Riset

Pengaruh Pola Pendidikan di Akpol (Bagian ke-2)

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menutup pendidikan taruna Akademi Kepolisian angkatan ke-53 (foto: republika)

Penulis: Budi Santoso

(Doktor pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya)

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian melalui pendekatan kuantitatif, variabel Pelatihan dan Pengasuhan memiliki respon kategori ”Sangat Baik”. Terbukti secara empiris merupakan faktor signifikan yang mempengaruhi variabel Gaya Kepemimpinan perwira polisi dan terhadap variabel Pembentukan Karakter Polisi prediktif secara langsung dan tidak langsung.

Aspek pelatihan dan pengasuhan merupakan faktor dominan, membentuk gaya kepemimpinan dan karakter polisi yang prediktif. Variabel pembelajaran tidak memiliki pengaruh langsung terhadap variabel gaya kepemimpinan dan pembentukan karakter polisi yang prediktif.

Mengapa pengasuhan menjadi variabel sangat dominan yang mempengaruhi gaya kepemimpinan para perwira polisi?

Berdasarkan hasil pengamatan partisipatif, di mana penulis juga merupakan perwira alumni Akpol, sehingga bisa mengetahui dan mengukur akurasi informasi yang didapat dari penelitian. Pengasuhan di Akpol mengedepankan pembinaan sesuai dengan peraturan Kalemdiklat Polri dan pedoman pengasuhan Akpol.

Para pengasuh merupakan para perwira senior yang memiliki prestasi dan pengalaman yang baik, tetapi dalam pelaksanaan dilakukan dengan sistem pemaksaan dan punishment yang kuat sebagai warisan turun temurun pendidikan AKABRI yang bercirikan paradigma disiplin OPA, cenderung ala militeristik / komando.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan pada pelaksanaan kegiatan pengasuhan yang diterapkan di Akpol, terfokus pada kegiatan yang dilakukan diluar kegiatan pembelajaran dan pelatihan. Kegiatan tersebut meliputi 7 (tujuh) aspek  pada bidang pengasuhan yakni : Mental; Spiritual; Ideologi; Kebhayangkaraan; Profesionalisme; Kepemimpinan; Penampilan Perorangan; Kehidupan Sosial Budaya; Emosional dan Intelegensia.

Melalui teknik pengasuhan yang dilakukan baik melalui media, pemberian bimbingan dan konsultasi, ataupun teknik pengawasan dan pengendalian, implementasi pengasuhan dirasakan hasilnya sesuai dengan hasil penelitian ini yaitu dominannya pengaruh langsung dari variabel pengasuhan dari pada variabel pelatihan dan pembelajaran. Sepertinya ada masalah dalam pelaksanaan pelatihan dan pembelajaran yang dilakukan Akpol.

Selain itu, ada hal-hal yang menjadi budaya kurang baik di balik pengasuhan ini, yaitu dalam setiap adanya pelanggaran yang dilakukan oleh para taruna, maka para pengasuh akan memberikan hukuman berupa tindakan fisik, yang mungkin menjadi tidak wajar yaitu dilakukan dengan durasi yang lama dan menguras tenaga para taruna.

Parahnya lagi jika ada dari oknum pengasuh yang memiliki karakter temperamen dan emosional yang tidak stabil, ini akan berakibat pelampiasan emosinya diarahkan kepada para taruna dalam bentuk kekerasan fisik, bisa berupa pukulan tangan kosong maupun memakai alat.

Fatalnya apa yang dilakukan para senior ini ditiru oleh para taruna dan dipraktekkan untuk menghukum juniornya yang menurut mereka memiliki kesalahan, baik yang menjadi Pokokorps junior maupun taruna senior. Yang menjadi objek yaitu para taruna junior, dan ini akan berlanjut menjadi budaya turun temurun yang tidak akan putus, dari taruna senior kepada taruna juniornya yang masuk pendidikan, bahkan dibawa sampai para taruna ini menjadi perwira di kesatuan mereka berdinas.

Kasus pembunuhan berencana Brigadir J yang menghebohkan publik. Dari hasil penyelidikan tim khusus yang dirilis kapolri, membuat publik tercengang, diduga kuat pelakunya adalah atasannya sendiri yaitu  Irjen Pol FS, yang dibantu oleh beberapa stafnya.

Kasus tersebut menyeret beberapa perwira kepolisian yang diduga melakukan Obstruction of Justice, merusak barang bukti, memakai jabatan dan kewenangannya. Karakter dark leadership ini berdampak negatif kepada kebijakan seorang pemimpin dan institusi kepolisian secara umum. Sehingga faktor moral dan teladan kepemimpinan ini harus benar-benar menjadi perhatian khusus dalam Pendidikan di Akpol, khususnya dalam penerapan pengasuhan.

Dari beberapa contoh kasus di atas, ada dugaan kuat bahwa budaya kekerasan di Akpol memiliki pengaruh besar terhadap karakter dan pola pikir alumninya. Dampaknya para alumni Akpol yang notabene adalah perwira Polri disaat melaksanakan tugas dipastikan banyak yang menonjolkan kekerasan, arogansi dan pola otoriter, sehingga kebijakan dan pelaksanaan tugasnya akan cenderung bertentangan dan melanggar hukum.

Selain itu tindakan-tindakan yang tidak profesional tersebut diduga akibat pembentukan karakter yang terbentuk dari sebuah akumulasi pengalaman yang tidak baik dan dialami secara turun temurun oleh para taruna mulai dari pada proses pendidikan di Akpol sampai bertugas di kesatuan Polri.

Faktor lain yang membuat lemahnya variabel pembelajaran yaitu, pada saat para taruna menjalankan pendidikan, dikarenakan adanya hukuman fisik maupun budaya menghadap senior sampai larut malam, mengakibatkan para taruna ini mengantuk pada saat di dalam kelas.

Fenomena mengantuk ini hampir rata-rata para taruna alami. Jika dosen yang mengajar tidak memiliki kepedulian untuk menegur taruna, apalagi tidak memiliki teknik komunikasi pembelajaran yang membuat tertarik para taruna untuk mengikuti perkuliahan, maka dampaknya adalah materi yang disampaikan tidak akan diserap dengan baik oleh para taruna.

Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang dan belum ada upaya perbaikan agar fenomena taruna tidur di kelas, taruna yang selalu berobat ke rumah sakit padahal mereka baik-baik saja, taruna yang selalu piket pada perkuliahan dan program pelatihan tertentu, yang mungkin saja karena dosen atau pelatihnya galak / tidak disukai oleh taruna, mungkin saja pengasuhnya atau senior tarunanya yang piket dikenal sering memberikan tindakan fisik yang membuat jera para taruna.

Jika budaya ini dibiarkan, maka bisa dibayangkan bagaimana kualitas dari lulusan perwira Akpol ini, yang mana mereka kelak akan memegang estafet kepemimpinan di Polri yang memiliki kewenangan dalam kepolisian yang sangat besar dan kuat baik bidang penegakan hukum yang menyangkut kebijakan-kebijakan dalam menerapkan hukum di tengah masyarakat.

Menjadi tidak heran jika perwira yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas ini memimpin organisasi Polri, akan banyak pelanggaran, penyelewengan dan tindakan-tindakan yang tidak sesuai visi dan misi Polri.

Dari hasil penelitian ini sejalan dengan teori Roberg dan Bonn (2015) yang menyatakan bahwa polisi yang mengikuti pelatihan tidak hanya lebih sadar akan masalah sosial dan budaya atau komunitas mereka, selain itu memiliki penerimaan lebih besar terhadap minoritas, lebih profesional sikap mereka, dan etis dalam perilaku mereka.

Namun, pada aspek pembelajaran, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Roberg dan Bonn (2015) yang mengatakan bahwa petugas polisi yang berpendidikan tinggi dianggap lebih memahami perilaku manusia, lebih sensitif terhadap hubungan masyarakat, dan memegang standar layanan yang lebih tinggi sepanjang pendidikan tinggi tersebut dimaknai hanya pada aspek pembelajaran di kelas.

Namun, jika pendidikan tinggi tersebut dimaknai mencakup juga aspek pelatihan dan bimbingan di dalamnya, maka hasil penelitian ini relevan dan sejalan dengan teori tersebut. Sehingga perlu adanya peningkatan, inovasi dan evaluasi terkait program pelatihan yang sudah usang dan tidak relevan dengan dinamika di tengah masyarakat saat ini.

Kekurangan yang ada di Akpol terkait pembelajaran dan pelatihan yaitu tidak adanya sebuah inovasi berupa simulasi virtual yang berbasi IT terkait kasus-kasus yang terjadi di masyarakat serta program inovasi lainnya. Para pengajar, pelatih dan pengasuh masih menggunakan metode-metode tradisional dan pengalaman-pengalaman kepolisian yang kurang relevan yang itu-itu saja, seperti contoh instruktur menceritakan proses interogasi kepada pelaku.

Secara tidak sadar instruktur menceritakan dalam melakukan interogasinya dilakukan dengan cara kekerasan, seperti pemukulan, penyetruman, bahkan penembakan kepada pelaku yang tidak sesuai aturan yang ditetapkan. Para taruna menyerap pengalaman tidak baik tersebut dan pada saat bertugas di kesatuan, fatalnya mereka praktekkan dan para anggota bawahan mereka yang merupakan polisi yang pernah mengalami masa integrasi di dalam ABRI, juga masih melakukan hal serupa.

Contoh lainnya terkait pengetahuan tentang pengungkapan kasus melalui investigasi keuangan, investigasi jejak digital, investigasi jejak sinyal nomer telepon genggam, investigasi IT lainnya yang belum diberikan dan dijadikan sebuah kuliah serta pelatihan khusus di Akpol.

Pengetahuan itu masih dimonopoli oleh segelintir oknum kepolisian dan beberapa Kesatuan Kepolisian di kota besar yang memiliki akses pada pemegang IT di kepolisian dan finansial yang besar, sehingga ilmu tersebut dianggap ”keramat” dan tidak boleh banyak polisi menguasainya.

Dapat dikatakan, bahwa pembelajaran di Akpol selama ini, berdasarkan hasil penelitian ini tidak memiliki pengaruh, baik langsung maupun tidak langsung terhadap Gaya Kepemimpinan dan pembentukan karakter polisi yang prediktif. Hal ini berangkat dari kenyataan, pembelajaran yang diterapkan di Akpol masih bersifat transfer pengetahuan yang bersifat teoritis, sehingga banyak para taruna tertidur saat perkuliahan.

Berdasarkan deskripsi dari praktek Pola Pendidikan di Akpol yang mencakup Pembelajaran, Pelatihan, dan Pengasuhan di atas. Dikuatkan dengan temuan kuantitatif dan kualitatif melalui wawancara mendalam, sehingga dapat disimpulkan beberapa temuan pola pendidikan yang menghambat, sehingga penting dan perlu dilakukan evaluasi berkala dan perbaikan- perbaikan antara lain yaitu:

Tabel Temuan Pola Pendidikan di Akpol Perlu Perbaikan

NoTemuan Sumber
1Adanya budaya turun temurun, berupa tindakan fisik dengan durasi yang lama dan menguras tenaga para taruna dan kekerasan.Pengamatan
2Para taruna mengantuk saat perkuliahan, banyak modus untuk menghindari perkuliahan karena adanya tekanan psikis (bullying senior).Pengamatan
3Tidak ada inovasi berupa simulasi virtual terkait kasus kejahatan. Masih menggunakan metode pendidikan cara tradisional yang kurang relevan dengan perkembangan masalah di masyarakat. Belum adanya Lembaga Penjamin Mutu Profesi Kepolisian untuk sertifikasi.Pengamatan
4Budaya dan pengalaman negatif dibawa ke dalam lingkungan pendidikan, misalnya menceritakan proses interogasi pelaku menggunakan teknik kekerasan (pemukulan, penyetruman, bahkan penembakan kepada pelaku yang tidak sesuai aturan yang ditetapkan).Pengamatan
5Minimnya pelatihan tentang pengungkapan kasus melalui investigasi keuangan, investigasi jejak digital, investigasi jejak sinyal nomer telepon genggam, investigasi IT lainnya yang belum diberikan dan dijadikan sebuah kuliah serta pelatihan khusus di Akpol.Pengamatan
6Belum ada Lembaga Penjamin Mutu (LPM) untuk sertifikasi profesi kepolisian di Polri, seperti yang dilakukan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk profesi dokter, sehingga hasil pembelajaran, pelatihan, dan pengasuhan belum terstandarisasi secara maksimal.Pengamatan

Pendekatan pendidikan tradisional semacam ini, menurut Ortmeier (1997), masih efektif jika berkaitan dengan skill atau teknik tempur, tetapi tidak efektif jika berkaitan dengan upaya menanamkan skill yang bersifat non teknis seperti proses pengambilan keputusan, penilaian atas suatu masalah, dan kepemimpinan.

Di pihak lain, hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang diungkapkan Gardiner (2015), bahwa hasil dari pendidikan para perwira polisi memiliki pengaruh kuat terhadap sikap (attitude), dalam hal ini melalui model pelatihan (training) dan pengasuhan (mentoring). Perwira yang berpendidikan lebih mampu beradaptasi dengan perubahan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan lembaga kepolisian serta telah memperoleh modal yang cukup untuk menjadikan mereka perwira yang lebih baik.

Namun, penelitian ini, pada aspek pembelajaran, tidak sejalan dengan teori mengenai pola pendidikan seperti yang diutarakan Cohen dan Chaiken (1972), bahwa polisi yang berpendidikan tinggi memiliki lebih sedikit pengaduan warga yang diajukan terhadap mereka, memiliki lebih sedikit tindakan disipliner yang diambil terhadap mereka, menggunakan lebih sedikit power daripada petugas tanpa gelar sarjana. Dan secara keseluruhan, cenderung tidak terlibat dalam kasus individual (Carter dan Sapp, 1989).

Petugas polisi yang berpendidikan perguruan tinggi tahan terhadap perubahan dan lebih cenderung merancang metode baru dalam upaya menghadapi suatu permasalahan (Roberg dan Bonn, 2004).

Implementasi yang ketiga perlu ditanamkan dan dibentuk pada diri para taruna, yaitu gaya kepemimpinan Smart Fieldman, sebagai petugas lapangan yang cerdas. Memiliki ciri-ciri berpikir realistis, cepat tanggap, dan presisi berdasarkan intelijen dasar (bukti dan fakta) yang kuat dan sempurna, fleksibel dalam perencanaan, memberdayakan disiplin, mengoptimalkan tim, desentralisasi, terbuka, fleksibel, tetap menjaga kerahasiaan, serta menyesuaikan situasi dan ketentuan organisasi.

Para taruna Akpol harus diajari cara mengemban tanggung jawab, berani mengambil keputusan dalam situasi normal dan darurat, belajar tidak mencari kambing hitam dalam situasi pelik, dan mampu mengkonsep program pengembangan sumber daya kepolisian dalam hal pemberantasan kejahatan dengan mengembangkan kemampuan intel dasar yang digabungkan dengan kecerdasan intelijen berbasis teknologi.

Hal ini sangat berguna untuk membekali para taruna agar mampu menyesuaikan secara cepat atas tantangan tugas di masa mendatang yang memiliki sifat ketidakpastian (sukar diprediksi secara tepat). Dengan bekal tersebut, para taruna Akpol yang akan menjadi pelaksana layanan kepolisian, mudah beradaptasi dengan cepat dan tanggap terhadap perubahan yang radikal.

Untuk menghapus pola pendidikan negatif yang telah berakar memang perlu treatment khusus dan secara radikal untuk meningkatkan kualitas dalam aspek knowledge, skills, dan attitude para taruna sebagai bagian inti dari pendidikan, misalnya dengan cara:

Tabel Usulan Inovasi Pendidikan di Akpol

NoProgram Inovasi yang di Akpol
1Jika ditemukan pelanggaran yang dilakukan taruna, maka pihak yang akan memberikan sanksi harus membuat laporan berita acara dengan format yang berisi perbuatan yang dilanggar, pasal yang dilanggar, dan tindakan yang akan diberikan kepada pelanggar, bisa berupa tindakan administrasi, teguran lisan, fisik (push up, lari, sit up, dan lainnya). Berita acara ini ditembuskan kepada beberapa pihak atasan dan Propam di Akpol. Pelaksanaan tindakan tersebut akan diawasi oleh beberapa pihak agar tidak terjadi abuse of power. Bagi pihak yang memberikan tindakan kepada taruna pelanggar akan diberikan poin yang dapat menaikkan poin nilai kepemimpinan / sikap perilaku. Hal ini bertujuan agar para taruna memiliki keahlian cara menangani kasus yang dimuat dalam sebuah laporan berita acara, memupuk pembelajaran kepemimpinan, memberikan budaya patuh hukum dan bijak dalam memberikan tindakan hukum yang sesuai dengan perundang-undangan. Hal ini penting untuk membekali kemampuan  leadership bagi para taruna Akpol yang nantinya akan jadi perwira di lembaga kepolisian.
2Para taruna yang mengantuk pada saat perkuliahan diberikan treatment berupa konseling psikologi, kesehatan, pemantauan gizi, dan pemantauan psikologi. Selain itu, dalam pembelajaran atau pelatihan diberikan materi yang lebih menekankan partisipasi para taruna. Perlu pendataan kemampuan dari para taruna dalam kecenderungan menangkap materi apakah dengan cara visual, praktek, menulis atau mendengar untuk mengantisipasi hal tersebut. Selain itu, perlu pelibatan taruna dalam mengendalikan situasi perkuliahan yang menyenangkan, sehingga lebih aktif dalam proses tersebut.
3Akpol harus bekerjasama dengan stakeholder yang memiliki inovasi berupa simulasi virtual yang berbasis IT, yang memuat pembelajaran dan pelatihan kegiatan kepolisian yang standar bahkan yang bersifat khusus. Misalnya simulasi virtual penggeledahan tempat kejadian perkara, olah TKP, penggunaan senjata pada saat penggeledahan, pemberkasan saksi, tersangka, ahli dan lainnya; proses otopsi jenazah, penanganan korban kecelakaan / korban kriminalitas. Simulasi virtual proses rapat umum maupun khusus yang sifatnya dalam hal penanganan sebuah kasus biasa dan darurat serta kegiatan lainnya yang dalam prediksi akan terjadi seperti penanganan pandemi. Perlu adanya ujian profesi kepolisian seperti yang dilakukan oleh lembaga profesi lain, misalnya Ikatan Profesi Kepolisian Indonesia (usulan) seperti Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang dilakukan Ikatan Dokter Indonesia. Sertifikasi profesi kepolisian ini penting diterapkan sebagai modal utama para perwira untuk dapat menjadi penyidik, menjabat sebagai pemimpin komando seperti kapolres, kapolda, sampai jenjang Kapolri. Jika dalam perjalanan karirnya terdapat kasus fatal, maka lembaga profesi tersebut dapat mencabut sertifikat tersebut, sehingga anggota polisi itu tidak akan dapat menduduki jabatan strategis, sehingga para perwira polisi berhati-hati dan cermat dalam bertindak dalam menggunakan kewenangannya.
4Perlu adanya sebuah kurikulum khusus terkait interogasi saksi dan tersangka. Hal ini sangat penting, karena banyak kasus kematian tersangka yang ditangkap kepolisian akibat proses dan teknik interogasi yang salah. Hal ini belum secara khusus dilakukan di lembaga pendidikan kepolisian. Cara yang dapat dilakukan misalnya mengundang pakar psikologi, ahli hipnoterapi, ahli pembaca gestur, ahli grafologi, ahli forensik kejiwaan, dan keahlian lainnya yang relevan. Ini sangat penting, agar kedepannya tidak ada lagi penyelidik dan penyidik kepolisian menggunakan kekerasan untuk menginterogasi pelaku kejahatan.
5Perlu kurikulum khusus investigasi, misalnya investigasi keuangan, investigasi jejak digital, investigasi jejak sinyal nomor telepon genggam, dan investigasi IT lainnya yang belum diberikan dan dijadikan sebuah kuliah serta pelatihan khusus di Akpol, seperti yang dikembangkan oleh Akademi Kepolisian Belanda terkait terobosan Financial Investigation. Belanda telah mengembangkan bagaimana merumuskan investigasi keuangan dengan menerapkan asset tracing dan loss recovery keuntungan dari tindak pidana, baik yang berupa aset bergerak, tidak bergerak dan yang ada di bank. Perlu sebuah inovasi mutakhir yang harus dikembangkan oleh Akpol.
6Perlu dibentuk Lembaga Penjamin Mutu (LPM) untuk sertifikasi profesi kepolisian, agar proses pembelajaran, pelatihan, dan pengasuhan di Akpol memiliki standarisasi dalam penerapannya untuk menjamin lulusan Akpol yang lebih berkualitas, melalui Ujian Profesi Kepolisian.

Berdasarkan kurikulum prodi Akpol, dapat digambarkan model pola pendidikan di Akpol existing, terdiri dari aspek Pembelajaran, Pelatihan, dan Pengasuhan. Dalam pengamatan dan pengalaman penulis serta hasil penelitian disimpulkan bahwa tiap-tiap variabel tersebut dilakukan secara sendiri-sendiri / terpisah satu sama lain oleh direktorat akademik membawahi pembelajaran, direktorat jarlat membawahi pelatihan dan Bintarsis membawahi pengasuhan, sehingga penggambaran modelnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Model Pola Pendidikan di Akpol Existing

Jika dilihat dari model existing pola pendidikan di Akpol dikaitkan dengan Gaya Kepemimpinan dan Karakter Polisi Prediktif dapat dijelaskan bahwa Pola Pendidikan di Akpol berdasarkan Surat Keputusan Kalemdiklat Polri Nomor: Kep / 619 / X / 2018 tanggal 1 Oktober 2018 tentang kurikulum prodi Akpol menyebutkan bahwa pendidikan di Akpol dilakukan dengan tiga metode pendidikan yaitu pembelajaran, pelatihan, dan pengasuhan.

Wajar jika ada yang dominan yaitu pengasuhan, ada yang sedang yaitu pelatihan dan ada yang sama sekali tidak berpengaruh yaitu aspek pembelajaran. Ketiga metode dalam pola pendidikan di Akpol tersebut dilakukan dengan menerapkan pendekatan yang berbeda dan terpisah.

Pembelajaran bersifat pemberian bekal pengetahuan yang bersifat teoritis melalui sistem perkuliahan di ruang kelas yang mencakup: kecukupan jumlah tenaga pendidik, metode pembelajaran, teknologi pengajaran, bahan ajar, dan kurikulum.

Pelatihan lebih menekankan penguasaan keterampilan yang terkait dengan tugas kepolisian, seperti latihan menembak, bela diri, mengemudi, search and rescue, dan latihan kepemimpinan dengan aspek kurikulum, materi pelatihan, metode, instruktur, jumlah jam pelatihan, dan kualitas pelatihan.

Adapun Pengasuhan lebih menitik beratkan pada pembinaan, pengawasan, dan bimbingan dari taruna senior kepada taruna junior, yang mencakup: model pengasuhan, metode, efektivitas pengasuhan, sistem reward, sistem punishment, dan jumlah pengasuh.

Pengasuhan terhadap Akpol mencakup pula aspek pembinaan, yakni bidang mental, spiritual dan ideologi; bidang kebhayangkaraan; bidang profesionalisme; bidang kepemimpinan; bidang penampilan perorangan; bidang kehidupan sosial budaya; bidang emosional dan intelegensia. Pola pengasuhan tersebut dilaksanakan melalui tiga teknik pengasuhan yakni melalui media, melalui bimbingan dan konsultasi serta pengawasan dan pengendalian.

Dengan rancangan ketiga metode pola pendidikan yang terpisah dan belum terintegrasi tersebut, maka terdapat kelemahan implementasi. Seringkali dalam prakteknya pembelajaran tidak diikuti secara serius, taruna kurang tertarik dengan model perkuliahan yang bersifat monoton dan tidak ada bimbingan secara melekat dari taruna senior pada proses pembelajaran, faktanya sebagian besar taruna dari angkatan per-angkatan dari tahun ke tahun, ada budaya tidur didalam kelas saat perkuliahan berlangsung.

Dalam bidang pelatihan, meskipun pengasuhan sudah diterapkan dengan melibatkan bimbingan dari taruna senior, tetapi belum secara intensif dilakukan. Pengasuhan lebih terlihat intensif justru pada rutinitas setelah jam pembelajaran, yaitu pada interaksi dan tugas-tugas di luar kegiatan formal, yang sering kali tidak dapat dikontrol atau diawasi sehingga rentan penyalahgunaan wewenang, hingga munculnya praktek intimidasi dan kekerasan fisik terhadap taruna junior.

Selain itu, pada prakteknya, proses pola pendidikan di Akpol pada ketiga aspek tersebut, masih memiliki ekosistem yang belum optimal, seperti: bahan ajar kurang up to date, minim teknologi, sapras belum maksimal, kurikulum belum terbarukan, dan kekurangan SDM (tenaga pendidik, pelatih, dan pengasuh),

Kelemahan dilakukan secara terpisah tersebut menyebabkan proses pembelajaran terbukti dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan perwira polisi pada saat melakukan tugasnya, yang mencakup tidak tercapainya atau kurang maksimalnya gaya kepemimpinan seperti masih banyaknya laporan mengenai kasus integritas, kurangnya kepedulian, kecakapan komunikasi massa yang rendah, tingkat kompetensi yang kurang maksimal, tingkat tanggung jawab yang belum optimal, dan masih harus ditingkatkannya kemampuan untuk mendelegasikan dari perwira polisi.

Akibat kurang maksimalnya gaya kepemimpinan, maka hal ini berpengaruh terhadap belum optimalnya pembentukan karakter polisi yang prediktif sebagai misi dari institusi Polri terkini, seperti: belum meratanya kemampuan perwira polisi dalam memprediksi pelaku kejahatan, memprediksi korban, memprediksi lokasi kejahatan, dan masih belum maksimalnya program-program mengenai tindakan pencegahan, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas.

Rekomendasi model Pola Pendidikan di Akpol sebagai analisis dari hasil penelitian ini diarahkan agar proses pembelajaran dan pelatihan digabungkan dengan pola pengasuhan (mentoring) sebagai pola pendidikan ideal yang dapat diterapkan di Akpol, dengan istilah Pola Pendidikan Akpol Kolaboratif (Collaborative Education Method in Indonesian Police Academy).

Dalam hal intervensi menggunakan pola pengasuhan yang diintegrasikan dalam proses pola pembelajaran dan pelatihan, dimana jika dilihat dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa variabel pembelajaran tidak berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap gaya kepemimpinan perwira polisi dan  pembentukan polisi yang prediktif. Apabila pola pengasuhan diterapkan dalam hal pembelajaran, bisa dipastikan akan mempengaruhi hasil pembelajaran menjadi lebih baik dan signifikan, sehingga tidak ada lagi taruna yang tertidur atau sengaja tidur didalam kelas pada saat perkuliahan.

Begitu juga dalam hal pelatihan, jika pengasuhan diintegrasikan dalam pelatihan, dipastikan akan meningkatkan hasil dari pelatihan tersebut. Misalnya taruna yang tidak bisa memahami materi-materi yang diajarkan dalam perkuliahan, taruna tersebut harus terus-terang meminta pengasuh / mentornya untuk menjelaskan, menuntun bahkan menyambungkan dengan para dosen / pengajarnya.

Begitupun bagi taruna yang ada masalah dalam materi pelatihan, bisa meminta pengasuh / mentornya untuk membantu mengajari atau melatih agar taruna tersebut bisa menguasai dan mengerti materi pelatihan tersebut.

Hal ini juga dapat dipraktekkan secara jangka panjang, dalam hal pembentukan para perwira kepolisian terkait program polisi yang prediktif (predictive policing) sebagaimana program Kapolri Jenderal Listyo Sigit, khususnya dalam hal menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah masyarakat.

Bersambung ke bagian ketiga di Link Ini.

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments