Filsafat

Review Film “Fifty Shades of Grey”: Ketika Moral adalah Relatif

Flm romantis-dewasa berbalut seks dengan kekerasan, Fifty Shade of Grey. Film ini istimewa dari aspek filsafat moral dan alur ceritanya.
Ilustrasi: breitbart.com

Film yang lagi banyak diperbincangkan di tahun ini salah satunya film dengan genre romantis-dewasa berbalut Sadomasokis (seks dengan kekerasan), Fifty Shade of Grey. Film ini, menurut saya, istimewa karena bukan dari aspek film dewasanya, namun dari alur cerita yang tidak jelas ending-nya serta dari aspek perdebatan moral dari kandungan film tersebut.

Bercerita tentang kisah romantis antara Grey dan Steele sejak tatapan pertama Steele yang terjatuh pada saat hendak mewawancarai Grey, tokoh muda yang memiliki banyak perusahaan dan sangat kaya, bahkan dikenal sebagai milyarder muda. Steele mewakili temannya untuk mewawancarai Grey.

Tatapan pertama itulah yang kemudian turun ke hati dan turun lagi ke bawahnya hati..haha, apa itu bawahnya hati? Ya biasa, namanya di Barat kalau sudah bilang I love you, berarti maksudnya “Aku ingin tidur dengan kamu”. Adegan-adegan panas, buka-bukaan baju, banyak mewarnai film ini. Makanya, saya sebut di awal film ini disebut romantis-dewasa. Sudah romantis terus dewasa lagi.

Memang ada film romantis yang tidak dewasa? Banyak, sinetron-sinetron kita romantis semua tapi tidak termasuk dalam kategori film dewasa alias 18+. Tentunya, jika dilihat di bioskop, film ini sudah banyak sensor di sana-sini. Bahkan, katanya di Turki film ini disensor hingga 45 menit..hahaha. Setengah film disensor, terus mau nonton apa.

Setelah pertemuan pertama itu, Grey yang mengidap kelainan seksual dengan selalu bercinta dengan kekerasan bahkan terdapat ruang khusus (yang ia sebut “Pain Room”), merasa jatuh cinta dengan Steele. Steele, menurut Grey, berbeda dengan gadis biasa. Selera Grey memang lain, ia menyebutnya, tidak pernah mau pada tipe wanita biasa.

Steele adalah sosok wanita cantik, diperankan oleh Dakota Johnson yang memang sangat cantik, menjadi daya pikat tersendiri film tersebut. Steele selain cantik juga sederhana. Kuliah di jurusan Sastra dan setiap hari menyambi bekerja di toko alat-alat rumah tangga. Dan, nah ini yang penting, Steele ternyata masih perawan.

Ada satu syarat yang diajukan oleh Grey. Setiap kali hendak bercinta dengan wanita yang diinginkannya, yang menurut Grey sudah 15 wanita yang ia ajak ke “Pain Room” untuk aktivitas kekerasan seksualnya, harus menandatangani dulu kontrak. Begitu juga terhadap Steele. Grey memberikan kontrak untuk ditandatangani oleh Steele.

Di situ dijelaskan rinci mengenai kesepakatan-kesepakatan dan batasan-batasan yang disetujui atau yang ditolak dari tingkat aktivitas seksual antara Grey dan Steele. Steele membaca itu dan menangis. Kenapa ia harus tertarik dan terikat hatinya pada Grey, pria ganteng dan mapan yang telah mencuri hatinya.

Steele tidak lantas menandatangani kontrak itu. Hingga akhir film kontrak itu tidak sempat ditandatangani. Meskipun tidak dengan kontrak, aktivitas bercinta jalan terus.

Baca Juga: Captain Fantastic: Film tentang Cinta, Keluarga, dan Kritik terhadap Agama

Grey mengidap kelainan Sadomasokis karena trauma dengan masa kecilnya. Ia menceritakan pada Steele bahwa masa kecilnya sangat tragis: ibu kandungnya seorang pelacur dan ia sering melihat aktivitas seksual yang dilakukan ibunya. Hingga kemudian ia mengenal dengan seseorang yang mengajarinya bagaimana bercinta dengan menggunakan alat-alat dari mulai ikatan, gantung, cambuk, dan sebagainya.

Ada satu ungkapan dari Grey yang sampai saat ini saya masih bertanya-tanya apa maksud dari pernyataan itu, bahwa dalam pikirannya selalu berkelebat 50 bayangan atau fifty shade, yang kemudian dijadikan judul film.

Pernyataan ini terungkap begitu saja yang membuat penonton harus berpikir keras apa maksud dari penyataan itu setelah Grey menceritakan mengenai latar belakangnya. Benar-benar penonton dari awal hingga akhir cerita tidak disajikan jawaban atas maksud dari pernyataan itu.

Akhir film ini pun absurd alias tidak jelas. Antara Steele dan Grey berpisah begitu saja setelah Steele merasa marah karena Grey mencambuknya dengan enam cambukan sebagai ritual Sadomasokis. Padahal, Grey pun sebetulnya tidak mau melakukan itu terhadap Steele. Steele yang meminta Grey menunjukkan pada dirinya sebagaimana kerasnya siksaan jika ritual Sadomasokis dilakukan Grey. Tetapi kemudian Steele malah marah dan langsung ingin mengakhiri hubungan.

Harapan saya selaku penonton, apalagi sudah dibenamkan ke benak kita tipikal sinetron “Rahasia Ilahi” Grey harusnya berakhir dengan insyaf dan kembali ke jalan yang benar lalu menjalani hidup normal dengan Steele..hahha…no tidak seperti itu ternyata.

Film diakhiri dengan Steele naik lift lalu mengucapkan perpisahan dengan menyebut nama Grey begitu juga Grey dengan menyebut nama Steele. Udah begitu saja dan the end. Gak enak banget. Tipikal film barat yang selalu menyajikan ending yang tidak jelas. Mengajak penonton untuk berfantasi-ria, mereka-reka sendiri jalannya cerita.

Dari aspek moral, nah ini yang menarik. Banyak orang mengkritik dari aktivitas “kampanye kekerasan seksual”-nya, padahal sesungguhnya bukan itu. Film ini sesungguhnya sedang mengkampanyekan relativisme moral dengan sangat menarik. Masalah diterima atau tidaknya itu diserahkan pada para penonton.

Film ini bermain di area moral hedonisme ala relativisme. Bahwa moral adalah tergantung dari persepsi masing-masing orang dan kesepakatan antara dua orang atau lebih. Tidak ada standar moral yang baku. Moral bisa dinegosiasikan. Sebatas kedua orang sepakat untuk melakukan hal-hal yang di luar norma masyarakat kenapa tidak. Bagi saya, film ini menarik dari aspek ini.

Ada filosofis yang dikemas dan sengaja dikampanyekan pada dunia. Terlepas dari salah atau tidaknya kampanye moral tersebut, yang pasti film-film Barat ketika mengkampanyekan suatu aliran filsafat selalu menarik. Persis seperti film “Lucy” yang menurut saya luar biasa: mengandung banyak kampanye ajaran-ajaran filsafat ontologis yang dikemas dengan sangat apik dan visual yang tertata megah.

Moral dalam filsafat Barat itu sifatnya subjektif. Kebenaran itu bukan berada di luar sana, tetapi diciptakan oleh masing-masing orang. Persepsi kebenaran antara masing-masing orang selalu berbeda. Relativisme sangat kuat bercokol di filsafat Barat.

Baca Juga: Review Film Mulan: Film Aksi yang Kurang Greget

Film ini adalah wakil dari hegemoni relativisme moral yang memang menjadi landasan utama dari gerakan modernisme yang dipelopori sejak Descartes, yang dikenal dengan Cartessian, lalu Post-Modernisme yang mengusung semangat sama dengan model baru.**[harjasaputra]

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments