Riset

Pola Pendidikan di Akpol dan Pengaruhnya terhadap Gaya Kepemimpinan dan Pembentukan Karakter Polisi Prediktif

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menutup pendidikan taruna Akademi Kepolisian angkatan ke-53 (foto: republika)

Penulis: Budi Santoso

(Ringkasan Disertasi Doktor pada Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya)

Pendahuluan

Lembaga kepolisian merupakan salah satu organisasi pelayanan publik (public service organization) menurut pengertian public service oleh Cole dan Parston (2006), bahwa lembaga pelayanan publik mencakup semua organisasi yang terlibat dalam memberikan layanan kepada publik, dimana anggarannya bersumber pada uang hasil pajak yang dipungut pemerintah dari rakyatnya.

Oleh karena itu, organisasi pelayanan publik mencakup lembaga pemerintah, organisasi nirlaba, dan perusahaan sektor swasta yang menyediakan layanan yang secara tradisional diberikan terutama oleh pemerintah.

Sebagai pelaksana layanan publik, seperti amanat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri, meliputi segala hal-ihwal berkaitan dengan fungsi dan lembaga kepolisian. Ditinjau dari cakupan tugasnya yaitu bidang layanan publik umum (kebutuhan secara umum) dan khusus (kebutuhan secara khusus) yang diperlukan masyarakat.

Dalam hal layanan bidang khusus yaitu pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.

Dalam implementasi lembaga pelayanan publik, diperlukan pengetahuan dan implementasinya terkait paradigma Administrasi Publik, baik OPA (Old Public Administation), NPM (New Public Management), dan NPS (New Public Service) secara terpisah maupun campuran.

Dalam penerapannya bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi organisasi, dengan tujuan utama yakni menekankan pada kepentingan rakyat atau warga negara, mendedikasikan pada tercapainya demokrasi, kesetaraan, dan keadilan di antara sesama warga negara.

Masih banyak keluhan dari masyarakat terkait pelayanan yang diberikan oleh kepolisian, diperlukan kerja keras dan komitmen dari masing-masing Kesatuan kerja, dan terus-menerus melakukan perbaikan dan inovasi menuju pelayanan publik yang prima.

Bukti masih adanya masyarakat yang mengeluhkan layanan kepolisian baik bidang umum dan khusus, dapat dilihat dari hasil penelitian pada tahun 2019 beberapa lembaga survei yaitu Lingkaran Survei Indonesia (LSI), tingkat kepercayaan masyarakat pada Polri tahun 2019 sebesar 72,1 %; Survei LSI 87,8 %; Litbang Kompas 70,8 %; sementara survei Alvara Research sebanyak 78,1 %; Kesimpulannya kinerja Polri pun masih dinilai kurang memuaskan.

Hal ini sinkron dengan data Divisi Profesi dan Pengamanan (Div Propam) yaitu Pada tahun 2020, pelanggaran anggota Polri tercatat sebesar 6.409 kasus. Jumlah itu naik 54% dibandingkan pada 2019 yang mencapai 4.151 kasus. Jumlah ini naik 103,8% dibandingkan pada 2019 yang mencapai 1.021 kasus. Sedangkan, pelanggaran pidana tercatat mencapai 1.024 kasus pada tahun 2018. Angkanya naik 63,3% dibandingkan pada 2019 yang sebesar 627 kasus.

Selain data yang dilaporkan, diyakini masih banyak sekali pelanggaran anggota kepolisian yang tidak dilaporkan dan terdata secara lengkap. Hal itu terungkap dari hasil survei lembaga swadaya masyarakat pemerhati kepolisian maupun data laporan pengaduan di kompolnas bahkan di lembaga negara lainnya seperti Komisi III DPR RI, Ombudsman, Komnas HAM dan lainnya.

Pengaduan yang dilaporkan pada tahun 2021 kepada Kompolnas berjumlah 2.247 pengaduan dan keluhan, di mana yang paling banyak pengaduan adalah terhadap Kesatuan Reserse dan ranking Polda terbanyak keluhan adalah terhadap Polda Metro Jaya. Jumlah keluhan dan pengaduan pada tahun 2021 tersebut meningkat dari tahun 2020 yang berjumlah 1865 aduan dan tahun 2019 sebanyak 1862 aduan.

Hal ini menunjukkan bahwa kinerja Polri baik layanan kepolisian bidang umum dan khusus, masih banyak dikeluhkan masyarakat dan harus terus ditingkatkan kinerjanya.

Data anggota Polri aktif kurang lebih 470.391 personel, untuk meningkatkan kinerja yaitu dengan meningkatkan kualitas SDM (Human Resources).  Ini membutuhkan pembinaan berkala dan sosok figur pemimpin yang bukan hanya tegas dalam menindak pelanggaran tetapi juga mengayomi dan bersifat prediktif dengan berorientasi pada pencegahan.

