Riset

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Survival Partai Politik

Ilustrasi: harjasaputra.com

Dalam berbagai teori ilmu politik dikenal beberapa faktor yang mempengaruhi survival partai politik.

Pertama, adalah teori mengenai kelembagaan politik. Sebagaimana disinggung oleh Moses Maor, bahwa sebelum partai itu bertahan (persist) maka partai tersebut harus eksis (survive). Hal ini juga diungkapkan oleh Samuel P. Huntington yang membahas mengenai kelembagaan politik menyataka bahwa agar partai politik survive partai tersebut harus memiliki kelembagaan yang kuat.

Huntington memberikan definisi mengenai kelembagaan politik sebagai proses di mana organisasi dan prosedur memperoleh nilai baku dan stabil. Huntington mengukur tingkat pelembagaan politik dari tingkat adaptabilitas, kompleksitas, otonomi dan koherensi.

Menurutnya, semakin mudah organisasi politik menyesuaikan diri semakin tinggi pula derajat pelembagaannya. Begitu pula semakin banyak tantangan yang timbul dan semakin tua umur organisasi politik, semakin besar pula kemampuannya menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.[1]

Dalam berbagai teori ilmu politik dikenal beberapa faktor yang mempengaruhi survival partai politik.

Pertama, adalah teori mengenai kelembagaan politik. Sebagaimana disinggung oleh Moses Maor, bahwa sebelum partai itu bertahan (persist) maka partai tersebut harus eksis (survive). Hal ini juga diungkapkan oleh Samuel P. Huntington yang membahas mengenai kelembagaan politik menyataka bahwa agar partai politik survive partai tersebut harus memiliki kelembagaan yang kuat.

Huntington memberikan definisi mengenai kelembagaan politik sebagai proses di mana organisasi dan prosedur memperoleh nilai baku dan stabil. Huntington mengukur tingkat pelembagaan politik dari tingkat adaptabilitas, kompleksitas, otonomi dan koherensi.

Semakin mudah organisasi politik menyesuaikan diri semakin tinggi pula derajat pelembagaannya. Begitu pula semakin banyak tantangan yang timbul dan semakin tua umur organisasi politik, semakin besar pula kemampuannya menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.[1]

Sejalan dengan teori kelembagaan partai politik di atas, Akbar Tandjung, dalam buku terbarunya memberikan argumen mengenai bagaimana Partai Golkar dapat bertahan (survive).

Dalam dua kali Pemilu Partai Golkar berhasil meraih suara yang cukup signifikan dengan bertahan di posisi kedua setelah PDIP pada Pemilu 1999 dengan raihan suara 23.741.749 (22,4%) dan meraih 120 kursi. Selanjutnya Golkar kembali bangkit dan menang pada Pemilu 2004 dengan raihan suara 24.461.104 (21,58%) dan meraih 128 kursi di DPR.[2]

Kelembagaan partai politik, menurut Panebianco, berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Huntington. Menurutnya pelembagaan politik lebih erat kaitannya dengan arti pentingnya pemimpin, terutama ketika suatu partai politik tersebut didirikan.

Pemimpin, baik yang kharismatik maupun yang tidak, memiliki peranan penting dalam menyampaikan ideologi yang anut, menetapkan basis sosial organisasi, memetakan wilayah sasaran, serta menyusun bentuk organisasi politik berdasarkan kemampuan sumber daya yang ada.[3]

Teori dari Panebianco di atas, sebagai counter dari teori Huntington, cocok diterapkan pada fenomena eksisnya Partai Demokrat pada Pemilu 2004 dan juga Pemilu 2009. Di mana peran pemimpin umum Partai Demokrat sekaligus pendiri partai, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sangat besar.

Ia menerapkan tipe kepemimpinan yang khas, sehingga kemenangan Partai Demokrat pada pemilu 2009, diidentifikasi salah satu faktornya adalah karena kepempimpinan SBY.

Kedua, adalah mengenai teori kesisteman. Yang dimaksud kesisteman adalah meningkatnya lingkup, kerekatan, dan keteraturan (regularitas) interaksi yang menjadikan partai politik sebagai sebuah struktur. Regularitas mengandung arti rutinitas dan tingkat  pengembangan kebiasaan yang dianggap lazim dan dijadikan pedoman dalam berperilaku dalam organisasi tersebut.[4]

Ketiga, aspek attitudinal dan dimensi internal yaitu yang terkait dengan penanaman nilai (value infusion). Konsep ini merujuk pada sejauh mana aktor-aktor partai politik dan para pendukungnya, memiliki komitmen terhadap partai politik lebih dari sekadar alat atau insentif pribadi atas keterlibatannya.

Lebih jauh, penanaman nilai ini terkait dengan keberhasilan partai politik dalam menciptakan kulturnya yang khas atau sistem nilai dan dapat dilihat sebagai satu alat perekat partai politik (partai cohesion). Kedua faktor ini dalam praktisnya adalah budaya organisasi yang diterapkan dalam berinteraksi oleh para anggotanya.

Keempat, faktor aspek struktural dan dimensi eksternal yaitu yang terkait dengan persoalan otonomi. Pada tingkat tertentu, otonomi berarti kebebasan organisais dari intervensi dalam menentukan kebijakan partai.

Aspek otonomi ini masih menjadi perdebatan di kalangan ahli politik mengingat indikator otonomi dan intervensi yang disebutkan masih bersifat tidak pasti. Sejauhmana disebut intervensi dan sejauh mana saling ketergantungan yang dimaksud.[5]

Kelima, aspek reification, yaitu bagaimana keberadaan partai politik tertanam dalam benak atau imajinasi masyarakat (citra). Sejauhmana keberadaan partai politik dikenali dan diakui keberadaannya di tengah masyarakat.

Semakin banyak dikenali maka partai politik tersebut akan menyesuaikan dengan masyarakat tersebut. Reifikasi yang dimaksud adalah sejauhmana partai politik tersebut dikenali di sebuah masyarakat dan menjadi faktor pembentuk perilaku dari aktor-aktor partai tersebut.[6]


[1] Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Reformasi, (Jakarta: Gramedia, 2007), hal.21.

[2] Ibid., hal.12

[3] Ibid., hal.21.

[4] Ibid., hal.26.

[5] Ibid., hal.27.

[6] Ibid.

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share