Filsafat

Batas Tipis Fundamentalisme dan Liberalisme

Ilustrasi (harjasaputra)

Di dunia nyata, sangat susah untuk membedakan atau mengelompokkan seseorang itu termasuk konservatif ataukah liberal. Dari hasil saya berinteraksi dengan banyak orang, ingat ini bukan generalisasi, justru dalam satu individu dapat kita jumpai dengan mudah bercampurnya antara konservatifisme a.k.a fundamentalisme dengan liberalisme. 

Dengannya, batas antara konservatif dan liberal sangat tipis setipis batas kilobita di hardisk. Batas antara file al-Quran dan film biru di hardisk hanya dipisahkan oleh ruang tipis satu kilobita. Mungkin seperti itulah batas konservatifisme dan liberalisme dalam diri manusia.

Saya punya banyak teman yang kalau diajak ngomong masalah agama luar biasa fundamentalismenya: memiliki keyakinan hanya penganut satu agama yang berhak masuk surga dan penganut agama lain ke neraka, tokoh panutannya Zakir Naik, haram merayakan Valentine Day, dan seabrek identitas fundamentalisme lainnya. Namun, dalam banyak tindakan seperti berpakaian, gaya hidup, apalagi kalau sudah berbicara tentang lawan jenis, ia sangat liberal. 

Jangan Anda beranggapan bahwa wanita yang berpakaian seksi itu pemikirannya selalu liberal. Tidak sama sekali, justru kalau Anda bertanya lebih dalam mengenai pemahaman agama mereka, pasti Anda akan menyematkan label kepada mereka dengan label “Konservatif”.

Jangan juga selalu beranggapan pada para laki-laki, remaja, dan para pemuda yang gaya hidupnya urakan itu pemikiran mereka liberal. Tidak sama sekali, coba gali lebih dalam pemahaman agama mereka, kalau sudah urusan agama mereka sangat konservatif.

Sebaliknya, banyak orang yang memiliki pandangan liberal yang bertolak belakang dengan kaum fundamentalisme di atas, namun tindakan, gaya hidup, makanan, istrinya berjilbab, anaknya pun dididik menjadi fundamental dengan menyekolahkannya ke sekolah SDIT, justru lebih konservatif. 

Tak usah jauh-jauh, contohnya saya. Banyak orang mencap saya ‘liberal’ tetapi kalau melihat istri saya berjilbab, apalagi kalau menyangkut masalah makanan saya termasuk sangat fundamental: tidak mau makan yang namanya ikan tak bersisik, anak dididik di SDIT semua. Lho ya opo iki, jadinya “Liberal Setengah Hati”. Masih banyak contoh lain, saya sajikan contoh diri pribadi karena lebih aman untuk dijadikan contoh.

Fenomena ini menurut saya menarik. Dan, saya benar-benar menikmati dalam mengamati fenomena ini. Saya jadi balik bertanya: apa gerangan namanya fenomena ini? Kenapa bisa seperti itu? Teori apa yang cocok diterapkan dalam menganalisis fenomena ini?

Dari hasil saya baca sana-sini, buka jurnal-jurnal penelitian, ternyata itu semua karena faktor sosial-budaya.

Jadi begini, seperti diketahui, bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh dua faktor: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan belief (keyakinan), values (nilai-nilai), dan world view (pandangan dunia). Sementara faktor eksternal adalah faktor sosial dan budaya yang berlaku di lingkungan sosial di tempat orang itu berada.

Faktor sosial dan budaya ini muncul bukan tanpa proses, melainkan melalui berbagai benturan atau tarik-menarik antara ketiga faktor tersebut antara satu individu dengan individu lain. Dalam struktur sosial yang lebih kompleks, nilai sosial dan budaya yang berlaku merupakan hasil jalan tengah dari berbagai nilai dan keyakinan individu-individu di dalamnya. 

Dengan bahasa mudah dan singkat, di zaman modern ini, faktor internal manusia yang berisi keyakinan, nilai, dan pandangan dunia selalu berbenturan dengan faktor internal yang sama yang dimiliki oleh orang lain. Dari hasil benturan itu ada deviasi nilai yang menjadi penengah dan dirasa aman yang kemudian dipraktekkan oleh kedua belah pihak yang berbenturan itu. Itulah yang kemudian menjadi nilai sosial dan nilai budaya.

Dengan demikian, tesis bahwa tindakan manusia dipengaruhi sepenuhnya oleh faktor internal di dalam diri manusia, konsep diri, pemikiran yang dianut, menjadi tertolak dengan sendirinya dalam kasus ini. 

Dalam kasus orang konservatif yang dalam perilakunya malah sangat liberal, dan sebaliknya orang liberal namun dalam banyak aspek sangat fundamental, itu karena mereka mengambil jalan tengah yaitu dengan mempraktekkan nilai sosial dan budaya yang berlaku. Nilai sosial dan budaya itu lebih aman untuk dipraktekkan dalam hubungan sesama manusia meskipun sesungguhnya tidak sejalan dengan konsep diri internalnya. 

Wanita yang berpakaian seksi meskipun pandangan hidupnya fundamental, ia sesungguhnya sedang beradaptasi dengan nilai jalan tengah di luar keyakinan dirinya. Manusia adalah makhluk adaptable. Begitu juga dengan orang liberal yang mengambil jalan tengah mempraktekkan nilai fundamental, ia pun sedang beradaptasi dengan lingkungannya. Pada tahap ini, faktor eksternal lebih berpengaruh dalam mempengaruhi tindakan manusia.

Tapi, proses adaptasi dengan nilai sosial dan budaya di atas tidak akan bertahan lama. Anda akan mendapati, wanita yang di saat mudanya berpakaian seksi, setelah ia menikah atau sudah berusia senja, ia akan kembali ke jati dirinya, yaitu menjadi sosok fundamental 100%: mengenakan hijab lebar, bermake up seadanya, bahkan menjaga jarak dengan teman-teman gaulnya dulu di saat muda.

Ia akan kembali ke faktor internalnya: mempraktekkan keyakinan, nilai, dan pandangan dunia yang menjadi jati dirinya. Dalam tahap ini, faktor internal kembali berpengaruh dominan.

Perputaran interaksi antar-manusia memungkinkan individu untuk terus mengubah perilakunya. Beradaptasi dengan berbagai hal. Adakalanya ia dipengaruh dominan oleh faktor internal dan adakalanya dipengaruhi secara dominan oleh faktor eksternal. Inilah mungkin wujud nyata dari teori Darwin dahulu, bahwa manusia adalah makhluk yang terus beradaptasi.**[harjasaputra] 

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments