Pengertian dan Metode Semiotika

Daftar Isi

Pengertian Semiotika

Perintis awal semiotika adalah Plato (s.428-348 SM) yang memeriksa asal muasal bahasa. Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, seme, seperti dalam semeotikos, yang berarti penafsir tanda. Sebagai suatu disiplin semiotika berarti ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi ( Cobley dan Jansz, 2002 :4)

Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan  dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh merekayang menggunakannya (Krisyantono, 2006:261)

Roland Barthes berpendapat bahwa semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things) (Sobur, 2004:15).

Semiotika diturunkan dari karya Ferdinand de Saussure, yang menyelidiki properti-properti bahasa dalam Course in General Linguistics, Saussure  yakin bahwa semiotika dapat digunakan untuk menganalisis sejumlah besar “system tanda”, dan bahwa tak ada alasan tidak bisa diterapkan pada bentuk media atau bentuk cultural apapun. Maka, jika makna sesuatu adalah yang ingin dikaji khususnya media visual, semiotika bisa merupakan pendekatan terbaik.

Penggunaan Istilah Semiotika

Charles Sanders Pierce, filsuf Amerika yang identik dengan semiotika komunikasi, menggunakan kata “semiotika” untuk menyebut ilmu tentang tanda. Istilah ini biasa digunakan pula oleh mereka yang berbahasa Inggris, sedangkan mereka yang bergabung dengan Ferdinand de Saussure (identik dengan semiotika signifikasi) umumnya menggunakan kata “semiologi” (biasanya digunakan di Eropa).

Para ahli umumnya cenderung tidak begitu mau dipusingkan oleh kedua istilah tersebut, karena mereka menganggap keduanya sebenarnya sama saja mengacu kepada ilmu tentang tanda.

Keputusan untuk hanya memakai istilah semiotika (semiotics), seperti dikatakan Umberto Eco, adalah sesuai dengan resolusi yang diambil oleh komite internasional di Paris pada tahun 1969. Penggunaan istilah semiotika juga dikukuhkan oleh Association for Semiotics Studies pada tahun 1974. Dalam konteks ini, “semiotika” (semiotics) menjadi istilah untuk semua peristilahan lama semiology (Sobur, 2004:12)

Tujuan Analisis Semiotika

Analisis semiotika berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita, maupun tanda lainnya). Karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada (Krisyantono, 2006:262)

Tanda

Semiotika menunjukkan bahwa manusia tak berkomunikasi secara langsung, seperti lewat sarana telepati. Komunikasi bukanlah sekadar perkara orang dapat memikirkan sesuatu dan orang lain memahaminya secara langsung dan sempurna. Komunikasi manusia melibatkan sesuatu untuk merepresentasikan atau menyajikan sesuatu yang lain (Shobur, 2004:199).

Model Analisis Semiotika Roland Barthes

Dalam menganalisis makna, Roland Barthes menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Roland Barthes ini dikenal dengan “order of significations” atau “tatanan pertandaan” yang terdiri dari:

1. Denotasi

Makna kamus dari sebuah kata atau terminologi atau objek (literal meaning of a term or object). Misalnya, arti kata “kursi” adalah ditujukan bagi kursi yang sebenarnya. Namun “kursi” juga memiliki arti lain yaitu “jabatan” atau “kedudukan”. Arti lain dari makna yang sebenarnya bukan denotasi tapi konotasi.

2. Konotasi

Makna-makna kultural yang melekat pada sebuah terminologi (the cultural meaning that become attached to a term). Seperti pada contoh di atas, arti “kursi” dapat diartikan sebagai “jabatan” atau “kedudukan”. Begitu halnya dengan pakaian, makna konotasinya bukan hanya kain yang dipakai, namun memiliki makna luas pada simbol status diri, gaya hidup, dan etika.

3. Metafora

Mengkomunikasikan dengan analogi. Misalnya dalam mengungkapkan kenikmatan digunakan analogi, nikmat tiada tara, tak ada yang lain lagi senikmat ini, atau dalam melambangkan kecantikan digunakan analogi, kecantikannya sempurna tiada yang menandingi.

4. Simile

Subkategori metafor dengan menggunakan kata-kata “seperti”. Metafora berdasarkan identitas sedangkan simile berdasarkan kesamaan. Contohnya, untuk mengungkapkan kecantikan digunakan kata-kata dengan analogi: mukanya seperti bulan purnama yang bersinar, tubuhnya bagai biola, rambutnya terurai ibarat siur melambai.

5. Metonimi

Mengkomunikasikan dengan asosiasi. Permisalan di mana sesuatu dipertukarkan dengan sesuatu yang berhubungan erat dengannya. “Pena itu lebih hebat dibanding pedang” bermakna, secara metonimik, bahwa kata yang tertulis adalah lebih kuat dari tindakan militer.

6. Synedoche

Subkategori metonimi yang memberikan makna “keseluruhan” atau “sebaliknya”. Artinya sebuah bagian digunakan untuk mengasosiasikan keseluruhan bagian tersebut. Misalnya penggunaan kata-katasenjata digunakan dengan kata pedang sebagai bagian yang mewakili keseluruhan dari senjata, mahluk dengan manusia, kendaraan dengan mobil.

7. Intertuctual

Hubungan antarteks (tanda) dan dipakai untuk memperlihatkan bagaimana teks saling bertukar satu dengan yang lain, sadar maupun tidak sadar. (Krisyantono, 2006:268-269). Misalnya, adalah dalam penggunaan “plesetan”, misalnya “jaka sembung” digunakan untuk menyebut “tidak nyambung”, dan sebagainya.

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes

 

 (Sumber: Alex Sobur, 2004 : 69)

 Dalam peta tanda Roland Barthes digambarkan bahwa tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotatif juga merupakan penanda konotatif (aspek material). Sebagai contoh, hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin anda tangkap. (Sobur, 2004:69)

Makna Denotasi dan Makna Konotasi

Tanda terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Sebagai contoh, kata pohon merupakan sebuah penanda (aspek material) dari bahasa, maka petanda (aspek mental) yang muncul dalam benak kita ketika disebutkan kata pohon adalah sebuah tanaman yang berwarna hijau dan memilki dahan berwarna coklat. Baik penanda maupun petanda tidak dapat dipisahkan satu sama lain. (Sobur, 2004:46)

Sistem pemaknaan diatas merupakan sistem pemaknaan tataran pertama atau sistem pemaknaan denotatif. Roland Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi (denotation) dan konotasi (connotation).

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya.pada realitas yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna (Sobur, 2004:viii)

Makna denotasi / makna literal adalah makna kamus dari sebuah kata atau terminologi atau objek (Moral meaning of a term or object) yang merupakan deskripsi dasar. Sebagai contoh makna denotasi dari “Big Mac” adalah sandwich yang dibuat oleh McDonalds yang dimakan dengan saus (Krisyantono, 2006:268)

Pemaknaan tanda menurut Roland Barthes dikenal dengan system pemaknaan tataran kedua atau konotatif (mengalami perluasan makna), yang dibangun di atas sistem pemaknaan tataran pertama atau denotatif yang telah ada sebelumnya (pemaknaan tanda melalui dua tahapan).

Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan tafsiran) (Sobur , 2004:viii).

Makna konotasi adalah makna-makna kultural yang melekat pada sebuah terminologi (the cultural meanings that become attached to a term) (Krisyantono, 2006:268).

Tabel 2.2

Perbandingan antara Konotasi dan Denotasi    

                  KONOTASI

                       DENOTASI

Pemakaian figur

literatur

Petanda

Penanda

Kesimpulan

Jelas

Memberi kesan tentang makna

Menjabarkan

Dunia mitos

Dunia keberadaan / eksistensi

Sumber (Sobur, 2004:264)

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Sobur, 2004:71). Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu.

Simbol dan Kode

 David K.  Barlo (1960) mendefinisikan simbol adalah lambang yang memiliki suatu objek, sedangkan kode adalah seperangkat simbol yang telah disusun secara sederhana dan teratur sehingga memiliki arti. Sebuah simbol yang tidak memiliki arti bukanlah arti. (Cangara, 2003:102)

Kode pada dasarnya dapat dibedakan atas dua macam, yaitu kode verbal (bahasa) dan kode non-verbal (isyarat).

  • Kode Verbal

Kode verbal dalam pemakaiannya menggunakan bahasa. Bahasa dapat didefinisikan seperangkat kata yang telah disusun secara terstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti.

  • Kode Non-verbal

Manusia dalam berkomunikasi selain memakai kode verbal (bahasa) juga memakai kode non-verbal. Kode non-verbal biasa disebut bahasa isyarat atau diam (silent language). Dan berbagai studi yang pernah dilakukan sebelumnya, kode non-verbal dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain:

1. Kinesics

Adalah kode non-verbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan, yang bisa dibedakan atas lima macam, yakni:

a. Emblems 

Ialah isyarat yang punya arti langsung pada symbol yang dibuat oleh gerakan badan. Misalnya mengangkat jari V yang artinya Victory atau menang, mengangkat jempol berarti yang terbaik untuk orang Indonesia, tetapi terjelk bagi orang India.

b. Illustrators

Ialah isyarat yang dibuat dengan gerakan-gerakan badan untuk menjelaskan sesuatu, misalnya besarnya barang atau tinggi rendahnya suatu objek yang dibicarakan

c. Affect displays

Ialah isyarat yang terjadi karena adanya dorongan emosional sehingga berpengaruh pada ekspresi muka, misalnya tertawa, menangis, tersenyum, sinis, dan sebagainya. Hampir semua bangsa di dunia memiliki perilaku tertawa dan senyum sebagai lambang kebahagiaan, sedangkan menangis dilambangkan sebagai lambang kesedihan

d. Regulators 

Ialah gerakan-gerakan tubuh yang terjadi pada daerah kepala, misalnya mengangguk tanda setuju atau menggeleng tanda menolak.

e. Adaptory

Ialah gerakan badan yang dilakukan sebagai tanda kejengkelan. Misalnya menggerutu, mengepalkan tinju ke atas meja dan sebagainya.

2. Gerakan Mata (eye gaze)

Mata ialah alat untuk komunikasi yang paling berarti dalam memberi isyarat tanpa kata.

3. Sentuhan (touching)

Ialah isyarat yang dilambangkan dengan sentuhan badan.

4. Postur Tubuh

Well and Siegel (1961) membagi bentuk tubuh atas tiga tipe, yakni ectomorphy bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh kurus tinggi, mesomorphy bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh tegap, tinggi, dan atletis, dan endomorphy bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh pendek, bulat dan gemuk.

5. Kedekatan dan ruang (proximity and spatial)

Proximity adalah kode non-verbal yang menunjukkan kedekatan dari dua objek yang mengandung arti

6. Artifact dan Visualisasi

Artifact adalah hasil kerajinan manusia (seni), baik yang melekat pada diri manusia maupun yang ditujukan untuk kepentingan umum. Artifact ini, selain dimaksudkan untuk kepentingan estetika, juga menunjukkan status atau identitas diri seseorang. Misalnya baju, topi, pakaian dinas, cincin, gelang, dan sebagainya.

7. Warna

Warna memberi arti terhadap suatu objek.

8. Waktu

Waktu mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan manusia.

9. Bunyi

Banyak bunyi-bunyian yang dilakukan sebagai tanda isyarat.

10. Bau

Bau juga menjadi kode non-verbal (Cangara, 2003:103,110-120).

Definisi harfiah komunikasi non-verbal adalah komunikasi tanpa bahasa atau komunikasi tanpa kata. Jadi secara sederhana, tanda non-verbal dapat diartikan semua tanda yang bukan kata-kata (Sobur, 2004:122).*