OpiniPolhukam

Menyoal Rekrutmen Tenaga Ahli AKD DPR RI

Ilustrasi harjasaputra.com

Galau. Mungkin satu kata itu yang dapat mewakili bagaimana perasaan para Tenaga Ahli Alat Kelengkapan Dewan (TA AKD) saat ini. Gimana tidak galau, sejak tanggal 1 Oktober 2019 surat pemberhentian sudah ada, menunggu SK baru belum kunjung tiba, lalu datanglah si dia. Si dia yang sangat membingungkan, dia yang namanya “rekrutmen”.

Pihak Sekjen dan Badan Keahlian DPR RI mengeluarkan surat tertanggal 1 Oktober 2019 yang isinya ya si dia itu. Tujuh halaman yang judulnya Penerimaan Tenaga Ahli AKD. Di situ tertuang syarat-syarat lengkap untuk menjadi TA AKD, seperti pendidikan minimal S2, berusia tidak lebih dari 62 tahun, IPK minimal 3, memiliki kompetensi bahasa Inggris dengan nilai TOEFL minimal 500, dan syarat khusus lainnya.

OK, that’s fine. Memang seharusnya begitu kalau masalah ini sih. Untuk mencerminkan bahwa Tenaga Ahli harus ada keahliannya. Jangan seperti candaan yang selama ini sering terdengar: “Kenapa namanya tenaga ahli bukan staf ahli?” “Karena kalau tidak ada keahliannya, maka tenaganya yang dipakai”. Atau “ya tenaganya, ya keahliannya juga yang dipakai”.

Bukan tentang itu yang membingungkan. Namun, edaran rekrutmen TA AKD ini dinilai oleh para pakar hukum bertabrakan dengan Peraturan DPR itu sendiri. Lho, jangan salah, di setiap AKD itu banyak pakar hukumnya. Mereka S1 dan S2-nya di bidang hukum. Bahkan ada yang S2 nya dua di bidang hukum juga. Sudah terbukti sebagai tim teknis di banyak pembuatan RUU, mau diragukan apa coba.

Di mana bertabrakannya? Poin-poin berikut adalah hasil dari beberapa diskusi dengan para pakar hukum di lintas AKD.

Sebagai sesama orang bingung harus banyak ngobrol biar tidak stres. Ketika ada dua orang bingung berkumpul, maka yakinlah hasilnya malah makin bingung, bukan makin jelas..haha.

Pertama, sudah jelas tertuang dalam Pasal 55 Peraturan DPR RI Nomor 1 tahun 2019 bahwa:

(1) Tenaga ahli alat kelengkapan DPR yang telah bekerja 1 (satu) periode masa bakti DPR atau lebih, diangkat kembali menjadi tenaga ahli pada alat kelengkapan DPR yang sama berdasarkan rekomendasi pimpinan alat kelengkapan DPR pada akhir masa bakti DPR yang bersangkutan.

(2) Pimpinan alat kelengkapan DPR yang baru dapat mengevaluasi kinerja tenaga ahli alat kelengkapan DPR yang telah diangkat kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun atau lebih sejak diangkat.

Coba itu ditengok sebentar pasal itu, disebutkan “diangkat kembali” bukan “dapat diangkat kembali”. Ayat ini sangat logis, yaitu untuk mengakomodir di saat masa-masa transisi lalu dibutuhkan keahlian dari para tenaga ahli.

Namun, dengan adanya si dia itu, si rekrutmen itu, Pasal 55 ini menjadi tidak berlaku. Daging mentah bisa dimasak, tapi kalau peraturan menjadi mentah tak dapat dikunyahlah itu.

Para TA AKD yang sudah menjabat satu periode, bahkan banyak yang sudah mengabdi pada negara ini lebih dari itu, ada yang dua periode, tiga periode, masa harus disamakan dengan calon TA AKD baru. Dari dulu juga TA AKD ini sudah minimal S2, berbeda dengan TA Anggota.

Apalagi kalau menengok portal si dia itu, portal rekrutmen, lebih menyakitkan. Pelamar TA AKD jumlahnya fantastis mencapai 12.458. Orang semua itu? Ya oranglah. Sementara yang dibutuhkan hanya 175 orang yang akan ditempatkan di 17 alat kelengkapan DPR. Sila ditengok portalnya di Link Ini (tar disangka ngebual lagi..).

Kedua, coba ditengok juga Pasal 8 Peraturan DPR dan setelahnya yang mengatur mengenai mekanisme perekrutan , bahwa:

“Perekrutan Tenaga Ahli dilakukan oleh: (b) Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan untuk Tenaga Ahli AKD”

Itu berarti, yang melakukan rekrutmen TA AKD seharusnya pimpinan AKD, bukan Sekjen DPR. Sekjen tugasnya seperti tertulis di Pasal 10 sifatnya membantu secara administratif.

Mekanisme rincinya tertuang dalam Pasal 9 mengenai urutan dari pemberitahuan kepada AKD dan pengumuman di laman DPR. Tapi, permasalahannya, kan pimpinan AKD saat ini belum terbentuk. Jadi secara normatif, seharusnya belum bisa dilakukan rekrutmen untuk TA AKD yang baru.

Dari peraturan itu, urutan logisnya adalah sekjen memberitahukan kepada AKD mengenai rekrutmen TA AKD jika dibutuhkan. Jika pimpinan AKD merasakan perlu dilakukan rekrutmen, maka sekjen mengumumkan formasi yang dibutuhkan. Kalau pimpinan AKD merasa belum butuh rekrutmen, terus untuk siapa rekrutmen itu?

Bukan bermaksud semua TA AKD yang sudah menjabat tidak boleh diganti sama yang baru-baru. Silakan saja, tetapi itu wewenang dari Pimpinan AKD yang bersangkutan, bukan ditentukan oleh seleksi berkas oleh Sekjen.

Peraturan harus ditegakkan, ini negara hukum. Ketika di lembaga pembuat Undang-undang saja peraturan seakan abu-abu, apalah kata si entong, dan apalah kata dunia. Gara-gara si dia maka rusaklah susu sebelanga. Kalau susu sudak rusak repotlah itu..:) :).

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments