Categories: Parlemen

Pengawasan Swasembada Gula

Rapat komisi 6 (foto: hs)

Permasalahan gula seakan tak pernah berhenti. Sudah dari periode 10 tahun yang lalu pemerintah dan DPR mencanangkan swasembada gula namun masih belum berhasil. DPR Komisi VI pun sudah dua kali membentuk Panitia Kerja (Panja) Gula. Periode pertama tahun 2000 mencanangkan tahun 2004 ditargetkan swasembada gula. Namun ternyata meleset. Periode kedua tahun 2004 Pemerintah dan DPR kembali menargetkan tahun 2007 hingga 2009 akan swasembada gula, tapi kembali meleset. Periode DPR saat ini, pemerintah dan DPR untuk ketiga kalinya menargetkan swasembada gula di tahun 2014.

Untuk mencapai target tersebut, Anggota DPR periode 2009-2014 telah membentuk Panja Gula dan telah selesai sejak pada Desember 2010 serta telah mengeluarkan poin-poin rekomendasinya agar swasembada gula 2014 dapat tercapai. Namun ternyata sampai saat ini (Juni 2011), sudah 6 bulan berjalan, rekomendasi tersebut dinilai oleh DPR tidak diterapkan. Hal inilah yang membuat gusar para anggota DPR Komisi VI dan memanggil kembali para pejabat yang bertanggung jawab dalam pekaksanaan swasembada gula, Senin (13 Juni 2011), untuk melakukan pengawasan dan meminta keterangan terkait hal tersebut. Hadir pada rapat tersebut pejabat dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian negara BUMN, Kementerian Pertanian, perusahaan BUMN sektor gula, dan asosiasi gula rafinasi.

Aroma kekesalan para anggota DPR Komisi VI sangat terasa pada rapat tersebut. Semua anggota meluapkan kekesalannya dengan berbicara dengan nada tinggi, protes keras kepada para pejabat pemerintah yang diundang dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam, dan menyebutkan berbagai istilah seperti dugaan adanya mafia gula yang dilindungi, kejahatan ekonomi terhadap para petani tebu, serta ungkapan lainnya.

Komoditas gula memang sarat dengan masalah. Ibarat pepatah, “ada gula ada semut”, ada gula banyak kepentingan. Mulai dari persaingan antara para pengusaha Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang tidak pernah akur sampai saat ini. GKP adalah gula yang diproduksi dari tebu, sedangkan GKR adalah gula yang diproses dari bahan import yaitu raw sugar. GKR sebetulnya diperuntukkan untuk pemanis yang digunakan oleh industri makanan dan minuman. Namun dikarenakan kapasitas produksi terpasangnya sudah melebihi dari kebutuhan industri makanan minuman, maka GKR banyak yang merembes ke pasar-pasar tradisional, dijual untuk konsumsi rumah tangga yang menjadi target pasar GKP.

Masalah tidak hanya itu, alasan lain kenapa GKR bocor ke pasar adalah karena industri makanan dan minuman mendapat izin juga untuk import langsung GKR, sehingga produksi GKR dalam negeri kehilangan pangsa pasar. Hal ini karena mengimpor lebih murah biayanya daripada menggunakan produk GKR lokal. Itu baru sedikit masalah. Masalah lain adalah tidak sinkronnya data mengenai neraca gula nasional antara kementerian perdagangan dan kementerian pertanian. Kebutuhan gula nasional menurut data kementerian perdagangan berbeda dengan yang dimiliki kementan, sehingga ujungnya pun pasti berbeda kebijakannya. Kemendag semangat untuk impor gula, sementara dari data kementan tidak perlu impor. Dewan Gula Nasional sebagai wadah berkumpulnya berbagai stakeholder gula seakan tidak berperan sama sekali, karena kalau berperan data neraca gula nasional pasti sama. Jika anda sengaja bandingkan data-data mengenai kebutuhan gula di mesin pencari Google yang diperoleh dari keterangan berbagai pihak pasti berbeda-beda. Bukan hanya data kebutuhan gula nasional, tetapi juga target produksi, target lahan, dan banyak lagi, yang pasti berbeda. Sementara data adalah landasan dasar dari kebijakan, semacam premis dalam penyusunan proposisi. Jika premis mayor atau premis minornya beda maka pasti akan beda juga kesimpulannya. Artinya, jika data beda maka kebijakannya pun pasti beda.

Target produksi gula untuk rercapainya swasembada gula adalah 5.7 juta ton dengan kebutuhan lahan baru sebanyak 300 ribu hektar. Ini pun sangat susah tercapai dengan kondisi yang ada. BUMN gula sendiri dipatok oleh kementerian BUMN di tahun 2014 jauh dari angka tersebut, yaitu hanya 2.3 juta ton. Jika ditambah dengan produksi gula dari perusahaan gula swasta pun tidak akan mencukupi angka tersebut.

Selain itu, pabrik-pabrik gula yang dimiliki oleh BUMN gula seperti yang dimiliki oleh PTPN-PTPN gula sudah banyak yang tua, perlu adanya revitalisasi agar dapat beroperasi secara lebih efisien. Rendemen dari pabrik gula BUMN hanya 20 sampai 30 persen, hal ini bisa dipengaruhi oleh kualitas tanaman tebu yang perlu dibongkaratun (penanaman tebu dengan benih baru bukan dari tunas), atau karena pengaruh pabrik yang sudah tua.

Swasembada gula tahun 2014 akan tertunda lagi jika tidak dilakukan pembenahan terhadap permasalahan-permasalahan di atas. Perlu adanya gerakan bersama dari berbagai stakeholders gula agar rencana swasembada gula tersebut dapat terwujud. Kementerian-kementerian yang bertanggung jawab tidak perlu lagi saling menyalahkan satu sama lain. Sudah saatnya untuk berperan bersama demi kepentingan rakyat. Jika gula terus-terusan impor maka petani tebu akan gulung tikar. Selain itu, gula impor sebetulnya adalah Gula Kristal Rafinasi (refined sugar) yang kadar airnya lebih tinggi daripada GKP tebu. Jika kadar airnya tinggi, hal ini berarti unsur sulfur atau belerangnya pun tinggi, yang dapat berbahaya jika terus dikonsumsi. **[harja saputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Lihat Komentar