Pemimpin yang memiliki visi pelayanan publik yang visioner sesuai perkembangan paradigma administrasi publik, mengedepankan aspek pelatihan, pembinaan, dan pendampingan untuk meminimalisasi pelanggaran anggotanya.

Dibutuhkan Kepemimpinan yang kredibel, responsif, dan prediktif untuk membina anggotanya, aspek pelaksanaan tugas maupun meminimalisasi pelanggaran.

Pendidikan di kepolisian, terkhusus bagi perwira kepolisian berangkat dari suatu kebutuhan untuk mencetak para perwira kepolisian yang profesional. Program pengembangan Human Resources atau Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan hal yang sangat penting untuk memenuhi fungsi dan tugas kepolisian.

Tanpa ada pendidikan untuk menciptakan generasi penerus yang berkualitas, maka tujuan dan fungsi kepolisian seperti amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri akan sulit tercapai. Disinilah urgensi lembaga pendidikan Akademi kepolisian (Akpol), menjadi kawah candradimuka untuk menyiapkan perwira kepolisian yang memiliki gaya kepemimpinan dan karakter prediktif yang unggul.

Untuk mencapainya diperlukan peran kepemimpinan yang unggul dari para pimpinan pada berbagai lini Kesatuan organisasi kepolisian.

Teori, karakter dan gaya kepemimpinan banyak variasi yang dipraktekkan di berbagai organisasi. Misalnya kepemimpinan transaksional adalah model kepemimpinan yang menekankan adanya transaksi untuk menimbang dalam pengambilan suatu keputusan. Kepemimpinan transformasional memiliki ciri model gaya kepemimpinan yang mencari cara kreatif dan inovatif untuk mencapai tujuan organisasi yang mungkin tampak tidak mungkin tercapai (Grondel, 2016).

Model kepemimpinan laissez-faire adalah model gaya kepemimpinan yang membiarkan bawahan melakukan tugas tanpa ada pengawasan dan seluruh tugas merupakan tanggung jawab bawahan. Kepemimpinan “dark leadership”, yaitu sisi kepemimpinan yang dipenuhi oleh ketidakmampuan, karakter yang immoral, dan perilaku tidak etis (Herbst, 2014). Pemimpin ini cenderung menyebabkan berbagai masalah seperti konflik nasional, genosida, korupsi, kasus pidana, dan perilaku tidak etis yang ditunjukkan oleh seorang pemimpin.

Ada dua kasus saat ini menghebohkan publik  yang melibatkan petinggi Polri. Yang pertama kasus pembunuhan Brigadir J, di duga kuat pelakunya adalah Irjen Pol FS dibantu beberapa stafnya. Selain itu FS dituding terlibat kasus konsorsium 303 (Judi Online) dengan memanfaatkan Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Merah Putih yang memiliki kewenangan besar. Kasus FS menyeret beberapa perwira, yang diduga melakukan Obstruction of Justice, merusak barang bukti, memakai jabatan dan kewenangannya.

Kasus kedua berawal dari hasil pengungkapan jaringan narkoba oleh Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, diduga melibatkan AKBP DP dan menyeret nama Irjen Pol TM. Jika benar, kasus ini menjadi ironi dan antitesa idealisme kepemimpinan Polri. DP mengaku menggelapkan dan menjual barang bukti sabu-sabu tersebut atas perintah TM. Jika 2 kasus ini terbukti dan divonis bersalah oleh hakim, ini menjadi dekadensi moral. Karakter dark leadership tersebut menjadi bom waktu di kalangan anggota kepolisian dan masyarakat.

Dampaknya, wibawa dan marwah kepemimpinan di kepolisian menjadi rusak, turunnya kepercayaan bawahan dan masyarakat, sikap perlawanan kepada pimpinan mungkin suatu saat akan terjadi, ini menjadi sebuah ironi.

Kepemimpinan pada konteksnya mencakup operasional, manajemen, pengawasan dan komando. Kemampuan secara efektif mempengaruhi, menggabungkan individu dan sumber daya untuk mencapai tujuan. Keterampilan ini bersifat umum, tetapi pemolisian memaksakan tuntutan yang berbeda, dalam konteks konstitusional dan hukum. Pentingnya diskresi pada pekerjaan polisi; keragaman dan kompleksitas sifat pekerjaan polisi; tekanan psikologis, etika yang dikenakan pada para praktisi dan kebutuhan kepemimpinan senior untuk mempertimbangkan mereka.

Contoh nyata adalah tragedi kerusuhan stadion Kanjuruhan, pemberian izin keramaian pertandingan Persebaya melawan Arema, merupakan kesalahan awal kebijakan yang diambil Polda Jawa timur dan Polres Malang. Mengingat latar belakang perseteruan kedua tim kesebelasan sudah mendarah daging, bisa dipastikan dampaknya pasti buruk.

Di Amerika Serikat, penelitian yang dilakukan oleh Roberg and Born (2004) menyebutkan bahwa selama hampir 100 tahun telah terjadi perdebatan tentang apakah pendidikan tinggi untuk petugas polisi diperlukan.

Kompleksitas peran polisi yang terus berkembang dan transisi ke peran perpolisian dalam komunitas, pertanyaan ini menjadi lebih penting dari sebelumnya. Terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petugas polisi dengan sikap, kinerja, dan tingkat pelayanannya. Petugas polisi yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki sikap yang cenderung tidak otoriter dibandingkan dengan polisi yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah (Smith et al., 1968).

Guller (1972) berpendapat bahwa petugas polisi yang berpendidikan tinggi menunjukkan tingkat otoriterisme yang lebih rendah daripada petugas yang berpendidikan rendah dengan usia yang sama, latar belakang sosial ekonomi, dan pengalaman kerja yang sama pula.

Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan petugas polisi, maka berpengaruh pada sikap semakin fleksibel atau terbuka pada berbagai perbedaan, berpikir secara prosedural dan komprehensif. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka sangat diperlukan sebuah lembaga pendidikan.

Akpol sebagai unsur pelaksana pendidikan pembentukan perwira Polri yang berada di bawah Lemdiklat Polri. Berdasarkan Sistem Pendidikan Polri dituangkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2015, Lembaga Pendidikan Polri yang selanjutnya disebut Lemdikpol adalah unsur pendukung sebagai pelaksana pendidikan pembentukan dan pengembangan yang berada di bawah Kapolri.

Permasalahan pola pendidikan untuk perwira polisi masih sangat relevan, seperti diungkapkan dalam penelitian Brand dan Peak (1995); Marion (1998), yang meneliti mengenai pendidikan Akademi Kepolisian di Ohio, Amerika Serikat. Menemukan bahwa 48% lulusan Akademi Kepolisian dari sampel yang diteliti, menilai pendidikan yang diperoleh di Akademi Kepolisian “belum memadai”.

Ini menunjukkan bahwa, menurut kepolisian sendiri, pelatihan di akademi tidak sepenuhnya mempersiapkan mereka untuk melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan tugas wajibnya. Banyak dari mereka menyarankan bahwa akademi membutuhkan lebih banyak pelatihan “langsung” yang update dan akan mereka hadapi secara nyata.

Perkembangan masyarakat sangat pesat, berpengaruh terhadap perkembangan modus operandi kejahatan, hal ini berdampak pada inovasi tugas pokok dan fungsi kepolisian. Lulusan Akpol yang baru keluar pendidikan belum sepenuhnya mampu mengimbangi perkembangan yang terjadi hingga saat ini.

Dampak nyata adalah banyak kasus tidak kriminal yang belum terungkap hingga saat ini, ditambah dengan maraknya laporan terkait kasus salah tangkap yang dilakukan oleh anggota Polri. Inovasi mata kuliah menjadi sangat penting dalam menunjang skill dan kompetensi lulusan Akpol guna menghasilkan lulusan anggota Polri yang profesional dan memiliki kinerja yang baik di masing-masing Kesatuan kerjanya.

Diperlukan analisis mendalam untuk menggambarkan fungsi teknis kepolisian ini dilaksanakan, sehingga akan diketahui kelemahan dan kekuatan pada proses implementasinya, supaya dapat dilakukan perbaikan dan evaluasi, agar lulusan Akpol memiliki kompetensi lulusan sesuai dengan yang diharapkan dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

Dalam studi tentang pelatihan di akademi kepolisian, Brand dan Peak (1995:45) mengajukan serangkaian pertanyaan, termasuk: “apakah telah memberikan pelatihan yang tepat kepada perwira polisi? Bagaimana cara menentukan apakah kurikulum akademi memadai untuk perwira tingkat awal atau tidak? Bagaimana kurikulum dapat dipahami dan berguna bagi perwira?

Pola pendidikan di Akpol juga harus diselaraskan dengan pencapaian nilai dasar Polri. Akpol merupakan lembaga yang akan mencetak para perwira polisi, sehingga penanaman nilai dan strategi dalam pencapaian misi Polri harus menjadi pedoman utama dalam setiap pendidikan dan pelatihannya.

Hidayat (2015) menyebutkan bahwa masih terdapat masalah dalam sistem pengasuhan pada pendidikan Akpol. Menurutnya, pola asuh pada prinsipnya adalah sistem yang memaksakan pilihan-pilihan dari kehendak pendidik kepada anak didik. Kesadaran peserta didik dibentuk sesuai dengan kehendak pendidik, seperti yang diinginkan guru. Peserta didik hanya menerima Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan informasi yang diberikan oleh pendidik. Guru mentransfer pelajaran berupa informasi yang harus direkam, disimpan, dihafal dan diambil kembali pada saat ujian.

Pendekatan pembelajaran ini menyebabkan taruna bergantung pada pendidik, bosan, mengantuk, malas belajar, sering mangkir, malas mengerjakan PR, tidak siap menerima pelajaran, dan kurang peduli dengan perubahan. Kondisi demikian menimbulkan kebosanan pada siswa yang hasil belajarnya tidak maksimal pada akhirnya.

Kebijakan Kapolri yakni melalui pendekatan Polri PROMOTER adalah pendekatan pemolisian berorientasi masalah (problem-oriented policing). Sedangkan dalam kepemimpinan Polri PRESISI, ditekankan pentingnya kemampuan pendekatan pemolisian prediktif (predictive policing) agar Polri mampu menakar tingkat gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (baik layanan kepolisian bidang khusus), melalui analisa berdasarkan pengetahuan, data, dan metode yang tepat sehingga dapat dicegah sedini mungkin melalui sebuah layanan kepolisian bidang khusus.

Dalam layanan kepolisian bidang umum, pemolisian yang prediktif juga diterapkan dalam aspek pembinaan personil Polri melalui pemberian pendidikan dan pelatihan yang efektif untuk meminimalisasi pelanggaran oleh anggota Polri agar tidak lagi terjadi pelanggaran prosedural seperti yang terjadi pada kasus kerusuhan suporter Aremania versus aparat keamanan di Kanjuruhan yang mengakibatkan korban meninggal 133 orang dan 547 orang luka-luka.

Kerusuhan tersebut ditengarai salah satunya akibat ada kesalahan komando pada penanganan kerusuhan dan adanya kekosongan kepemimpinan pada situasi darurat. Akibat pemimpin yang tidak prediktif dalam mengantisipasi kemungkinan gangguan keamanan, maka dampak dan cara penanganannya menjadi tumpul.

Pendekatan baru dalam pemolisian tersebut, seperti diungkapkan oleh Casey (Mitchell dan Casey, 2007:248), mutlak diperlukan dan berbeda-beda antara suatu negara. Kondisi objektif suatu daerah dan kultur yang berlaku pada suatu wilayah berpengaruh terhadap pendekatan pemolisian yang diterapkan.

Konsep mengenai kepemimpinan polisi dan pendekatan pemolisian di Amerika yang bersifat lebih menekankan proses demokrasi, berbeda dengan yang diterapkan di negara-negara lain. Begitu juga antara pemolisian di Australia berbeda dengan di Asia. Pendekatan-pendekatan dalam pemolisian adalah pendekatan yang tidak baku dan dapat menyesuaikan dengan tujuan dari berdirinya lembaga kepolisian di negara tersebut.

Jones (2014) mendefinisikan predictive policing sebagai sebuah metode yang digunakan lembaga polisi untuk menggunakan dan menganalisis data guna memprediksi pola kejahatan di masa depan dan di area yang rentan kejahatan. Pemolisian prediktif sama identic dengan preventive policing, yaitu pemolisian pencegahan, metode yang digunakan untuk mencegah kejahatan secara dini.

Hal ini dapat dilakukan melalui kerja sama dengan mitra dan agensi lain hingga menggunakan prediksi tentang dimana kejahatan dapat terjadi dan memutuskan dimana menempatkan sumber daya yang tepat. Di era digital ini, aspek IT harus dimanfaatkan semaksimal mungkin baik software dan hardware yang mendukung predictive policing tersebut.

Dalam pelaksanaan tugas dengan kewenangan dan diskresi yang besar, peran perwira kepolisian sangat strategis pada eksekusi kebijakan layanan kepolisian seperti pengambilan keputusan memecahkan masalah sosial, penanganan kasus hukum, penanganan konflik, unjuk rasa, pandemi, kondisi darurat lainnya.

Kesalahan membuat diskresi / keputusan akan berakibat fatal, berupa kerugian materi, kerugian nyawa pada pihak masyarakat dan anggota kepolisian, serta menurunnya kepercayaan masyarakat.

Riset ini, menganalisis pengaruh dari ketiga aspek pola pendidikan di Akpol dalam pembentukan gaya kepemimpinan dan karakter polisi yang prediktif. Fokus dalam upaya pencegahan kejahatan yang menjadi atensi khusus, pemeliharaan kemampuan untuk mendukung kesuksesan tugas dan pembinaan disiplin anggota kepolisian agar pelanggaran disiplin serta kode etik profesi dapat diminimalisasi.

Bersambung ke Bagian kedua di Link ini.

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments