Polhukam

Menyoal Sumbangan untuk Capres

Ilustrasi: harjasaputra.com

Sangat menarik membaca tulisan mengenai pro-kontra capres membuka rekening sumbangan untuk kampanye politiknya. Salah satu tulisan yang memiliki landasan argumentasi yang cukup bagus adalah yang ditulis oleh Mbak Septin Puji Astuti (di link ini). Dalam tulisan itu disebutkan beberapa argumentasi yang intinya bahwa hal ini membawa nuansa baru, rakyat dilibatkan menyumbang sehingga capres tersebut berhutang pada rakyat dan dengannya diharapkan lebih pro pada rakyat jika terpilih.

Di FB-nya beliau saya pun berdiskusi masalah topik ini. Tulisan ini dimaksudkan agar diskusi yang terjadi di FB bisa lebih luas cakupannya. Tulisan ini juga bukan bermaksud antipati terhadap penulis dan gagasannya. Bagi saya, diskusi itu harus ada. Dialektika pemikiran itu biasa dan harus dipandang sebagai tukar-pikiran di abad demokrasi. Landasan demokrasi kita adalah sila keempat Pancasila, yang di antaranya mensyaratkan demokrasi dengan hikmat kebijaksanaan. Hikmat dan kebijaksanaan salah satunya bermakna bahwa demokrasi itu harus rasional.

Kedua pasangan Capres yang berlaga pada pilpres 2014 sama-sama membuka rekening khusus untuk keterlibatan rakyat dalam menyumbang.

Pertama, bolehkah penggalangan dana dari masyarakat untuk Capres?

Penggalangan dana kampanye dari sumbangan orang-per orang maupun perusahaan (di luar perusahaan BUMN, BUMD, dan sejenisnya) memang diperbolehkan. Hal itu sudah diatur secara lex spesialis dalam UU Nomor 42 tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Meskipun diperbolehkan, tapi sumbangan itu juga harus tetap memenuhi syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 99 ayat (2), yaitu bahwa:

“Laporan penerimaan dana Kampanye ke KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan nama atau identitas penyumbang, alamat, dan nomor telepon yang dapat dihubungi.”

Dari aturan itu jelas ‘Gerakan 1000 rupiah’ untuk dukungan Capres, jika dikumpulkan secara sukarela tanpa ada nama/identitas, alamat dan nomor telepon penyumbang tidak bisa dibenarkan.

Kedua, apakah betul bahwa sumbangan yang digalang oleh capres tujuannya adalah biar ada kesan adanya keterlibatan rakyat sehingga tujuannya lebih “pro-rakyat”? Ataukah hanya sebagai pencitraan saja?

Politik itu tidak bisa dipahami hanya mengandalkan apa yang tampak. Pisau analisanya harus berlapis. Karena politik itu seperti main bilyard atau kerambol. Menembak satu bola tujuannya memasukkan bola yang lain. Begitu juga saya pikir dengan penggalangan dana capres ini.

Konsep penggalangan dana dari masyarakat sebetulnya bagus tapi tidak realistis. Menyembunyikan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sekarang mari kita bertanya: Berapa biaya kampanye untuk capres sebenarnya? Ini pertanyaan dasar yang harus dijawab terlebih dahulu.

Biaya untuk iklan di TV saja, satu hari (yang diperbolehkan oleh UU Pilpres hanya 10 kali dengan durasi 30 detik) bisa mencapai 100 juta. Ini dengan asumsi biaya rata-rata sekali iklan 10 juta rupiah, belum termasuk iklan di prime time. Itu hanya di satu stasiun TV saja. Kalikan dengan berapa hari masa kampanye. Taruhlah 25 hari. Maka totalnya 2,5 Milyard. Kalikan lagi dengan jumlah stasiun televisi yang mengiklankan. Bisa mencapai 25 milyard. Itu baru TV lho. Belum lagi iklan di koran, iklan di radio, alat peraga outdoor, biaya tim sukses, konsultan, dan lain-lain. Angka biaya kampanye untuk tiap capres sangat besar, bisa mencapai trilyunan. Apalagi jika harus menghitung berapa rupiah yang harus disediakan untuk money politic terhadap 189 juta pemilih. Meskipun disanggah tidak mungkin ada money politic, itu too good to be true.

Biaya kampanye capres bisa mencapai trilyunan, lantas berapa sumbangan dari rakyat yang bisa diperoleh? Saya ragu bisa tembus 1 trilyun. Ujungnya apa? Tetap saja cukong berperan di situ. Maka, gerakan pengumpulan sumbangan dari rakyat itu sama saja “to hide devil behind angel”, biar terkesan pro rakyat padahal tetap saja pemodal yang berperan.

Hal ini adalah dampak yang tidak bisa dihindari dari sistem demokrasi kita. Demokrasi kita sangat liberal. Hanya condong pada kekuatan yang mempunyai modal banyak. Sama dengan Pileg 2014 yang baru saja lewat. Siapa saja yang punya modal banyak maka dialah yang jadi anggota dewan. Ini kenyataan di lapangan dan sudah menjadi rahasia umum.

Ketiga, jika patokannya adalah “uang rakyat”, sebetulnya sudah cukup dan bisa dilihat secara sederhana. Anggaran untuk Pilpres yang dianggarkan ke KPU itu besar. Untuk satu putaran Pilpres sudah disediakan dana 4 trilyun, dan jika dua putaran 7 trilyun. Dana Pilpres untuk KPU ini dari mana? Dari APBN. APBN itu uang siapa? Jelas uang rakyat. Termasuk debat capres yang diselenggarakan di televisi sepenuhnya dibiayai oleh APBN. Jadi, uang rakyat itu sudah cukup tersedot ke Pilpres ini.

Orang miskin masih banyak di Indonesia, anak yatim piatu juga masih banyak yang membutuhkan, daripada dipakai untuk menyumbang capres lebih baik sumbangkan untuk mereka. Itu lebih riil. Selain itu, apakah ada jaminan bahwa orang yang Anda sumbang kelak tidak akan korupsi? Menteri-menteri yang dipilih nanti tidak akan kena KPK? Jika kemudian berbalik kenyataannya, maka penyumbang juga dengan sendirinya berkontribusi dalam menciptakan para koruptor.**[harjasaputra]

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments