. Memang masih banyak indikator lain seperti program yang ditawarkan dan sebagainya. Program calon itu pun penting tapi berapa banyakkah rakyat kita yang tahu apa saja program dari kedua calgub secara rinci? Cenderung jarang, tahunya hanya sedikit-sedikit, misalnya penanggulangan macet, banjir, yang lebih populis. Ditambah lagi, adanya pandangan stereotif di masyarakat program hanya basa-basi saja. Toh, tiap tahun banjir selalu datang, toh setiap hari Jakarta selalu macet. Meskipun demikian, masyarakat tetap saja memilih. Kurang bagaimana coba masyarakat kita dewasanya.

Ada satu hal yang perlu diungkapkan, pintar atau cerdas bukan indikator nilai dalam politik. Dengannya ungkapan “masyarakat sekarang sudah cerdas, sudah pintar, jadi tahu apa yang akan mereka pilih”, adalah ungkapan yang omong-kosong dan cenderung provokatif. Kenapa? Ungkapan ini sama saja dengan bunyi iklan: “Orang pintar minum tol*k angin”. Lalu dijawab oleh pesaingnya “Tak perlu pintar minum merek ini”. Lagipula, ungkapan “masyarakat sekarang sudah cerdas” adalah bentuk dari pelecehan massal. Lho, dari dulu juga masyarakat sudah cerdas. Bukan sekarang saja. Jika tidak cerdas maka tak mungkin tergerak melawan penjajahan. Jika tak pintar mereka tak mungkin bayar pajak sebagai partisipasi dalam pembangunan. Jika menganggap masyarakat sekarang sudah cerdas, sama saja menganggap rakyat yang dulu yang jumlahnya jutaan adalah rakyat bodoh. Benar-benar si raja tega. Lagipula, pintar atau tidak pintar bukan indikator dalam demokrasi. Toh, suara profesor sama dengan suara yang tamatan sekolah dasar.**

Itulah prediksi saya, seorang bukan penulis kawakan, bukan trainer, bukan pengamat, bukan juga entertainer. Jokowi-Ahok akan menang, tapi masalahnya prediksi saya biasanya meleset.**[harja saputra]

 

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Lihat Komentar

  • datang berkunjung lagi.

    Mas harjo, Kalau misalnya Jokowi menang, kira-kira dia akan terganjal tidak di dunia kerjanya yang baru karena hanya didukung 2 partai??

    ditunggu lagi tulisannya tentang staf ahli DPR mas, yang lebih detil.

  • @Mbak Difla: Jika Jokowi menang, tantangan terbesarnya seperti mbak Difla sebutkan, yaitu harus berhadapan dengan anggota DPRD dari partai oposisi yang jumlahnya lebih banyak (partai pendukung Foke).

    Terima kasih sdh berkunjung. Wah, ada apakah dengan staf ahli DPR mbak?

    Salam
    Saputra