Polhukam

“Semut Senayan” Bicara tentang PNS

Permasalahan PNS merupakan isu yang kompleks, bukan hanya masalah pemborosan anggaran atau jumlahnya yang overload. Ada berbagai macam variabel yang harus dilibatkan dalam menganalisis masalah PNS ini. Sebagaimana prinsip dalam menulis dan berpendapat: akurat, akurat dan akurat, maka tidak sepantasnya menilai masalah PNS ini hanya dari pendekatan subyektif. Paradigma “pokoknya salah” adalah paradigma yang harus dijauhi.

Mari kita lihat fakta berikut:

1. Dari analisa pendekatan anggaran Pemerintah pusat: jumlah APBN 2011 berjumlah 1.229 Trilyun. Dari jumlah tersebut belanja operasional PNS sebesar Rp.180.6 Trilyun atau mendekati persentase 15%. Sementara belanja modal (untuk pengembangan infrastruktur dan sebagainya) hanya Rp.121,7 triliun atau hanya sebesar 10%.  Dana operasional PNS lebih besar daripada belanja modal. Ini jelas tidak sehat. Menkeu menyadari betul hal ini dan pernah mengatakan beban PNS sudah overload, dan menawarkan opsi pensiun dini. Hal ini agar belanja oeprasional PNS dapat ditekan dan dapat dialihkan ke belanja modal agar pembangunan infrastruktur jalan dan sebagainya dapat lebih banyak.

2. Analisa pendekatan anggaran Pemerintah Daerah: belanja operasional PNS umumnya menghabiskan 60% APBD. Sementara jumlah ideal adalah harus tidak lebih dari 40% APBD.

3. Analisa pendekatan jumlah PNS ideal: total jumlah PNS di akhir 2010 adalah 4.5 juta jiwa atau sebesar 2% dari total penduduk. Jumlah ini masih berada di angka wajar, karena idealnya adalah memang 2%. Permasalahannya bukan di situ, tetapi sebarannya tidak merata. PNS mayoritas berada di pulau Jawa, dan umumnya banyak yang meminta mutasi dari pulau-pulau yang “jauh dari peradaban” atau daerah terpencil ke k0ta-kota besar. PNS yang berada di daerah terpencil sebetulnya masih sangat kurang, tetapi entah kenapa mereka banyak yang memilih di kota-kota besar.

4. Analisa pendekatan budaya: di pedesaan, umumnya status PNS dapat menjadi kebanggaan tersendiri. Ada pandangan stereotif masyarakat desa, bahwa PNS adalah strata tertinggi dari masyarakat. Pokoknya setiap orang berlomba-lomba untuk jadi PNS, karena persepsinya kerjanya tidak terlalu susah, dapat pensiun hingga meninggal dunia. Ini akan terus menambah angka jumlah PNS di daerah. Jika tidak diatasi secara dini, maka dana APBD tidak akan lagi maksimal untuk mensejahterakan rakyat.

5. Analisa pendekatan fungsi: pegawai sipil di mana pun negara jelas harus ada, karena sebagai SDM untuk melayani masyarakat. Permasalahannya bukan di fungsi tapi karena di daerah jumlah PNS tidak berimbang, maka banyak PNS yang tidak melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat secara maksimal. Anda sudah tahu semua bagaimana gejala-gejala yang menunjuk kepada hal ini.

6. Analisa pendekatan politis: jelas PNS sering menjadi target tujuan politik, apalagi pada saat pemilu. Dengan mendekati corong PNS di pusat, maka otomatis akan menguasai suara 4,5 juta orang. Satu angka yang tidak bisa disepelekan.

7. Analisa pendekatan ekonomis: yang ini sudah sangat jelas, gaji PNS sangat diandalkan oleh keluarga untuk menghidupi isteri dan anak. Apalagi gaji PNS sekarang sudah tinggi (berada di atas UMR dan UMP). Secara ekonomis, PNS terhitung mapan. Karena selain gaji, juga mendapat tunjangan kesehatan, dana pensiun, dsb).

Di DPR sendiri masalah PNS dan non-PNS merupakan isu yang mengendap. Disebut mengendap karena tidak muncul di permukaan tetapi masalah itu nyata dirasakan. PNS agaknya cemburu kepada Tenaga Ahli (TA) seperti kami karena gaji TA umumnya 2x lipat gaji PNS. Tenaga ahli umumnya merasa geram juga diperlakukan seperti itu. Bahkan dari PNS Setjen DPR sempat terang-terangan bicara di media massa bahwa Tenaga Ahli tidak ada kerjaan. Itu sungguh satu penilaian yang over generalisir. Tenaga Ahli juga menilai yang sama, justru PNS yang lelet kerjanya. Semua masalah sangat birokratif sehingga mengurasi waktu kerja. Kalau masalah honor, Tenaga Ahli mendapat honor lebih besar karena pegawai fungsional keahlian, dan tidak mendapat tunjangan apapun. Semua sudah include di gaji. Tidak ada tunjangan kesehatan, tidak ada tunjangan jabatan, dan tunjangan-tunjangan lain seperti yang diperoleh PNS. Jika dihitung sebenarnya gajinya sama. Tetapi tetap saja kecemburuan itu ada. Saya pernah mengatakan, jika memang cemburu mari kita tukar tempat, PNS jadi tenaga ahli dan saya yang jadi PNS, tapi tidak mau juga mereka.

Kembali ke masalah PNS, dari pendekatan-pendekatan di atas, sebetulnya masih banyak lagi pendekatan yang dapat digunakan. Namun secara umum itulah tujuh hal yang terkait dengan masalah PNS ini. Pertanyaannya: lantas harus diapain PNS?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tidak bisa didekati dengan cara yang destruktif dan subyektif. Analoginya, jika ada tikus di rumah jangan sampai dibakar rumahnya, tetapi kejar tikusnya. Atau jika ada nyamuk jangan ditembak dengan meriam karena hasilnya akan percuma, nyamuknya tetap ada rumahnya akan hancur.

PNS harus tetap ada itu harus dipegang. PNS-PNS nakal ini yang harus diatasi. Caranya adalah dengan pendekatan sistem. Dulu sudah ada rencana untuk diterapkan sistem merit (merit system). Tapi sampai saat ini belum juga diterapkan. Padahal sistem ini merupakan solusi ampuh untuk mengatasi masalah-masalah PNS di atas. Sistem merit merupakan pembayaran imbalan (reward) yang dikaitkan dengan jasa atau prestasi kerja seseorang atau manfaat yang telah diberikan kepada organisasi. Artinya pembayaran gaji atau tunjangan diberikan berdasarkan kinerja.

Implikasi dari sistem merit ini seseorang yang memiliki kinerja yang baik, maka akan memperoleh imbalan yang lebih tinggi begitu pula sebaliknya. Artinya, semakin tinggi kinerja yang diraih PNS akan semakin tinggi pula kenaikan imbalannya. Hal ini bisa menjadi solusi, karena yang terjadi adalah tidak ada penilaian kinerja di antara PNS. PNS yang malas dengan PNS yang rajin sama-sama mendapat gaji yang sama (jika sama golongannya). Ini jelas melawan konsep keadilan, di mana keadilan merupakan salah satu pilar dari Pancasila. Wajar jika akhirnya ada penyakit menular, yaitu penyakit malas yang menular karena tidak ada perbedaan perlakuan.**[harja saputra, TAA-539)

 

Dimuat pula di Kompasiana: http://birokrasi.kompasiana.com/2011/07/06/semut-senayan-bicara-tentang-pns/

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments