Riset

Lika-liku Pernikahan Beda Agama

Illustrasi: ikhwanmuslim.com

Banyak istilah untuk menyebut perkawinan beda agama, ada yang menggunakan istilah interfaith marriage, interreligion marriage, cross religion marriage, intercultural marriage, dan sebagainya. Meskipun judulnya adalah "Pernikahan Beda Agama", namun di sini akan digunakan istilah interfaith marriage (antar-iman) mengacu ke istilah yang digunakan oleh Shaffer (2010). Karena kalau menggunakan idiom “agama” lebih mengacu pada tatanan pelembagaan keyakinan yang lebih luas, menyangkut juga politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Sementara perkawinan lebih spesifik ke masalah pribadi, sehingga lebih cocok menggunakan istilah “iman”.

Banyak istilah untuk menyebut perkawinan beda agama, ada yang menggunakan istilah interfaith marriage, interreligion marriage, cross religion marriage, intercultural marriage, dan sebagainya. Meskipun judulnya adalah "Pernikahan Beda Agama", namun di sini akan digunakan istilah interfaith marriage (antar-iman) mengacu ke istilah yang digunakan oleh Shaffer (2010). Karena kalau menggunakan idiom “agama” lebih mengacu pada tatanan pelembagaan keyakinan yang lebih luas, menyangkut juga politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Sementara perkawinan lebih spesifik ke masalah pribadi, sehingga lebih cocok menggunakan istilah “iman”.

Perlu ditekankan terlebih dahulu, di sini tidak akan dibahas mengenai doktrin boleh atau tidaknya pernikahan beda agama dalam doktrin suatu agama tertentu, karena hal ini akan berbeda pandangan pada setiap orang tergantung paradigma yang dianut. Selain itu, jika sudah berbicara doktrin agama, umumnya setiap orang dalam berdiskusi membawa “benteng dan perisai kuat” bahkan tak jarang membawa “rudal” untuk menyerang pendapat orang lain secara arogan. Di sini, hanya akan dibahas mengenai fenomena pernikahan beda iman (agama) sebagai sebuah kenyataan yang banyak terjadi dan bagaimana mereka menjalaninya dari beberapa jurnal penelitian.

Dalam Perkawinan Antar-Iman (PAI) terdapat dua karaktetistik pasangan: balanced couple dan unbalanced couple:

Balanced couple adalah pasangan yang memiliki derajat akulturasi yang tinggi, yang menunjukkan upaya untuk lebih memahami perbedaan budaya dan keyakinan mereka dengan menempatkan lingkup yang lebih luas pada akulturasi sosial, nilai, kepentingan, dan tujuan. Mereka mengakui perbedaan yang dibingkai oleh budaya mereka tetapi berusaha mencari kesamaan dalam hal lainnya sehingga mencapai satu kesepakatan untuk menjalani pernikahan. Jadi, balanced couple akan lebih banyak kebebasan untuk bernegosiasi, mengintegrasikan atau tetap otonom dengan perbedaan budaya mereka dengan tetap akur.

Sementara itu, pada sisi lain, unbalanced couple adalah pasangan yang memiliki perbedaan pandangan keyakinan dan budaya dengan berusaha untuk memaksimalkan (overfocus) atau meminimalkan (underfocus) perbedaan-perbedaan ini tergantung pada keadaan pribadi dan sosial yang mempengaruhi pernikahan mereka, misalnya terlalu fokus pada faktor pengaruh dari orang tua atau faktor lain. Jika overfocus maka pengaruh dari orang tua tersebut akan menjadi pijakan teratas dalam memutuskan sehingga tidak jarang memutuskan hubungan karena faktor tersebut. Sedangkan jika underfocus maka berusaha untuk menghindari pengaruh dari orang tua secara terpaksa, sehingga jika kemudian menemukan ketidakcocokan maka akan mengingat kembali ke faktor tersebut dan menjadikannya sebagai alasan. Mereka tidak berangkat dari saling menyadari perbedaan di antara mereka, sehingga jika tekanan dari orang tua atau faktor lain menerpa pernikahan mereka, maka guncangannya akan lebih terasa.

Pasangan PAI jika ingin tetap bertahan maka dari awal harus menyadari adanya perbedaan di antara mereka dengan meminimalkan perbincangan mengenai perbedaan teologis dan fokus pada perilaku dan  ide-ide mereka untuk hal-hal yang memiliki kesamaan.

Banyak pasangan PAI menganggap perbedaan iman (agama) sebagai satu faktor yang memiliki dampak positif pada mereka. Bahkan, banyak penelitian menunjukkan, pernikahan antar iman dapat meningkatkan kepribadian mereka untuk saling menerima satu sama lain. Pada pasangan yang berbeda iman, dengan karakteristik balanced couple di atas, mereka lebih banyak belajar hal-hal baru di antaranya memutuskan untuk menerima sesuatu yang di luar keyakinan dirinya dibandingkan di keluarganya yang memiliki kesamaan keyakinan. Mereka bersama-sama merumuskan makna dan nilai-nilai baru untuk mempertahankan pernikahan mereka.

Dari penelitian-penelitian tentang perkawinan antara iman di mana pasangannya termasuk ke jenis balanced couple umumnya kebahagiaan atas perkawinan mereka meningkat dan tidak mudah berakhir dengan perceraian, karena sudah menikmati upaya untuk saling menerima perbedaan. Penerimaan atas perbedaan dan tenggang rasa adalah kepuasan yang tidak dapat diukur oleh apapun, kepuasannya berbeda jika semuanya memiliki kesamaan.**[harja saputra]

Disarikan dari penelitian:
Tammy J. Shaffer, Interfaith Marriage and Counseling Implications, dapat diakses di http://counselingoutfitters.com/vistas/vistas08/Shaffer_Article_10.pdf

Ni Duan and Glenda Claborne, Marital Interaction in Intercultural Marriage: An Application of Expectancy Violation Theory, University of Arizona, 2010.

————————–

Tulisan ini semula dimuat di Kompasiana.com.

Simak artikel lain:

Lika-liku Pernikahan Campuran

Lika-liku Pernikahan Antar Bangsa

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
5 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Hafid
Hafid
12 years ago

mas kalo boleh tahu…. negara mana aja ya… yang mengakui pernikahan interfaith marriage itu… ??? thx…

Saputra
12 years ago

@Hafid: saya belum meriset negara2 mana saja yang membolehkan secara pastinya.
Thx anyway atas kunjungannya.
Salam..

rudi
rudi
11 years ago

di indonesia mayoritas mengalahkan minoritas. 🙁

deni irawan
deni irawan
11 years ago

mas,numpang tanya..teori balanced couple dan unbalanced couple itu teori psikologi keluarga kah?menarik sekali bila bisa di share mengenai PAI dalam perspektif psikologi keluarga karena pernikahan merupakan awal untuk membentuk keluarga.kalo perspektif hukum (aturan perundang2an), cendrung politis dan subjektif..tulisan yang sangat menyegarkan..sayangnya pendek sekali mas..xixixxixix..salam kenal..

Saputra
11 years ago

@Mas Deni Irawan: Betul, tulisan ini dari aspek psikologi keluarga, tepatnya dari ilmu psikologi komunikasi. Dan, memang bukan dari aspek hukum atau agama.
Postingannya terlalu sdkt ya? Mudah2an bisa sy tambah di posting yang lain.
Terima kasih atas atensinya.
Salam
HS