Categories: Riset

Agama Pakai Survei? Yang Betul Saja..

Ilustrasi: harjasaputra.com

Hari ini (18/8) Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil surveinya terkait penentuan awal Ramadhan dan lebaran. Penelitian dilakukan terhadap 1200 responden dengan teknik multistage random sampling, dan dilakukan pada rentang waktu 13-14 Agustus 2013.

Secara umum hasil survei ini menunjukkan kesimpulan bahwa mayoritas responden menginginkan penentuan awal Ramadhan dan Lebaran dilakukan jauh-jauh hari (bukan H-1), sistem kalender bisa digunakan karena tidak bertentangan dengan agama, dan pemerintah diharapkan tidak ikut campur dalam isbat (untuk hasil lengkap survei silahkan klik di link ini dan ini).

Hasil survei ini langsung mendapat reaksi dari Kementerian Agama melalui Dirjen Bimas Islam, yang mempertanyakan keabsahan hasil survei karena dianggap tidak mewakili suara umat Islam. Sampel sebanyak itu tidak bisa mencerminkan keinginan umat Islam. Isbat yang selama ini dilakukan melibatkan ormas-ormas Islam sebagai representasi dari umat Islam Indonesia. Ini adalah alasan utamanya (komentar dari Dirjen Bimas Islam dapat dibaca di link ini).

Masalah penentuan awal Ramadhan dan Lebaran merupakan masalah yang rutin terjadi setiap tahun. Perbedaannya adalah dalam perbedaan penentuan: melalui penglihatan hilal dan hisab. Pembahasan dalam tulisan ini tidak akan masuk ke ranah metode itu, tapi ada beberapa kejanggalan saja menurut saya. Apa itu?

Pertama, agama tidak bisa dilakukan dengan survei. Agama, apalagi masalah ibadah, landasannya bukan pendapat dengan skala: suka-tidak suka, setuju-tidak setuju, atau skala lain yang digunakan dalam ilmu statistik. Agama bukan ranah statistik. Seperti misalnya, bagaimana mengukur kesabaran? Apakah bisa dengan skala ordinal? Bagaimana indikatornya? Bagaimana juga misalnya mengukur masalah shalat? Kalau ini pakai survei dan hasilnya bahwa shalat itu memberatkan terus apakah harus diikuti hasil survei itu?

Untuk yang kuliah di jurusan agama tentu akan lebih paham. Banyak penelitian, apakah itu skripsi, tesis, disertasi, mental atau ditolak oleh dosen ketika agama menggunakan metode kuantitatif. Landasan agama adalah believe (iman) bukan pendapat manusia. Menjadi sangat rancu ketika survei masuk ke ranah agama yang bersifat private.

Sebetulnya bisa saja agama menggunakan metode kuantitatif  tapi pada level sosial. Misalnya tentang masalah dampak kejujuran atau dampak kesalehan pada kesuksesan ini bisa. Beda lagi cerita kalau agama level ibadah yang sifatnya harus berdasarkan nash, susah untuk dikuantifikasikan.

Kedua, pendapat Dirjen Binbaga Islam juga rancu. Ormas Islam dianggap representasi dari umat Islam Indonesia adalah terlalu mengada-ada. Sejak kapan ormas Islam itu menjadi patokan dalam ijtihad? Silahkan cari sepanjang sejarah sejak zaman Nabi sampai zaman kapanpun ormas bukan representasi dari umat Islam.

Ormas itu nuansanya sudah politis. Kalau mau benar-benar murni ijtihad kenapa MUI diabaikan? MUI adalah pembuat fatwa, dan ulamalah yang mengerti tentang bagaimana suatu hukum diformulasikan, bukan oleh ormas. Ulama adalah pewaris para Nabi ini disepakati oleh semua pihak.

Pertanyaannya: apakah pimpinan ormas itu bisa dijamin ia adalah seorang ulama yang menguasai masalah ijtihad? Belum tentu. Dengan melakukan isbat di luar organisasi resmi MUI yang disepakati sebagai pembuat fatwa, dengan sendirinya merupakan “pelecehan” terhadap institusi ulama.

Bolehlah dikatakan, bahwa orang-orang yang ada di MUI memang banyak dari kalangan ormas juga, tapi di situ sudah ada divisi pembuat fatwa yang memang dikaji secara khusus oleh ulama-ulama yang berkompeten. Jika memang hal sangat penting yang terlibat dengan kepentingan umum umat Islam saja lembaga ulama dilangkahi lantas untuk apa lembaga itu dibentuk? Bubarkan saja sekalian. Kan, tentu akan menolak juga.**[hs]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share