Pengertian Pajak Pusat dan Pajak Daerah

Pajak Pusat

Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun sritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan.

Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama.

Ditinjau dari lembaga pemungutnya, pajak dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui undang-undang, yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah pusat dan pembangunan.

Pajak pusat dipungut oleh pemerintah pusat yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Departemen Keuangan dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara pada umumnya.[1]

Pajak Daerah

 Khusus perpajakan Daerah, K.J. Davey memberikan definisi perpajakan daerah sebagai berikut :

  1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dengan peraturan dari daerah sendiri;
  2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah;
  3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut pemerintah daerah;
  4. Pajak yang dipungut dan diadminitrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil pemungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan dengan, atau dibebani pungutan tambahan (opsen) oleh pemerintah daerah.[2]

 Pengertian pajak daerah yang lain dikemukakan oleh Siahaan sebagai berikut:

“Iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.”[3]

K.J. Davey juga memberikan kriteria umum untuk pajak daerah, yaitu :

1. Kecukupan & Elastisitas

Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.

2. Keadilan

Adil dan merata secara vertical, artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal  artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.

3. Kemampuan Administratif

Administrasi yang fleksibel, artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib pajak.

4. Kesepakatan Politis

Secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak (ketaatan membayar pajaknya tinggi).

5. Distorsi terhadap Perekonomian.[4]

Dari kriteria-kriteria di atas, pajak hotel sebagai bagian dari pajak daerah sebagai fokus penelitian ini, seharusnya memenuhi kriteria keadilan di atas, yaitu tidak ada yang kebal hukum, sehingga diperlukan pengawasan jika terdapat penyimpangan.

Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara yang sedang berkembang, adalah sebagai berikut:[5]

  1. Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
  2. Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam.
  3. Tax basenya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).[6]

Sebagai suatu sistem perpajakan, pajak daerah juga memerlukan suatu patokan-patokan sehingga keberadaannya benar-benar memberikan manfaat bagi Pemerintah Daerah dan juga masyarakatnya. Nick Devas menentukan tolak ukur untuk menilai pajak daerah adalah sebagai berikut:[7]

  1. Hasil (Yield), yaitu :
    1. Memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitan dengan berbagai layanan yang dibiayainya;
    2. Stabilitas dan mudah tidaknya memperkirakan besar hasil itu;
    3. Elastisitas hasil pajak terhadap pertumbuhan penduduk; dan
    4. Perbandingn hasil pajak dengan biaya pungut.
  2. Keadilan (Equity), yaitu:
  3. Dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak sewenang-wenang;
  4. Pajak bersangkutan harus adil secara horizontal, artinya beban pajak haruslah sama benar antara berbagai kelompok yang berbeda tapi dengan kedudukan ekonomi yang sama;
  5. Harus adil secara vertikal, artinya kelompok yang memiliki sumber ekonomi yang sama besar memberikan sumbangan yang lebih besar daripada kelompok yang tidak banyak memiliki sumber daya ekonomi; dan
  6. pajak itu haruslah adil dari tempat ke tempat.
  7. Daya Guna Ekonomi (Economic Efficiency) , yaitu:
  8. Pajak hendaknya mendorong penggunaan sumberdaya secara berdaya guna dalam kehidupan ekonomi;
  9. Untuk mencegah jangan sampai pilihan konsumen dan pilihan produsen menjadi salah arah atau orang menjadi segan bekerja atau menabung; dan memperkecil “beban lebih” pajak.
  10. Kemampuan Melaksanakan (Ability to Implement), yaitu :
  11. Suatu pajak haruslah dapat dilaksanakan, dari sudut kemauan politik dan kemauan tata usaha.
  12. Dalam menilai kemampuan administratif pengukurannya di lihat dari kemudahan dalam prosedur pemungutan pajak daerah, kemudahan data potensi objek pajak akan memberikan optimasi pemungutan pajak daerah.
  13. Kemampuan politis diperlukan dalam mengenakan pajak, menetapkan struktur tarif, memutuskan siapa yang harus membayar dan bagaimana pajak tersebut ditetapkan, memungut pajak secara fisik, dan memaksakan sanksi terhadap para pelanggar.
  14. Kecocokkan sebagai Sumber Penerimaan Daerah (Suitablility as a Local Revenue Source), yaitu:
  15. Haruslah jelas kepada daerah mana suatu pajak harus dibayarkan, dan tempat memungut pajak sedapat mungkin sama dengan tempat akhir beban pajak;
  16. Pajak tidak mudah dihindari, dengan cara memindahkan objek pajak dari suatu daerah ke daerah lain;
  17. Pajak daerah jangan hendaknya mempertajam perbedaan-perbedaan antara daerah, dari segi potensi ekonomi masing-masing; dan
  18. Pajak hendaknya tidak menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak daerah.

Dari tolok ukur di atas, pajak hotel dalam penelitian ini mengacu pada tolok ukur keadilan dan daya guna ekonomi, dalam hal ini kontribusinya terhadap PAD.

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak daerah adalah pajak yang diberlakukan oleh pemerintah daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota berdasarkan peraturan daerah untuk keperluan pendanaan rumah tangga pemerintah daerah dan pembangunan.

Sejak mulai diberlakukannya otonomi daerah, setiap daerah diberikan kebebasan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Pendapatan daerah merupakan salah satu indikator yang cukup penting untuk menilai keberhasilan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi daerahnya guna mencapai kemandirian pembiayaan daerah.

Pajak daerah memberikan kontribusi terhadap keuangan daerah. Keuangan daerah sendiri memiliki pengertian kemampuan pemerintah daerah untuk mengawasi daerah untuk mengelola mulai dari merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi berbagai sumber keuangan sesuai dengan kewenangannya dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas dan pembantuan di daerah yang diwujudkan dalam bentuk anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).[8]

---

[1] Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal.9.

[2] K.J. Davey, Pembiayaan Pemerintah Daerah, Terj. Amanullah dkk, (Jakarta : UI-Press, 1988), hal.39

[3] Marihot P. Siahaan, Op.Cit., hal.10.

[4] K.J. Davey, Op.cit, hal. 40-59

[5] Anggito Abimanyu, Evaluasi UU Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Jakarta: Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan BAPEKKI, 2005), hal. 32-33

[6] Nick Devas, dkk. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia,( Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia), 1999.

[7] Ibid, hal. 61-62

[8] Tjahja Supriatna, Sistem Administrasi di Daerah, cetakan kedua (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 174.