Riset

Pengaruh Pola Pendidikan di Akpol (Bagian ke-3)

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menutup pendidikan taruna Akademi Kepolisian angkatan ke-53 (foto: republika)

Penulis: Budi Santoso

(Doktor pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya)

Model alternatif dari pola pendidikan di Akpol tersebut diatas bahwa pengasuhan harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran dan pelatihan, sehingga model pola pendidikan di Akpol existing dimodifikasi menjadi model pola Pendidikan Akpol Kolaboratif (Collaborative Education Method in Indonesian Police Academy) seperti terlihat pada gambar berikut :

Rekomendasi Model Pola Pendidikan di Akpol

Merujuk dari hasil penelitian ini, jika aspek pengasuhan ini jika dikolaborasikan dengan aspek pembelajaran dan pelatihan secara maksimal seperti usulan penulis, maka ketiga variabel pola pendidikan di Akpol tersebut walau masing-masing bagian merupakan kurikulum dan cakupan yang berbeda, tetapi dalam pelaksanaannya harus beriringan, tidak terpisahkan dan saling memiliki keterkaitan satu sama lain, yang saling memberikan dukungan agar memberi dampak signifikan dan komprehensif pada masing-masing aspek pola pendidikan di Akpol.

Pengasuhan harus bersifat melekat dalam setiap aktivitas taruna, baik pada proses pembelajaran maupun pada aktivitas pelatihan. Pengasuhan pada proses pembelajaran dapat dilakukan dengan membentuk kelompok diskusi yang terdiri dari beberapa orang junior yang dibimbing langsung oleh taruna senior, untuk mendiskusikan atau mengerjakan tugas dari kegiatan pembelajaran.

Rekomendasi Pola Pendidikan Akpol Kolaboratif (penggabungan model pengasuhan pada Pembelajaran dan Pelatihan) di atas dilakukan dengan menciptakan ekosistem pola pendidikan di Akpol yang lebih positif, di antaranya: bahan ajar lebih berkualitas, peningkatan teknologi, perbaikan sarpras, pemutakhiran kurikulum, pengembangan SDM.

Diperlukan pelibatan berbagai pihak baik internal Polri maupun pihak eksternal sebagai fungsi kontrol terhadap aktivitas pendidikan di Akpol yang terangkum dalam sistem Multiple Helix, seperti unsur masyarakat di antaranya lembaga keagamaan, tokoh agama dan tokoh masyarakat, akademisi, komunitas pemerhati kepolisian, serta media.

Hal ini diharapkan akan memiliki pengaruh lebih signifikan terhadap pembentukan gaya kepemimpinan perwira Polri yang lebih berintegritas, peduli, kemampuan komunikasi, etika, kemampuan berdiskusi, tanggung jawab, tepat dalam pengambilan keputusan, adil, kompeten, inovatif, dan mampu mendelegasikan tugas.

Dari adanya peningkatan kualitas gaya kepemimpinan, pola pendidikan kolaboratif juga diharapkan memberikan pengaruh terhadap pembentukan karakter polisi prediktif, yaitu perwira polisi yang memiliki karakter: mampu memprediksi pelaku kejahatan, korban, lokasi, dan tindakan pencegahan.

Hal ini berguna agar para perwira polisi sebagai lulusan Akpol dalam melaksanakan tugasnya cakap dalam memprediksi gangguan keamanan, sehingga kejadian kesalahan prosedur seperti yang terjadi pada penanganan kerusuhan suporter Aremania di stadion Kanjuruhan yang menimbulkan banyak korban, tidak terjadi lagi. Hal ini terjadi akibat pemimpin yang tidak prediktif dalam mengantisipasi kemungkinan gangguan dan ancaman keamanan dan ketertiban. Penanganan situasi konflik menjadi tumpul dan amburadul, pemberian izin keramaian yang sembrono menjadi awal tragedi itu.

Pelibatan pihak eksternal sangat penting misalnya di lembaga keagamaan, untuk meningkatkan pondasi spiritual taruna Akpol sebagai bekal untuk menjadi perwira polisi dalam mengemban tugasnya. Program tersebut bisa dalam bentuk mengundang tokoh kharismatik dari berbagai agama yang ada di seluruh Indonesia untuk memberikan kuliah pendidikan keagamaan dan toleransi, sehingga para taruna mendapatkan ajaran dan tuntunan moral dari para tokoh tersebut. 

Kecerdasan spiritual diperlukan sebagai perisai moral yang menuntut para perwira polisi untuk selalu mendasarkan berbagai keputusan dan tindakannya untuk tetap sejalan dengan norma-norma agama yang diyakininya dan juga menghargai pemeluk agama lainnya. Sehingga tidak lagi terjadi penyalahgunaan, penyimpangan moral, gaya hidup hedonisme, pelanggaran etika, serta dapat bertoleransi dengan masyarakat yang berbeda agama.

Nilai spiritual dalam ajaran agama dijadikan sebagai pedoman hidup, sehingga para perwira polisi selain taat dalam menjalankan agamanya juga akan berimplikasi dalam membuat keputusan diskresi yang lebih bijaksana. Pihak akademis dan praktisi dari berbagai disiplin ilmu perlu dilibatkan untuk memberikan bekal kepada para taruna akpol, untuk menambah pengetahuan dan kecerdasan emosional.

Pengetahuan yang bersifat kognitif perlu ditunjang, kecerdasan emosional yang kuat, sehingga tidak hanya bersifat teoritis, melainkan dapat diimplementasikan dalam berbagai perbuatan dan keputusan yang diambil oleh para perwira polisi dengan basis kecerdasan emosional yang baik.

Begitu pun halnya dengan pelibatan pihak eksternal lain seperti komunitas pemerhati kepolisian dan media diperlukan untuk upaya kontrol terhadap aktivitas pendidikan di Akpol dari unsur masyarakat. Implementasi lainnya yang dapat ditempuh adalah agar para taruna, baik di lingkungan tempat tinggalnya, tempat cuti, tempat magang, tempat pendidikan dan pelatihan, wajib memiliki orang tua asuh (angkat) dari berbagai kalangan, khususnya tokoh agama, tokoh adat, berada di lingkungan dan masyarakat yang memiliki kepemimpinan positif, sehingga mampu menjadi pengasuh dari kalangan eksternal Polri.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian ini merekomendasikan teori baru dalam pola pendidikan, khususnya di Akpol dan untuk pendidikan vokasi, bahwa:

Pola pendidikan yang tidak mengintegrasikan pengasuhan ke dalam aspek pembelajaran dan pelatihannya maka akan kurang optimal, khususnya dalam mengasah gaya kepemimpinan dan pembentukan karakter polisi yang prediktif. Pembelajaran yang dilakukan di ruang kelas tidak akan memiliki dampak terhadap aspek afektif dan psikomotorik, hanya berpengaruh pada pengembangan kognitif semata.

Di dalam pendidikan Akpol masih belum memiliki program kurikulum khusus predictive policing, belum adanya fasilitas pendukung berupa laboratorium pencegahan kejahatan. Jika itu bisa diwujudkan, hal ini sesuai dengan program kepolisian prediktif yang dicanangkan Kapolri.

Predictive Policing khususnya dalam penggunaan data historis untuk membuat ramalan spasiotemporal area kriminalitas atau hot spot kejahatan yang akan menjadi dasar keputusan alokasi sumber daya polisi dengan harapan adanya petugas di tempat dan waktu yang diusulkan akan menghalangi atau mendeteksi aktivitas kriminal (Ratcliffe 2014:4).

Dari berbagai gaya dan karakter kepemimpinan dari beberapa paradigma administrasi publik, dan temuan pada riset ini, didapatkan sebuah model hibrida kepemimpinan (Hybrid Leadership) di kepolisian Indonesia.

Berdasarkan paradigma OPA implementasinya dalam organisasi bersifat hierarkhis, rutin dan monoton. Paradigma NPM, administrasi publik berorientasi kinerja, efisiensi, dan berorientasi pada output. Berbeda dengan paradigma NPS, di mana administrasi publik bersifat responsif, akuntabel, demokratis, menghargai warga negara, dan partisipatif (Ahmad, 2012).

Implikasi dari paradigma tersebut, dikaitkan dengan kepemimpinan di lembaga kepolisian, maka sosok birokrat yang dihasilkan juga berbeda, baik cara kerja, metode maupun kepemimpinannya. Sehingga Kepemimpinan lembaga kepolisian dengan paradigma OPA perlu pemimpin yang disiplin; Kepemimpinan lembaga kepolisian dengan paradigma NPM butuh sosok pemimpin yang berorientasi pada kinerja dan inovatif; sedangkan Kepemimpinan lembaga kepolisian dengan paradigma NPS ingin sosok pemimpin yang responsif, prediktif, humanis, visioner, dan kolaboratif; sesuai pendapat dari Cole dan Parston (2006).

Dari beberapa paradigma administrasi publik tersebut dan hasil penelitian ini, diramu dan dirumuskan dalam cetak biru (Blue Print) melalui proses hibrida atau persilangan. Sehingga model tersebut menjadi dasar program pendidikan Kepemimpinan di Akpol. Tujuannya agar menghasilkan bibit-bibit unggul Kepemimpinan Polri di masa depan.

Gambar Diamond Hybrid Public Administration (HPA)

Model diamond HPA tersebut menjadi sebuah doktrin dasar dalam pengembangan dan pembentukan sumber daya manusia (Human Resources), sehingga dapat melahirkan para perwira kepolisian yang memiliki gaya dan karakter kepemimpinan berkemampuan birokrasi yang unggul (Bureaucratic Minded), memiliki kapasitas akademik yang mumpuni (Totally Academic) dan bisa bertransformasi sebagai pekerja lapangan yang cerdas / jenius (Smart Fieldman), prediktif dan taktis dalam menjalankan tugas kepolisian.

Mampu dan cepat menyesuaikan dalam segala situasi dan kondisi apapun, tahan dan mampu mencari jalan keluar dari segala serangan nyata yang tidak berpihak pada keamanan dan ketertiban masyarakat. Bisa menjadi penggerak dan sebagai perekat dari seluruh unsur masyarakat untuk mencari penyelesaian masalah (Problem Solving) yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat.

Dengan kemampuan unggul tersebut, para perwira lulusan Akpol menjadi role model dari hibrida administrasi publik atau Hybrid Public Administration (HPA) di Indonesia.

Seorang pemimpin dengan gaya dan karakter kepemimpinan komando yang prediktif dan taktis (Predictive And Tactical Command Leadership). Tercermin dari cara pengambilan keputusan yang cepat dan taktis (Tactical Decision Making), pemimpin tersebut akan melakukan pemilihan dari berbagai alternatif melalui insting / nalurinya yang tajam.

Jika menerima pesanan khusus dengan intervensi kuat tetapi tidak menguntungkan untuk masyarakat (keamanan) berdasarkan prediksi yang didapat, ternyata memiliki ancaman yang nyata, maka harus berani mengambil resiko terjelek sekalipun.

Beberapa keputusan taktis yang diambil cenderung bersifat jangka pendek seringkali mengandung konsekuensi jangka panjang, itu harus jadi pertimbangan yang matang. Keputusan taktis yang dilakukan ini merupakan sebagian kecil dari keseluruhan strategi seorang pemimpin dalam meraih keberhasilan dalam tugas.

Misalnya dalam kasus tragedi Kanjuruhan, Kapolda atau Kapolres berperan dalam pengusulan pemindahan pertandingan Persebaya dengan Arema di luar dari kota Malang atau di luar Jawa Timur bahkan harus berani menyampaikan pelaksanaannya di luar pulau jawa, untuk menghindari jatuhnya korban sekecil apapun, walau resikonya banyak yang memusuhi bahkan di copot jabatan sekalipun, seorang pemimpin harus punya keberanian.

Dari pendapat para ahli tersebut dengan contoh tragedi Kanjuruhan, berikut penggambaran kerangka kepemimpinan komando dalam pengambilan keputusan taktis operasi kepolisian, yang fleksibel menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk kepentingan masyarakat, menjadi sebuah Model Camber Adaptif (Adaptive Chamber) yaitu:

Tactical Decision Making Framework (Command Leadership)

Seorang pemimpin harus mampu mengambil keputusan strategis (Strategic Decision Making), dalam memilih dan menentukan strategi alternatif terbaik harus melalui tahapan-tahapan khusus yang rumit dan kadang sangat pelik terkait situasi kondisi yang dihadapi.

Pengambilan keputusan taktis dan strategis mendukung tugas utama kepolisian dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Proses pengambilan keputusan taktis dan strategis yang tepat biasanya melalui pentahapan berdasarkan penilaian-penilaian khusus dari berbagai macam intelijen dasar terdiri dari data, fakta dan kebiasaan-kebiasaan objek yang dimaksud, sehingga melahirkan prediksi atau ramalan akurat (Accurate Forecasting).

Memiliki tujuan besar jangka panjang yang lebih luas dampaknya. Kualitas keputusan taktis dan strategis yang diambil seorang pemimpin dapat ditakar dengan 12 (dua belas) indikator yang ditetapkan Schafer (2010) meliputi kejujuran dan integritas; peduli kebutuhan bawahan; komunikatif; etos kerja tinggi; diskusi terbuka; bertanggung jawab; penilaian berimbang; kompeten; fleksibel dan inovatif; pengetahuan mumpuni; handal dalam pendelegasian; mampu memutuskan secara tepat (Making Sound Decisions).

Dari indikator tersebut dan Model Camber Adaptif, makapendekatan secara umum dan khusus dalam operasi kepolisian dilaksanakan melalui tahapan Identification, Planning, Calculation, Execution, Collaboration (IPCEC) yaitu :

  1. Identifikasi Operasi (Operation Identification), dengan mengidentifikasi semua masalah yang akan dihadapi dalam operasi kepolisian, berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, segera tetapkan kriteria keputusan yang bisa diterima dengan logika.
  2. Perencanaan Operasi (Operation Planning), mempersiapkan perencanaan operasi dengan matang yang dinilai layak atas permasalahan yang dihadapi; pendelegasian tugas, eliminasi alternatif yang tidak layak (diskresi), tetapi dapat dipertanggung jawabkan.
  3. Perhitungan Dampak Operasi (Operating Impact Calculation) yaitu dengan memperhitungkan dengan matang dampak baik buruknya pelaksanaan operasi kepolisian terkait sumber daya berimbang dengan potensi masalah, yang digunakan dalam operasi kepolisian. Serap semua informasi dan buka akses informasi dari luar, perhitungkan pula dukungan semua pihak yang tersedia, nilai resiko kerugian yang ditanggung masyarakat terdampak, berdasarkan perhitungan faktor-faktor kuantitatif dan kualitatif jika kegiatan itu terpaksa harus dilakukan.
  4. Pelaksanaan Operasi (Operation Execution), ini adalah tahapan paling penting dan krusial, pelaksanaannya sudah melalui beberapa tahapan berupa peningkatan pemahaman kepada pemangku kepentingan, unsur-unsur yang dilibatkan; mengintegrasikan seluruh sumber daya yang dimiliki; mengevaluasi semua tahapan persiapan yang sudah dilakukan; menilai setiap hal yang sudah dilakukan dan memutuskan arah kebijakan. Melaksanakan pemantauan, pengawasan, menganalisis dan mengevaluasi kembali keputusan awal (Re-Evaluate Decision) jika dinilai ada yang perlu diperbaiki sebagai sebuah solusi alternative terbaik.
  5. Kolaborasi Operasi (Operation Collaboration) dengan melibatkan semua pihak terkait (Multiple Helix) meliputi : Objek yang berkepentingan, unsur pemerintah terkait, unsur akademisi terkait sebagai ahli, komunitas / masyarakat terkait yang mendukung, pemangku kepentingan dan relasi lainnya, dalam hal penebalan kekuatan pemolisian masyarakat yang solid dan berpihak terkait operasi kepolisian tersebut. Perlu  manajemen media untuk memberikan informasi yang cepat, akurat, valid dan dapat dipertanggung jawabkan, tentang proses dan hasil operasi kepolisian itu.

Langkah penggunaan kepemimpinan komando muncul biasanya jika menghadapi situasi yang pelik dan tidak menentu, sehingga penggunaan diskresi lebih banyak dan terkesan otoriter (ada pengambilan paksa wewenang kepemimpinan dibawahnya, tetapi tetap menghormati bawahannya).

Ini harus ditaati bersama dengan keyakinan bawahan bahwa pemimpin yang mengambil alih komando, hasil pengambilan keputusannya pasti keputusan yang terbaik (mengingat catatan Track Record dan pengalaman yang baik dari pemimpin tersebut), bila diikuti dan dilaksanakan dengan baik pasti berhasil.

Polri bertumpu pada kemampuan anggotanya, khusus perwira kepolisian harus memiliki kualitas unggul dengan gaya kepemimpinan dan karakter yang prediktif menjadi sebuah harapan sebagai “Super Hero” bagi masyarakat untuk memberikan pelayanan kepolisian maksimal, khususnya dari ancaman kejahatan. Polri dengan sumber dayanya harus mampu mewujudkan kewajiban mulia tersebut.*

Daftar Pustaka

Ahmad, Jamaluddin. 2012. “Perjalanan Old Public Administration (OPA), New Public Management (NPM), New Public Service (NPS) Menuju Manajemen Publik Kelas Dunia”, Jurnal Praja, Vol.I.

Brand dan Peak dalam Minor, Kevin I. Test Validity in Justice and Safety Training Contexts: A Study of Criterion-referenced Assessment in a Police Academy, NY: Sage Publication.

Cohen, B. and Chaiken, J.M. 1972. Police Background Characteristics and Performance, New York: Rand Institute.

Cole, Martin and Parston, Greg. 2006. Unlocking Public Value: a new model for achieving high performance in public service organizations. New Jersey: John Wiley and Sons.

Grondel, Darrin T. 2016. “An Investigation of the Relationship Between Leadership Styles and Dark Leadership Behavior in Law Enforcement Executives”, Dissertation in Brandman University Irvine, California.

Guller, I. B. 1972. “Higher education and policemen: Attitudinal differences between freshman and senior police college students”. Journal of Criminal Law, Criminology and Police Science, Vol. 63, No.3.

Herbst, Tessie. 2014. The dark side of leadership: A psycho-spiritual approach towards the understanding of personality dysfunctions, derailment and the restoration of personality. UK: Authorhouse.

Hidayat, F. 2015. ”Peran Keluarga Asuh Taruna Akademi Kepolisian Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Pengasuhan Melalui Optimalisasi Peran Kakak Asuh Taruna”. Jurnal Tanggon Kosala, Vol.1, No.2.

Jones, Chris. 2014. “Predictive policing: mapping the future of policing?”, Open Democracy Magazine, Jun 10.

Marion, Nancy. 1998. “Police academy training: are we teaching recruits what they need to know?”, Policing: An International Journal of Police Strategies and Management, Vol. 21 No. 1.

Mitchell, Margaret and Casey, John, et.al. 2007. Police Leadership and Management. Australia: The Federation Press.

Ratcliffe dan Rengert dalam Ratcliffe, 2014. “The Predictive Policing Challenges of Near Repeat Armed Street Robberies”, Policing Advance Access, Vol.2

Roberg, Roy and Bonn, Scott. 2004. “Higher education and policing: where are we now?”, Policing: An International Journal of Police Strategies and Management, Vol. 27 No. 4.

Schafer, Joseph A. 2009. “Developing effective leadership in policing: perils, pitfalls, and paths forward”, Policing: An International Journal of Police Strategies and Management, Vol. 32 No. 2.

Smith, et.al. 1968.“Victimization, Types of Citizen-Police Contacts, and Attitudes toward the Police”, Law and Society Review, Vol. 8, No. 1.

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments