Categories: Polhukam

“Tawuran” Politik Dahlan Vs DPR

Ilustrasi: kompas.com

“Tawuran politik ” mungkin kata itu yang cocok untuk menggambarkan perseteruan antara Dahlan Iskan (DI) dengan DPR saat ini. Kenapa disebut tawuran? Karena DI tidak sendirian menyerang DPR, dibantu oleh kroninya, di antaranya yang paling vokal adalah Ismed Hasan Putro, Dirut RNI.

Kroni itu artinya “teman dekat”. Ismed jelas kroni DI, karena ia mantan wartawan Jawa Pos, asal yang sama dengan DI. Ismed lalu diangkat oleh DI menjadi Dirut RNI. Kongkalikong jabatan yang di awal-awal jabatan DI selalu didengung-dengungkan untuk diperangi ternyata dilakukan juga oleh DI. Ismed tak pernah jadi dirut di mana pun, hanya pernah jadi wartawan di jawa pos lalu di sebuah LSM lantas diangkat jadi Dirut RNI, BUMN Gula. Nobody is clean in politic.

DPR juga ramai-ramai menyerang DI, baik atas nama individu maupun atas nama komisi. Perang statemen dan saling tuduh membuat suhu politik di senayan dan di media makin panas. Untung saja para anggota dewan saat ini sedang reses, jika tidak, akan makin panas lagi.

“Tawuran” makin ramai ketika beredar 18 inisial nama anggota DPR yang dituduh sering melakukan pemalakan pada BUMN. “Pesan kaleng elektronik” yang tak jelas sumbernya menyebut dengan jelas fraksi dan inisial nama anggota DPR, yang tak pelak membuat berang para anggota dewan (untuk melihat 18 inisial nama yang disebut klik di sini dan di sini). Penyebutan inisial nama ini dianggap sama saja hendak mengadu domba. Disebut-sebut sumber SMS dan BBM itu berasal dari humas kementerian BUMN tetapi kemudian dibantah. Sebelumnya, DI hanya menyebutkan jumlahnya 10 orang bukan 18 orang.

Padahal, kalau memang DI dan Dirut RNI punya bukti-bukti yang valid mengenai para pemalak BUMN yang berasal dari anggota DPR hal ini mudah diselesaikan: libatkan para penegak hukum dan berikan semua bukti-bukti itu untuk diproses secara hukum. Selesai masalah. Atau, sebutkan saja nama-nama langsung tak usah pakai inisial-inisial. Biar nanti para penegak hukum yang memproses, karena masalah ini bukan delik aduan. Tapi, karena tidak jelas maka hal ini akan terus terkatung-katung. Atau, memang disengaja untuk terus di wilayah abu-abu untuk tujuan menaikkan popularitas? Who knows. Teori “frekuensi” dalam ilmu komunikasi masih berlaku: semakin lama suatu isu beredar di media maka akan semakin mendapat perhatian publik dan menaikkan citra seseorang atau golongan/organisasi yang diberitakan.

Ada banyak kejanggalan lainnya. Terutama statemen Ismed yang menyebutkan setiap BUMN jika Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR harus menyediakan uang sejumlah 1 Milyard lebih. Itu untuk dibagi-bagikan ke para anggota dewan, yang setiap orang berkisar 20-25 juta:

Pertama, BUMN itu jumlahnya 141 tetapi kenapa hanya dirut RNI saja yang bilang seperti itu, dan padahal Ismed selama menjadi dirut RNI belum pernah RDP dengan DPR. Ia memperoleh keterangan itu dari Sekretaris Perusahaannya. Siapa yang bisa menjamin bawahannya itu berbicara benar? Namanya bawahan akan berbuat atau bicara untuk kepentingan atasannya: big boss is always right.

Kedua, di komisi BUMN (dalam hal ini komisi VI) rapat dengar pendapat dalam sehari bisa 3 kali rapat. Saya termasuk yang rajin hadir untuk setiap RDP ini tak pernah melihat ada amplop beredar selama rapat-rapat itu. Dengan sangat yakin dan sudah dikonfirmasi ke tenaga ahli komisi dan juga ke para anggota dewan yang sering hadir rapat, mereka tak pernah menerima 20-25 juta setiap rapat.

Ketiga, RDP bukan hanya dilakukan dengan BUMN yang untung tetapi juga dengan BUMN-BUMN yang merugi, bahkan dengan BUMN-BUMN yang sudah mau gulung tikar. Jika 1 rapat harus menyediakan 1 Milyard dari mana mereka memperoleh uang sebanyak itu untuk satu kali rapat saja?

Menjaga agar BUMN tidak diperas oleh siapapun, termasuk oleh anggota dewan atau oleh pihak eksekutif dan pihak-pihak lain adalah suatu keharusan. Karena BUMN merupakan tonggak perekonomian bangsa. Namun jika isu-isu tentang BUMN digunakan untuk tujuan tertentu bahkan dengan menghasut sesuatu apalagi dengan berbohong ini sudah tidak sehat. Dalam kehidupan, “ingin naik dengan menginjak orang lain” tak bisa dibenarkan. Isu besar tapi dengan nuansa politis untuk mencapai atau melanggengkan kekuasaan dari manapun berasal harus ditentang. Obyektif adalah sebuah keharusan.**[harja saputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share