Ekbis

Kerangka Kebijakan Pasokan Gas untuk Industri

Tingginya daya saing suatu bangsa menunjukan ketahanan dan kemandirian dari bangsa tersebut. Menurut laporan World Economic Forum, daya saing Indonesia  terus mengalami penurunan sejak tahun 1999 sampai dengan 2003 (secara berurutan adalah peringkat ke 37; 44 ; 49; 69; 72). Daya saing Indonesia kemudian meningkat pada tahun 2008 menjadi ke 51, dan pada tahun 2009 meningkat menjadi ke 42. Namun, peringkat daya saing Indonesia tersebut masih tertinggal dibanding negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura (3), Malaysia (18), dan Thailand (26). (sumber: World Competitiveness Yearbook, 2009).

Daya saing menjadi perhatian utama pemerintah dalam RPJMN tahun 2010 dan 2011, bahwa prioritas sektor ekonomi adalah untuk Peningkatan Daya Saing dan Pertumbuhan Ekonomi. Selain itu, daya saing merupakan salah satu prioritas dalam menghadapai perdagangan bebas. Hal ini disebabkan perdagangan bebas merupakan suatu kepastian yang tidak ditawar-tawar. Dengan berlakunya ACFTA dan disusul dengan perdagangan bebas lainnya seperti Asean India Free Trade Area (AIFTA) dan Asean Australian-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA), hal ini menyebabkan daya saing merupakan suatu keharusan. Kunci utama daya saing adalah agar industri dapat lebih memiliki tempat dibanding produk-produk import dari hasil serbuan perdagangan bebas.

Masalah Pasokan Gas
1. Gas digunakan oleh sektor industri dalam 2 aspek: (1) bahan baku industri langsung dan (2) bahan pendukung (terkait pasokan listrik). Ada defisit kebutuhan gas dalam negeri sebanyak 2.544 mmscfd.
2. Masalah regulasi: UU No 22 tahun 2001 tentang Migas Pasal 22 (DMO/Domestic Market Obligation paling banyak 25%), pasal ini sudah dianulir oleh MK dengan Nomor Putusan: 002/PUU-I/2003, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum.

Kebijakan
1. Menko Perekonomian bertanggung jawab untuk melakukan koordinasi dengan semua kementrian/lembaga yang terkait dengan kebijakan gas.
2. BP Migas yang bertugas di sektor hulu bertanggung jawab untuk menjamin kepastian peningkatan produksi gas.
3. BPH Migas yang bertugas di sektor hilir: sebagai pemegang regulasi di bidang distribusi migas, harus mengeluarkan kebijakan peningkatan DMO yang tidak hanya 25% tetapi didorong menjadi 40% atau lebih.
4. BPH Migas berkoordinasi dengan Menteri ESDM untuk diteruskan ke Presiden untuk mengeluarkan Perpu terkait besaran DMO gas sebagai tindak lanjut dari putusan MK yang telah menganulir UU No. tahun 2001 tentang Migas Pasal 22.
5. Kementerian negara BUMN bertanggung jawab untuk melakukan koordinasi dengan Pertamina dan PGN untuk memasok gas pada PLN.
6. Kementrian pertanian bertanggung jawab untuk melakukan koordinasi terkait pasokan gas untuk pupuk.
7. Kementrian perdagangan dan perindustrian bertanggung jawab untuk melakukan koordinasi terkait pasokan gas untuk sektor industri.
8. Operator: Pertamina, PGN dan operator lain menjamin ketersediaan gas untuk pupuk, PLN dan industri nasional.
9. Pengawasan dari kebijakan dilakukan oleh DPR sesuai dengan cakupan kerja masing-masing komisi.
10. Perlu dibuat target waktu yang definitif sehingga masalah patoka gas dapat diatasi secara terukur.**[harja saputra]

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
1 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
cindy amri
9 years ago

Saya tertarik dengan informasi mengenai pertanian diatas.
Selain itu, tulisan diatas sangat menarik untuk dipelajari yang dapat menambah wawasan kita mengenai pertanian dan ekonomi pertanian.
Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai pertanian yang bisa anda kunjungi di Pusat Studi Ekonomi Pertanian