Categories: Sosbud

Keluarga dengan Dua Tradisi Puasa Berbeda

Ilustrasi: harjasaputra.com

Di keluarga saya ada dua tradisi dalam berpuasa: tradisi Sunni dan tradisi Syiah. Tradisi sunni adalah yang umum dipraktekkan di Indonesia: sahur ada imsak, buka puasa disegerakan, sholat setelah berbuka, ada tarawih, dan sebagainya. Tradisi sunni ini dipraktekkan oleh ibu, dua adik, dan dua kakak saya.

Tradisi syiah agak beda. Nyaris bertolak-belakang malah dengan tradisi sunni dalam hal-hal tertentu. Di keluarga saya, tradisi ini dipraktekkan oleh ayah saya. Posisi saya sendiri ikut kemana? Kadang ikut ke sunni kadang ikut ke syiah. Nanti akan kelihatan di akhir maksud hal ini.

Tulisan ini bukan untuk, meminjam istilah mas Baskoro Endrawan dalam tulisannya, menarik garis perbedaan hingga nanti ada kubu salah dan benar atau ditujukan untuk memicu kebencian pada salah satu mazhab tertentu. Bukan. Ini untuk menunjukkan bahwa perbedaan itu pasti. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Kalau sifat orang itu “penyuka konflik” ya tentu dia akan bermain di atas perbedaan untuk membenci. Tetapi bagi yang berpikiran dewasa, perbedaan itu bukanlah sesuatu yang tabu, justru ada keindahan tersendiri dalam memahami perbedaan yang tidak bisa kita rasakan jika semuanya sama.

Dalam menentukan awal puasa, orang-orang Syiah Indonesia umumnya ikut keputusan resmi dari pemerintah. Tidak melakukan ijtihad sendiri. Tidak juga berkiblat ke Iran sebagai epicentrum Syiah. Tidak juga berkiblat ke Saudi Arabia sebagai epicentrum Sunni. Di Iran atau Irak, sebagai pusat Syiah mungkin berbeda awal puasanya dengan di Indonesia. Tapi orang syiah Indonesia tidak mengacu ke sana. Itu karena dalam ushul fiqh syiah, tempat adalah faktor utama yang menentukan obyek hukum. Tempat yang berbeda maka hukumnya juga berbeda.

Salah satu tradisi yang agak beda dalam berpuasa orang syiah adalah: dalam berbuka puasa. Beda banget deh. Dan, Anda yang terbiasa dengan tradisi sunni akan berat jika ikut tradisi syiah. Mengapa? Karena waktu puasanya lebih lama dibanding sunni. Waktu berbuka puasanya beda: menunggu gelap. Menunggu sampai benar-benar tidak ada lagi sinar matahari kelihatan barulah mereka berbuka.

Dari mana landasan tradisi ini berasal? Tidak ngarang apalagi mengada-ada. Sumbernya jelas dari Al-Qur’an. Dalil ini selalu dikemukakan oleh ayah saya jika saya menanyakan itu, dulu waktu ayah saya pertama kali berbeda tradisinya. Dan, saya periksa kitab fiqhnya memang begitu ajarannya.

Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah: 187 secara gamblang disebutkan: “…wa atimmu shiyam ilallail..”…dan sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”

Ayat di atas adalah landasan utama orang syiah dalam menentukan waktu berbuka puasa. Kalimat ayat itu menggunakan kalimat yang jelas dan tidak implisit. Ayat itu juga menggunakan kalimat perintah, di mana setiap perintah dalam al-Quran adalah wajib hukumnya.

Dari ayat itu, maka waktu berbuka puasa dalam tradisi syiah adalah ketika datangnya malam. Malam pengertiannya ketika tidak ada lagi matahari terlihat, atau sudah terlihat gelap.

Dalam prakteknya, tradisi syiah di keluarga saya selalu menunggu buka puasa jika sudah benar-benar gelap. Patokannya bukan adzan maghrib, karena maghrib bukan pertanda malam. Biasanya selisih waktunya dengan tradisi sunni adalah lebih lambat sekitar 15-20 menit. Lebih lama kan waktu puasanya? Lumayan lho selisih waktu itu kalau dalam kondisi lapar.

Tidak hanya itu. Meskipun sudah gelap dan waktunya berbuka, orang syiah tidak langsung makan atau minum. Tetapi mendahulukan sholat Maghrib daripada membatalkan puasa. Itu karena menggunakan prinsip utama, bahwa “sholat pada kondisi berpuasa nilainya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sholat pada saat tidak berpuasa”. Dengannya bertambah lama lagi waktu berbukanya ditambah waktu sholat.

Terus, apakah orang syiah tidak ikut pada hadits yang mengatakan untuk menyegerakan berbuka? Jangan diadu domba deh. Itu dalilnya sudah jelas kok. Jadi kalau Anda bertanya demikian, jawabannya jelas: tinggi mana kedudukan Quran dengan hadits di saat ada dua keadaan yang bertolak belakang antara Quran dan hadits? Ya Quran dong. Tentu Quran ini pun didukung oleh keterangan dari hadits-hadits. Tapi, bahasa Quran sendiri, sudah sangat jelas. Karena memang bahasa al-Quran itu harus bisa diterima oleh semua kalangan. Apalagi dalam konteks hukum, bahasa al-Quran tidak pernah implisit tapi eksplisit: yaitu menggunakan kalimat perintah atau larangan, dan dengan kalimat tidak bersayap.

Itu salah satu perbedaan yang amat terasa. Karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar: makaan. Perbedaan lain tidak terlalu bersentuhan dengan itu, seperti tidak ada sholat tarawih, adanya sholat malam yang berjumlah total 1000 rakaat dalam sebulan. Doa-doa setiap hari dalam bulan ramadha berbeda: ada doa hari pertama, doa hari kedua, dan seterusnya.

Oh iya, perbedaan lain adalah dalam sahur: bukan berdasarkan adzan shubuh tapi berdasarkan keterangan ayat yang sama, yaitu: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar..” (Al-Baqarah: 187). Bisa lebih lama waktu sahurnya. Tapi untuk yang satu ini tak pernah dipraktekkan di keluarga saya. Kenapa? Karena untuk ihtiyyath (hati-hati), karena susah membedakan waktu fajar tidak seperti melihat waktu tenggelam matahari di saat berbuka. Jadinya waktu sahurnya sama, yaitu berhenti pada saat shubuh.

Di sinilah yang saya sebut, kadang ikut syiah kadang ikut sunni: sahur ikut sunni, buka ikut syiah. Jadinya lebih lama waktu puasanya. Kalau Anda mau mencoba kebalikannya boleh juga: sahur ikut syiah, buka ikut sunni. Tapi itu, terlaaaaalu..**[harjasaputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share