Polhukam

Stempel Asli Tapi Palsu

Sumber: flickr.com/photos/untuksebuahcitacita

Pembuat stempel sering kita jumpai di pinggir-pinggir jalan. Umumnya mereka memiliki keterampilan tangan untuk mengukir di atas kayu, plastik, maupun media kaleng. Namun, pernahkah kita berpikir seputar pekerjaan mereka? Bukan bermaksud untuk memberangus pekerjaan tukang pembuat stempel, tetapi hanya berusaha berpikir kritis dikaitkan dengan fenomena maraknya surat-surat dengan stempel asli tapi palsu (aspal).

Ya, stempel aspal. Keaslian atau kepalsuan stempel bukan terletak dari materialnya, tetapi dari legalitasnya. Dari segi material, tidak ada perbedaan sama sekali antara stempel asli dengan yang palsu, kedua-duanya terbuat dari material yang persis sama. Kita tidak bisa membedakan mana stempel asli dan mana stempel palsu. Kita hanya bisa membedakan stempel itu asli dari legalitasnya, yaitu keterangan dari lembaga/organisasi/perusahaan yang mengeluarkan surat berstempel, artinya–meminjam istilah semantika dialektik–dari das sollen-nya. Yaitu benar adanya bahwa stempel itu dibubuhkan oleh lembaga tersebut. Karena secara kasat mata baik stempel asli maupun stempel palsu persis sama.

Stempel berfungsi sebagai instrumen yang digunakan oleh manusia untuk menunjukkan keaslian atau legalitas. Tradisi stempel sebagai alat legalitas pada surat sudah ada sejak abad 17 Masehi. Hal ini bisa ditelusuri dari surat-surat kerajaan Belanda. Bahkan, jika ditelusuri lagi, stempel sudah ada sejak zaman Kerajaan Mesir Kuno, meskipun bentuk dan material stempel yang digunakan berbeda dengan stempel saat ini.

Posisi stempel pada zaman Kerajaan Belanda menentukan status surat. Jika stempel dibubuhkan di atas kanan menunjukkan bahwa surat itu adalah surat dari raja ke raja atau dari raja ke seseorang; jika stempel tertera di bagian tengah teks menunjukkan surat itu dari menteri ke menteri atau menteri ke seseorang; jika stempel tertera di ujung sebelah kiri teks maka hal itu menunjukkan surat itu dari hamba ke hamba (sumber: Jurnal Wacana, 2007, Vol.9, No.1). Adapun posisi stempel dibubuhkan bersama dengan tanda tangan adalah model legalitas surat zaman modern.

Kasus yang marak terjadi dalam dunia surat-menyurat adalah banyaknya surat-surat dengan stempel dan kop surat yang aspal. Saya sering mengalami hal ini, dan mungkin juga para Kompasianer banyak mengalaminya. Pada awal bulan Juli 2011 ada surat yang ditujukan ke salah satu Sekolah Tinggi di wilayah Kab. Dompu, NTB. Lantas saya mendapat salinan surat itu agar ditelusuri keasliannya. Karena surat itu menginfokan bahwa sekolah tinggi tersebut mendapatkan bantuan dana hibah dari Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional (Dirjen Dikti Kemendiknas pusat). Suratnya lengkap ada kop surat, stempel dan tanda tangan dari pejabat yang berwenang. Saya telusuri, pejabat yang menandatangani betul, ada namanya. Untuk mengecek keasliannya tidak bisa dilihat dari stempelnya ternyata. Tadinya saya yakin itu surat asli karena plek nyaris sempurna. Tetapi setelah diselidiki ternyata palsu.

Stempel asli maupaun palsu mudah diperoleh, tinggal bikin di tukang pembuat stempel di pinggir-pinggir jalan. Pertanyaannya: perlukah pembuat stempel memiliki izin lisensi? Karena jika tidak, pemalsuan stempel akan terus marak terjadi. Ini sama dengan masalah plat nomor kendaraan. Plat nomor kendaraan yang bukan asli dari Kepolisian atau plat nomor modifikasi dilarang oleh UU Lalu Lintas. Dengan ancaman denda Rp.500 ribu atau kurungan badan selama dua bulan. Tetapi, pembuat plat nomor modifikasi (umumnya menyatu dengan pembuat stempel) makin marak.

Pemalsuan identitas legalitas juga sering terjadi pada “materai”. Kantor Pos mengeluarkan himbauan agar materai harus dibeli dari kantor pos, karena dijamin keasliannya. Materai palsu banyak juga beredar. Materai fungsinya sama dengan stempel, yaitu untuk legalitas. Materai lebih khusus untuk pengikatan dalam sebuah perjanjian atau surat yang memiliki kekuatan hukum bagi kedua belah pihak.

Namun, pemalsuan materai masih bisa dikendalikan, karena ada kantor pos sebagai penyedia materai asli. Adapun untuk stempel, tidak ada lembaga/kantor penyedia stempel asli. Jadi, surat-surat yang beredar di sekitar kita, sangat rawan dari pemalsuan. Ide untuk menyediakan lembaga/kantor penyedia stempel asli perlu dipertimbangkan. Hal ini untuk meredam peredaran stempel-stempel palsu. Meskipun demikian, walaupun ada lembaga penyedia stempel asli, memang tetap saja potensi untuk pemalsuan itu masih tinggi. Apa sih yang tidak bisa dipalsukan di negeri kita. Microsoft saja sampai kewalahan mengatasi pembajakan software yang canggih, apalagi hanya sekadar stempel. Tapi, ada kekuatan hukum atau setidaknya kita bisa menelusuri keaslian dari stempel dari lembaga penyedianya. Misalnya, dengan kode khusus, atau dengan prosedur baku harus menunjukkan legalitas dari kantor jika hendak membuat stempel, tidak secara bebas begitu saja.**[harja saputra]

Dimuat juga di Kompasiana: http://birokrasi.kompasiana.com/2011/08/09/perlukah-lisensi-bagi-pembuat-stempel/

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments