Polhukam

Tidak Ada (Lagi) Partai Islam?

Ilustrasi: harjasaputra.com

Saat ini sangat susah untuk membedakan: mana partai nasionalis dan mana partai Islam (religius). Hal tersebut dikemukakan oleh Saleh Daulay, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, dalam obrolan akrab dengan saya satu bulan ke belakang, di pertengahan Maret 2013 . Kebetulan saya mengenalnya sangat dekat, yaitu sebagai dosen saya (karena ternyata tak ada istilah “mantan dosen”) dan sebagai tokoh intelektual yang sangat terbuka.

Obrolan saya dengan Saleh Daulay waktu itu mengenai tulisannya di Republika pada tanggal 10 Maret 2013 dengan judul “Menyoal Keislaman Partai Islam“. Tulisan itu diperkuat oleh tulisan Mahfud MD di sebuah harian nasional dengan judul “Tidak ada (Lagi) Partai Islam”, di mana dalam tulisan tersebut Mahfud MD juga mengutip pernyataan Saleh Daulay yang dikemukakan pada sebuah pertemuan ormas-ormas Islam mengenai eksistensi partai Islam.

Dalam pandangan Saleh, partai Islam saat ini tak ada bedanya dengan partai-partai lain. Buktinya, kasus korupsi juga menerpa ke hampir semua partai, termasuk juga partai yang melabelkan dirinya sebagai “Partai Islam”. Label Islam tak mencerminkan perilaku dari para kadernya dengan perilaku yang Islami. Politik yang diterapkan oleh para kader parpol Islam nyaris sama, yaitu politik pragmatis dan transaksional.

Ia pun mempertanyakan parpol Islam dengan pertanyaan mendasar: bagaimana mengukur keislaman partai-partai Islam? Apakah keislaman itu sudah cukup dituliskan dalam asas partai? Mengapa partai Islam tidak cukup satu saja?

Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut sangat menukik dan penting untuk dijawab secara jernih. Alasan lainnya adalah parpol Islam terkesan hanya sebatas label dengan tujuan memperoleh simpati dari umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia. Meskipun jika ditanya kepada umat Islam, dan ini juga disampaikan oleh Daulay, umat Islam tidak merasa terwakili oleh parpol-parpol Islam tersebut.

Bukan hanya itu, label Islam pada parpol seakan ingin mengatakan bahwa parpol di luar dirinya adalah tidak Islami. Apakah benar demikian adanya? Sementara kader-kader di partai lain yang nasionalis pun banyak dari tokoh-tokoh Islam.

Hal ini menunjukkan apa yang diperjuangkan oleh parpol Islam nyaris kabur dan susah untuk dimaknai. Jika disebut sebagai partai dakwah, sebagaimana diusung oleh PKS, apanya yang didakwahkan? Kepada siapa mendakwahkan? Dakwah itu artinya mengajak. Artinya dirinya sendiri yang benar dahulu lalu mengajak orang lain untuk mengikuti yang benar.

Label partai dakwah ini maknanya sangat ambigu. Dalam arti lain, seolah-olah ingin mengatakan bahwa dirinyalah yang pasti benar, dan orang lain salah, sehingga orang lain harus ikut apa yang disampaikannya. Dirinya mengajak dan orang lain yang diajak. Dirinya yang sudah mendapat hidayah dan orang lain masih tersesat.

Kasus Muhammadiyah melakukan judicial review undang-undang migas adalah bukti bahwa undang-undang yang dihasilkan atas dasar konsensus antara parpol-parpol yang ada di parlemen bersama dengan pemerintah, termasuk di dalamnya suara dari parpol Islam, dianggap tidak mewakili kepentingan suara umat Islam dan kepentingan rakyat Indonesia secara umum. Dan lahirlah keputusan MK yang mengabulkan permohonan pemohon. Ini bukti lain kegagalan parpol Islam dalam mewakili kepentingan umatnya.

Apalagi fenomena di parpol PKB saat ini yang diklaim sebagai partainya NU, di mana sangat banyak artis yang dijadikan sebagai caleg untuk 2014, kembali mempertanyakan: apakah mereka benar-benar sebagai wakil rakyat NU atau wakil siapa?

Keberhasilan utama para parpol Islam yang (apakah) patut dibanggakan adalah dalam menggolkan UU Pornografi. Meskipun UU ini kontroversial tapi bisa selamat hingga disahkan. Tapi mengenai nasib para TKI yang mayoritas dari umat Islam di negara luar yang juga notabene di negara Muslim namun seringkali mendapat perlakuan tidak adil, masih belum berdaya memperjuangkan. Mungkin saja nanti dijawab, telah diperjuangkan, iya baru akan dibuatkan undang-undangnya. Baru akan. Belum lagi masalah-masalah lain mengenai penyelenggaran ibadah haji yang selalu acak-acakan, bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi bancakan parpol Islam. Deretan panjang permasalahan yang menyangkut kepentingan umat Islam saja nyaris belum optimal diperjuangkan. Apalagi jika dikaitkan dengan permasalahan lain yang lebih luas.

Silahkan saja partai Islam berkembang karena tidak ada yang melarang, tapi sejalan dengan waktu nanti rakyat akan menyadari, bahkan sekarang pun fenomenanya telah mengarah ke sana, bahwa label partai bukan segalanya, yang terpenting adalah kiprah.**[harjasaputra]

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments