Riset

Kontribusi Muhammad Iqbal terhadap Pemikiran Modern Islam dan Filsafat

Muhammad Iqbal merupakan pemikir Muslim modern terkemuka. Simak ulasan biografi, kiprah, dan kontribusinya terhadap pemikiran modern Islam dan filsafat.

Ilustrasi: essaywritingservice.pk

Biografi Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir pada bulan Dzulhijjah 1289 H, atau 22 Februari 1873 M di Sialkot, Punjab Barat, Pakistan.[1] Ayahnya bernama Muhammad Nur, seorang sufi yang sholeh. Sejak masih kanak-kanak, agama sudah tertanam kuat dalam jiwanya.

Selain dari orang tua, pendidikannya juga didapatkan dengan mengaji kepada Mir Hassan. Di rumah sang guru ini, selain belajar agama, juga belajar mengubah sajak.

Kecerdasan Iqbal dibuktikan dalam menempuh jenjang pendidikan. Dibantu oleh Mir Hassan, ia memasuki Scottish Mission School. Tamat dari sini, ia melanjutkan studi ke Goverment College dan memperoleh gelar MA di bidang filsafat.

Di perguruan tinggi ini, ia berkenalan dengan seorang guru besar, Thomas Arnold, yang pemikirannya banyak bernuansa filosof. Thomas menyarankan Iqbal untuk melanjutkan studinya ke Inggris.[2]

Pada tahun 1905 ia pergi ke Inggris dan masuk Universitas Cambridge untuk mempelajari filsafat. Di universitas ini Iqbal mempelajari pemikiran Hegel dan Kant yang sedang populer serta merupakan basis utama pemikiran filsafat Eropa.

Pada tahun 1907, dikarenakan ketertarikannya pada filsafat membawa Iqbal ke Munich di Jerman, khususnya karena ketertarikannya pada filsafat Nietzche yang kemudian menjadi akar dari pemikirannya mengenai humanisme. Di kota inilah ia memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang tasawuf. Thesis yang diajukannya berjudul The Development of Metaphysic in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[3]

Semasa kuliah Iqbal sering mengunjungi dan berdialog dengan sejumlah filosof besar sezamannya. Sedangkan di Eropa, ia menyaring secara kritis pemikiran-pemikiran Barat yang membuatnya tidak mudah hanyut dalam pusaran peradaban Barat.

Pada tahun 1908, Iqbal kembali ke Lahore. Selanjutnya mengambil program hukum dengan meraih keahlian di bidang keadvokatan. Hal ini masih tidak memuaskannya. Ia pun kembali kuliah di School of Political Science.

Berbekal sejumlah besar keahlian, Iqbal memulai karir sebagai pendidik (dosen) dan pengacara di India. Ia juga aktif dalam politik. Selebihnya, Iqbal sering memberikan ceramah ke seluruh bagian India dan bahkan ke negara-negara Islam.

Satu hal yang istimewa, Iqbal termasuk produktif dalam menulis, terutama dalam bentuk lirik puisi. Sajak-sajaknya yang ia tulis kebanyakan mengandung dorongan untuk menghadapi kehidupan ini dengan penuh harapan, keteguhan, dan perjuangan yang gigih.[4]

Saat-saat Pakistan masih memerlukan karya-karyanya, pada tahun 1935 istrinya meninggal dunia. Musibah ini membekas sangat mendalam dan membawa kesedihan yang berlarut-larut kepada Iqbal. Akhirnya berbagai penyakit menimpa Iqbal sehingga fisiknya semakin lemah. Meskipun demikian, pikiran dan semangat Iqbal tidak pernah mengenal lelah.

Ia tidak henti-hentinya mengubah sajak-sajak dan terus menuliskan pemikiran-pemikirannya. Pada tahun 1938 sakitnya bertambah parah, Iqbal merasa ajal telah dekat, namun ia masih menyempatkan diri berpesan kepada sahabat-sahabatnya:

            Kukatakan kepadamu tanda seorang Mu’min

            Bila maut datang, akan merekah senyum di bibir.

Ketika fajar 21 April 1938, dalam usia 60 tahun menurut kalender Masehi, atau 63 tahun dalam kalender Hijriah, Iqbal berpulang ke rahmatullah.[5]

Karya-karya Muhammad Iqbal

Seperti disebutkan Hasyimsyah Nasution (1999), diperkirakan Muhammad Iqbal meninggalkan tidak kurang dari 21 karya monumental, di antaranya:

  1. Ilm al-Iqtisad, (1903);
  2. Development of Metaphisics in Persia: A Constribution to the History of Muslim Philosophy, (1908);
  3. Islam as a Moral and Political Idea, (1909);
  4. Asrar-i Khudi [Rahasia Diri], (1915);
  5. Rumuz-i Bekhudi [Rahasia Peleburan Diri], (1918);
  6. Payam-i Masyriq [Pesan dari Timur], (1923);
  7. Bang-i Dara [Seruan dari Perjalanan], (1924);
  8. Self in the Light of relativity Speeches and Statements of Iqbal, (1925);
  9. Zaboor-i ‘Ajam [Kidung Persia], (1927);
  10. The Reconstrucrion of Religious Thought in Islam, (1934)
  11. Letters of Iqbal to Jinnah, (1934);
  12. Bal-i Jibril [Sayap Jibril], (1935), dsb.[6]

Ide-ide Pembaruan Muhammad Iqbal

Rekonstruksi Pemahaman Ajaran Islam

Berbeda dengan pembaharu-pembaharu lainnya, Iqbal adalah seorang penyair dan filosof sekaligus. Namun pemikirannya mengenai kemunduran dan kemajuan umat Islam mempunyai pengaruh pada gerakan pembaruan Islam.

Pemikirannya di bidang ke-Islaman secara umum, tidaklah berbeda dengan pembaharu-pembaharu lainnya. Ia berpendapat bahwa kemunduran umat Islam selama ini disebabkan kebekuan dalam pemikirannya. Oleh karena itu, ia mengkritik keras sikap fatalisme (jabr) dan taqlid buta. Hukum Islam telah sampai kepada keadaan statis. [7]

Sebagai ahli hukum, menurutnya, umat Islam mundur karena cenderung melaksanakan hukum statis dan konservatif. Kelompok konservatif ini bahkan menuduh golongan pemikir rasional Mu’tazilah sebagai biang perpecahan umat Islam. Akhirnya, kelompok yang berpegang teguh pada tradisi yang keliru itu membawa umat agar tetap memelihara persatuan dengan jalan lari kepada syari’at dalam arti sempit. 

Baca Juga: Muhammad Abduh dan Ide-ide Pembaharuannya

Usaha  ini membawa hasil yang paling ampuh dalam membungkam umat menjadi tunduk dan diam. Akibat dari itu, lahirlah pemikiran yang menutup pintu ijtihad.

Para ulama yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan di bidang agama menganggap, kalau umat Islam dibiarkan bebas berpikir, apalagi yang berkenaan dengan syari’at, mereka akan semakin terpecah belah. Akhirnya pintu ijtihad ditutup. Hukum Islam pun menjadi mandeg dan statis.

Iqbal juga mengkritik pemikiran sufi yang ekstrem, khususnya berkenaan dengan konsep zuhud. Menurutnya, zuhud yang dikumandangkan itu ternyata telah membuat perhatian umat Islam hanya terfokus kepada akherat, sehingga mengabaikan kepentingan duniawi. Keadaan demikian telah mengubah masyarakat yang aktif-dinamis menjadi masyarakat yang pasif-statis.

Seyogianya, berdasarkan prinsip al-Qur’an dan Sunnah, Islam itu bersifat “dinamis”, yaitu ajaran yang menganjurkan umat Islam untuk maju, progresif dan cenderung membuat gerakan perubahan ke arah perbaikan. Paham ini mendorong umat untuk berpikir dan menggunakan akalnya.

Untuk memahami Islam secara mendalam, Iqbal menganjurkan agar mau memperhatikan tanda-tanda yang terdapat di alam ini, seperti matahari, bulan, bintang, pergantian siang dan malam, dan lain-lain. Yang tidak memperhatikan alam tersebut akan tetap buta terhadap masa yang akan datang. Dengan memperhatikan tanda-tanda tersebut, maka orang akan mendapatkan pelajaran tentang makna dinamika sunatullah.[8]

Paham dinamisme yang ditonjolkannya inilah yang membuat Iqbal memiliki kedudukan penting dalam pembaharuan di India. Syair-syair Iqbal memang berisikan gugatan yang menderu dalam membangkitkan semangat umat Islam untuk bergerak dan tidak diam.

Salah satu pendapatnya yang brilian adalah: “Orang kafir yang aktif dan dinamis lebih baik daripada muslim yang suka tidur”.  Menurutnya, intisari hidup adalah gerak, sedangkan hukum hidup adalah menciptakan. Ia selalu mengajak umat Islam untuk senantiasa menciptakan dunia baru.[9]

Islam menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam ini bersifat statis. Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya gerak dan perubahan dalam hidup sosial manusia.

Sikap Iqbal Terhadap Dunia Barat

Di satu sisi, dalam pembaharuannya, Iqbal tidak berpendapat bahwa Baratlah yang harus dijadikan sebagai model. Barat, menurutnya, amat banyak dipengaruhi oleh materialisme dan telah mulai meninggalkan agama. Yang harus diambil dari Barat hanya ilmu pengetahuannya.

Namun, di sisi lain, jika kapitalisme Barat ia tolak, sosialisme Barat dapat ia terima. Ia bersikap simpatik terhadap gerakan sosialisme di Barat dan di Rusia. Kapitalisme dan imperialisme Barat  tak dapat diterimanya, sementara Islam dan sosialisme ia lihat ada persamaan.[10]

Dengan demikian, seperti disebutkan oleh Mukti Ali (1995), Iqbal adalah produk dari kekuatan yang satu sama lain saling bertentangan; seorang muslim sosialis, juga berpaham sangat reaksioner. Namun, pada dasarnya, ia adalah seorang pemikir yang kuat yang tidak terikat oleh adat kebiasaan, dan lebih menghadap ke depan daripada ke belakang. Ia benar-benar mencintai lembaga-lembaga Islam.[11]

Nasionalisme Iqbal = Pan-Islamisme

Pemikiran Iqbal di bidang kenegaraan dan aktivitasnya dalam memajukan negara Islam, dimulai ketika ia dipilih menjadi presiden Liga Muslimin pada tahun 1930. Dengan kedudukannya ini, ia sebagai nasionalis yang sesungguhnya tetapi bukan dalam arti sempit.

Ia dengan jeli melihat ketidakmungkinan bersatunya warga India yang amat berbeda ras, keyakinan, dan sosial itu. Karenanya golongan muslim mesti memisahkan diri dan membentuk negara sendiri. Dalam bentuk lain, pemikiran kenegaraan ini, sebenarnya mengambil inti gerakan Pan-Islamisme. Meskipun Iqbal seorang nasionalis, tetapi pertimbangan ini diarahkan semata-mata untuk keuntungan persatuan Muslim.[12]

Baca Juga: Biografi dan Ide-ide Pembaruan Abul Kalam Azad

Kontribusi Iqbal terhadap Filsafat

Filsafat Ketuhanan

Perjalanan Iqbal dalam merumuskan filsafat ketuhanannya memiliki tiga fase penting, yang dilaluinya dari tahap pencarian sampai ke tahap pematangan. Ketiga fase itu adalah:

Fase pertama: dari tahun 1901 sampai kira-kira tahun 1908. Pada fase ini Iqbal cenderung sebagai mistikus-panteistik. Hal itu terlihat pada kekagumannya pada konsepsi mistik yang berkembang di wilayah Persia, lewat tokoh-tokoh tasawuf klasik, seperti Ibn Arabi.

Puncak kekagumannya itu tergambar dalam disertasi doktornya, berjudul Development of Metaphysics in Persia: A Constribution to the History of Muslim Philosophy.

Pada fase ini Iqbal meyakini Tuhan sebagai Keindahan Abadi, keberadaan-Nya tanpa bergantung pada sesuatu dan mendahului segala sesuatu, bahkan menampakkan diri pada semuanya itu. Dia menampakkan diri-Nya di langit dan di bumi, di matahari dan di bulan, di semua tempat dan keadaan. Tuhan bersifat universal dan melingkupi segalanya seperti lautan, dan individu adalah seperti halnya setetes air; atau seperti matahari dengan lilin.

Pemikiran Iqbal pada fase ini dipengaruhi secara besar oleh pemikiran filsafat Plotinus yang mengembangkan pemikiran Plato yang menganggap bahwa Tuhan sebagai Keindahan Abadi.

Fase Kedua: Dari tahun 1908 sampai 1920. Pada tahap ini Iqbal tertarik kepada Rumi yang dijadikannya sebagai pembimbing rohani. Kondisi ini tergambar dalam karyanya, Haqiqat-i Husna.

Iqbal tidak lagi menganggap Tuhan sebagai Keindahan Luar, tetapi sebagai Kemauan Abadi, sementara keindahan hanyalah sebagai sifat Tuhan di samping ke-Esa-an Tuhan. Tuhan menyatakan diri-Nya bukan dalam dunia yang terindera, melainkan dalam pribadi yang tak terbatas. Karena itu usaha mendekatkan diri kepada-Nya hanya dimungkinkan lewat pribadi.

Dengan menemukan Tuhan, seseorang tidak boleh membiarkan dirinya terserap ke dalam Tuhan dan menjadi tiada. Sebaliknya, manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya, menyerap sebanyak mungkin sifat-sifat Tuhan, dan kemungkinan ini tidak terbatas.

Fase ketiga: berlangsung dari tahun 1920 sampai 1938. Pada fase ini merupakan pemantapan menuju kematangan konsepsi Iqbal tentang ketuhanan.

Tuhan adalah “Hakikat sebagai suatu keseluruhan”, dan Hakikat sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat spiritual, dalam arti suatu individu dan suatu ego. Tegasnya, ia adalah Ego Mutlak, karena Dia meliputi segalanya, tidak ada suatupun di luar Dia. Dia merupakan sumber segala kehidupan dan sumber dari mana ego-ego bermula, yang menunjang adanya kehidupan itu. [13]

Humanisme

Filsafat Iqbal adalah filsafat yang meletakkan kepercayaannya kepada manusia yang dilihatnya mempunyai kemungkinan yang tak terbatas, mempunyai kemampuan untuk mengubah dunia dan dirinya sendiri, serta mempunyai kemampuan untuk ikut memperindah dunia. [14]

Karenanya, filsafat Iqbal sering disebut sebagai filsafat Humanisme, yaitu yang menjunjung tinggi kemampuan manusia di dalam menentukan hidup.

Faham humanisme Iqbal ini, jika kita lihat secara sekilas, hampir sama dengan konsep “superman”-nya Frederick Nietzche, yang dalam istilah Sufistik biasa disebut dengan perfect man (al-insan al-kamil).[15]

Hanya bedanya, kalau dalam konsep Nietzche mengenai manusia sebagai superman mengharuskan membunuh Tuhannya, sedangkan menurut Iqbal justru manusia disebut sebagai “superman” yaitu pada saat manusia hanya tunduk kepada Tuhan dan memanifestasikannya dalam gerak.

Menurut Iqbal, manusia dengan segala kelemahannya, masih lebih tinggi daripada alam, karena ia membawa suatu amanat besar dalam dirinya. Cita-cita untuk membentuk manusia utama ini, memberikan kepada kita ukuran ‘baik’ dan ‘buruk’. Apa yang dapat memperkuat pribadi adalah baik sifatnya dan apa yang dapat melemahkan pribadi adalah buruk sifatnya.

Baca Juga: Biografi dan Ide-ide Pembaharuan Rasyid Ridha

Hal-hal yang dapat memperkuat pribadi, menurut Iqbal, adalah:

  1. ‘Isyq-o-muhabbat, yakni cinta kasih.
  2. Semangat atau keberanian, termasuk bekerja kreatif dan orisinal, artinya asli dari kreasinya sendiri dan mandiri.
  3. Toleransi
  4. Faqr, yaitu sikap tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran-ganjaran yang akan diberikan dunia, sebab bercita-citakan yang lebih agung.

Adapun hal-hal yang melemahkan pribadi adalah:

  1. Takut
  2. Suka minta-minta (su’al)
  3. Perbudakan
  4. Sombong.*

—–

Catatan Kaki

[1]  Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 181. Lihat juga Abdul Wahab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal (Bandung: Pustaka Salman, 1985), hlm. 16. Bandingkan dengan karya Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet.IX, hlm. 190, yang menyebutkan tahun kelahiran Muhammad Iqbal adalah pada tahun 1876.

[2] Harun Nasution, Ibid.

[3] Ian P. Mc Greal (ed.), Great Thinkers of The Eastern World (New York: Harper Collins Publishers, 1995), hlm. 493. Lihat juga H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Bandung: Mizan, 1993) hlm. 175.

[4] Dr. Hasyimsyah Nasution, MA. Filsafat Islam, Op.Cit., hlm. 184.

[5] ‘Abdul Wahhab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, Op.Cit., hlm. 40. Lihat juga Dr. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Op.Cit., hlm. 184.

[6] Selengkapnya mengenai karya-karya Muhammad Iqbal, lihat Dr. Hasyimsyah Nasution, MA. Filsafat Islam, Ibid.

[7] Ian P. McGreal (ed.). The Great Thinkers of The Eastern World, Op.Cit., hlm. 495.

[8] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious in Islam (Kitab Bhavan, 1981), hlm. 147-151, yang dikutip oleh Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Op.Cit. hlm. 192-193. Lihat juga H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan pakistan, Op,Cit., hlm. 186.

[9] Harun Nasution, Op.Cit., hlm. 192. Periksa juga Ian P. McGreal, The Great Thinkers of The Eastern World, Op.Cit., hlm. 494-495.

[10] Harun Nasution, Op.Cit., hlm. 193.

[11] H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Op.Cit., hlm. 186.

[12] H.A. Mukti Ali., Ibid., hlm. 184-185. Lihat juga Harun Nasution, Op.Cit., hlm. 193-194.

[13] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious in Islam, hlm. 80-147, yang dikutip Dr. Hasyimsyah Nasution, MA., Filsafat Islam, Op.Cit., hlm. 190-191.

 [14] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam. Op.Cit., hlm. 200. Lihat juga Ian P. McGreal (ed.), The Great Thinkers of The Eastern World, Op.Cit., hlm. 495-496.

[15]  Ian P. McGreal (ed.), Ibid.

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share